INI memang membanggakan. Siswa-siswa itu menolak kota, dan memilih daerah transmigrasi untuk masa depan mereka. Di SPG (Sekolah Pendidikan Guru) "17" Transmigrasi yang terletak di Km 5 jalan raya Yogyakarta-Magelang, 219 siswa kelas II dan III telah teken kontrak. Mereka siap diangkat menjadi guru SD di lokasi transmigrasi di mana saja bila sudah lulus. Memang. Sekolah ini adalah satu-satunya di Indonesia yang dengan sengaja menyiapkan lulusannya untuk kerja diIokasi transmigrasi, sejak 1980. Dan untuk pertama kalinya, akhir bulan lalu, SPG "17" itu mengirimkan seorang guru dan seorang karyawannya, menengok lulusannya yang sudah bekerja. Selasa pekan lalu, mereka yang diutus itu, Pratono (guru kepemimpinan dan kepramukaan) dan Isparyono (karyawan tata usaha), telah kembali di Yogyakarta. "Wah, semua bekas lulusan SPG ini yang sudah diangkat sudah mapan semua," tutur Isparyono kepada TEMPO. Pada mulanya, awal 1980, adalah keluhan bahwa sekitar empat ribu lulusan SPG di Yogyakarta menganggur. Sementara itu, daerah transmigrasi seluruh Indonesia dinyatakan kekurangan 6.000 guru SD. Bagi Yayasan 17, yang mendirikan SPG "17", masalah ini melahirkan ide untuk mengaitkan sekolahnya dengan ketransmigrasian. Jelasnya, merintis semacam persetujuan dengan pihak Ditjen Transmigrasi, untuk memberikan kemudahan bagi lulusan SPG "17" menjadi guru di lokasi transmigrasi. Konsekuensinya, pihak SPG sejak pagi harus menyiapkan siswanya untuk terjun ke kawasan yang masih harus dibangun itu. Ternyata gagasan itu, meski datang dari sekolah yang baru berstatus "berbantuan", disambut pemerintah. Tak hanya Dirjen Transmigrasi (waktu itu Kadarusno), tapi juga pihak Departemen Dalam Negeri dan bahkan Sekretariat Negara menganggap ide itu sangat bermanfaat. Kelanjutannya, meski tak ada sebuah surat keputusan pun yang turun, "Sampai sekarang iulusan SPG ini tak mendapat kesulitan untuk pengangkatan di daerah transmigrasi," kata Soekimin, 56, kepala SPG "17" itu. Maka, sejak tahun ajaran 1980-1981, di SPG yang memungut uang pangkal Rp 150.000 dan uang sekolah dari Rp 7.000 sampai Rp 7.750 itu diberikan pula pelajaran transmigrasi. Tiga karyawan Kanwil Departemen Transmigrasi Yogyakarta merangkap menjadi guru pelajaran Transmigrasi disekolah ini. "Tapi hanya sekadar teori," kata Soekimin. "Misalnya membicarakan kepadatan penduduk, berbagai jenis lahan transmigrasi di Indonesia, dan berbagai cara bertransmigrasi". Toh, pelajaran itu tampaknya cukup menarik. Suri Pujianingsih, 18, siswi kelas III, mengaku begitu terkesan oleh cerita Pak "Guru. Yakni tentang luas dan suburnya tanah di luar Jawa dan jaminan tertentu bagi guru di daerah transmigrasi, misalnya mendapatkan rumah dan gaji dua kali lipat. "Kalau mendapatkan fasilitas seperti itu 'kan lebih enak jadi guru di sana daripada di Jawa yang sudah padat ini," kata anak bungsu seorang pegawai PJKA Yogyakarta ini. Bahkan kemudian, citra SPG "17" di mata lingkungannya jadi naik. Sudah bisa dipastikan, sejak 1981, bila ada lulusan SMP mendaftarkan diri masuk SPG ini, artinya ia mencalonkan diri untuk menjadi penghuni daerah transmigrasi. "Bayangan saya, saya akan mendapat rumah, gaji lipat dua, mendapat tanah garapan yang subur, dan pengangkatan menjadi pegawai negeri lebih cepat," tutur Saikin, 17, yang Juli lalu masuk ke kelas I SPG ini. Dan anak petani Cilacap, Jawa Tengah, ini tak khawatir bila, misalnya, gaji terlambat. "Saya sudah biasa bertani," katanya. Yang kini diprihatinkan Soekimin, kepala sekolah, yakni pemberangkatan anak didiknya ke daerah transmigrasi tak selalu lancar. Misalnya, 227 lulusan SPG ini sejak 1981 baru 176 yang diangkat. Yang lain, sebagian masih mengikuti latihan di Balai Penelitian Kesejahteraan Sosial milik Kanwil Departemen Tenaga Kerja Yogyakarta dan sebagian lagi menunggu panggilan. "Ada 15 orang yang kemudian bertransmigrasi dengan usaha sendiri, tak lewat sekolah," tutur Soekimin. "Mungkin mereka tak sabar menunggu." Tentu, ini penyimpangan yang baik. Dari segi prestasi belajar, sebenarnya SPG ini - yang didirikan pada 1963 oleh bekas anggota Tentara Pelajar yang tergabung dalam Brigade 17 (karena itu namanya SPG "17") - belum mencatat apa-apa. Tapi sejak tahun ajaran 1980-1981 ada perjanjian bahwa siswa yang tak naik ke kelas II harus keluar. Menurut Soekimin, ini salah satu cara menyeleksi siswa yang benar-benar imgin bertransmigrasi. Baru di kelas II perjanjian harus mau menjadi guru di lokasi transmigrasi dimana pun diteken, baik oleh pihak sekolah, siswa, orangtua siswa, lurah, maupun camat. "Sampai tahun ini belum ada yang menolak perjanjian itu," kata Soekimin lagi. Padahal lulusan SPG "17" dipersuiit bila melamar pekerjaan di kawasan DI Yogyakarta. Pihak Kanwil P & K Yogyakarta membenarkan hal itu. Sebenarnya ada sanksi bagi lulusan yang melanggar perjanjian. Namun, agaknya lebih sebagai pro-forma saja. Yang jelas, kisah sukses guru transmigrasi memang hidup di sekolah ini. Apalagi nanti, bila dua karyawan yang baru pulang dari daerah transmigrasi di Kabupaten Sarko, Jambi, berkisah. Misalnya tentang pembagian tanah 3,5 hektar, tentang gaji yang tak pernah telat. Toh, seperti diceritakan Soekimin, ada dua alumnus SPG "17" yang meninggalkan daerah transmigrasi dan kemball ke Jawa. "Yang satu karena dimusuhi penduduk akibat ada skandal," tutur Soekimin. "Yang satu lagi pulang karena tidak bisa hidup susah. Dia ini dulu di Yogya mencuci pakaian saja pakal mesln CUCI." Itulah sebabnya mengapa tahun ini - dan ini direncanakan akan dilakukan secara rutin - diadakan peninjauan ke lokasi transmigrasi. Agar ada kontak, dan kesulitan dipecahkan bersama, sekalian buat pelajaran lulusan berikutnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini