Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sebuah Bank, Dengan Nama BCA

BCA dipimpin Mochtar Riady dengan presiden komisaris Liem Sioe Liong. Mempunyai puluhan cabang dan mendirikan lembaga keuangan non bank multicor. (eb)

13 Oktober 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA tak kenal Bank Central Asia (BCA)? Lembaga keuangan terbesar dari Perhimpunan Bank-Bank Nasional Swasta (Perbanas) ini, yang Juni lalu punya kekayaaan Rp 413 milyar, namanya cukup populer dan disegani. Di sanalah duduk Liem Sioe Liong, pengusaha yang berhasll dewasa ini, sebagai presiden komisaris. Di situ pula bankir kawakan Mochtar Riady duduk sebagai pimpinan, dan menjadi motor penggerak bank ini selama delapan tahun terakhir. Tentu banyak kalangan cukup kaget ketika, pekan lalu, kantor cabang BCA di Pecenongan dan Gajah Mada, Jakarta, sekonyong-konyong bergetar digasak bom. Di luar dugaan memang, peledakan kedua kantor itu terjadi justru di tengah krisis likuiditas perbankan nasional swasta, dan tak lama sesudah Peristiwa Tanjung Priok. Apa pun motivasi pengeboman itu, direksi BCA rupanya tak ingin kegiatan melayani nasabah terhenti karenanya. Tindakan cepat segera diambil: kegiatan di kedua kantor cabang tadi, untuk sementara, dialihkan ke kantor pusat di Asemka, dan cabang Roa Malaka. Dalam keadaan serba darurat itu, BCA kelihatan masih ingin menunjukkan usaha untuk melayani nasabah dan pemilik uang dengan sebaik-baiknya. Melalui pelayanan semacam itu, lembaga keuangan ini, agaknya, berusaha memelihara kepercayaan nasabahnya. "Bagi saya, kegiatan perbankan bukanlah sekadar membeli dan menjual uang," ujar Mochtar Riady. "Tapi membeli dan menjual kepercayaan. Menerima kepercayaan dari sebuah pihak, lalu memberikannya kepada yang lain." Dengan filosofi itu, Mochtar berusaha membangun BCA, yang ketika dimasukinya, tahun 1975, hanya mempunyai kekayaan sekitar Rp 14 milyar dan dua kantor cabang. Di tahun itu, dia baru saja meninggalkan Panin Bank, setelah selama empat tahun dikelolanya bisa tumbuh sebagai bank swasta terkemuka. Tak syak lagi, masuknya Mochtar ke lembaga keuangan itu seolah membuka cakrawala baru Liem, yang dengan tak berat hati mengeluarkan 17,5% saham BCA untuk pendatang baru ini. Bank ini, setelah dikemudikan dengan baik, ternyata bisa ikut berperan mengatur sirkulasi dana pelbagai usaha Liem secara efisien. Bagi BCA, dukungan pelbagai usaha Llem itu jelas merupakan sumber dana yang kukuh. Tapi, tentu, bukan untuk melayani kepentingan kelompok usaha itu saja jika dalam tiga tahun terakhir ini bank itu membuka cabang di pelbagai kota. Hanya dalam delapan tahun kemudian bank itu telah mempunyai cabang 32 buah. Jaringan komputer dibangun, dan pegawai pun ditambah. Dalam jangka pendek, memang, ekspansi usaha itu hanya menambah pengeluaran tetap untuk menggaji dan memelihara gedung, misalnya. Juga hal itu secara langsung akan mengurangi laba usaha BCA. Tapi Mochtar berkeyakinan, hasil dari ekspansi itu niscaya akan bisa dipetik kemudian. Liem dan Mochtar, rupanya, belum berhenti hanya dengan BCA. Asuransi Central Asia Raya kemudian mereka bangun, dan mereka jadikan salah satu usaha yang menampung cucuran dana masyarakat dan kelompok mereka. Dari sini keduanya kemudian mendirikan perusahaan leasing (pembiayaan pengadaan barang-barang modal) Central Sari Metropolitan, berpatungan dengan Japan Leasing. Lalu, berpatungan dengan berbagai bank asing, BCA mendirikan lembaga keuangan nonbank Multicor. Pada akhirnya, memang, semua cabang usaha itu, juga kepemilikannya, merupakan mata rantai yang berkesinambuhgan. Tapi Indonesia, tampaknya, terbatas. Mochtar dan Liem kemudian menjangkau Hong Kong: di sana keduanya mendirikan deposit taking company Central Asia Capital Corp. (CACC). Peraturan Bank Indonesia memang belum memungkinkan BCA secara langsung membuka cabang usaha di luar negeri. Melalui CACC inilah mereka berusaha menggali dana murah dari koloni Inggris itu, untuk dijual kembali di sini. Adalah kelompok BCA ini yang pertama kalinya, di tahun 1976, berusaha masuk ke Bank of Atlanta AS - ketika Bert Lance, yang menguasai 30% saham di situ, sedang mengalami kesulitan keuangan. Tapi pemberitaan pers, yang demikian bertubi-tubi, rupanya telah menyebabkan kelompok ini mengurungkan niatnya menancapkan kaki di AS. Tapi enam tahun kemudian, melalui kelompok First Pacific, kelompok ini akhirnya bisa hadir di sana, sesudah membeli mayoritas saham di Hibernia Bank, San Francisco. Masuknya kelompok ini ke daratan AS bukannya tanpa strategi. Besarnya volume perdagangan antara AS dan Indonesia mereka lihat sebagai salah satu potensi cukup besar. Ambil contoh ekspor kayu lapis dari sini ke sana yang rata-rata tiap tahun mencapai tak kurang dari US$ 100 juta. Belum lagi ekspor karet, kopi, pakaian jadi, dan tekstil. Hibernia Bank, jelas, bisa berperanan aktif dalam menyediakan pembiayaan, jaminan bank, dan pembukaan L/C (leter of credit). "Jika Anda mau memperluas jasa-pelayanan bank, tak ada batas yang akan menghalangi usaha itu," ujar Mochtar. Tapi peledakan kedua kantor cabang BCA itu, bukan tak mungkin, merupakan pertanda, bahwa ekspansi usaha itu toh masih terganggu dan bisa dibatasi terutama oleh kondisi politik di dalam negeri. Meskipun sejauh ini peristiwa pekan lalu seperti tak ada efeknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus