Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

PPD: Penyehatan atau Likuidasi

Pemerintah lagi-lagi berusaha menyehatkan perusahaan Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD). Ribuan karyawan akan dirumahkan dan enam aset akan dijual.

26 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gunsar sedang mengalami cobaan berat. Perusahaan Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD), tempatnya bekerja sebagai sopir, terancam bangkrut. Sudah empat bulan ini gajinya tak dibayar. Padahal dia punya empat anak yang tiap hari harus diberi makan. Upahnya sebesar Rp 800 ribu per bulan—Gunsar sudah bekerja 22 tahun sebagai sopir—sering tak utuh diterimanya. "Kalau saya datang ke pangkalan tapi bus tidak ada karena jumlahnya terbatas, saya dibilang mangkir. Gaji dipotong Rp 26 ribu per hari," katanya masygul.

Kondisi PPD memang parah. Direktur Usaha PPD Jun Tambunan mengatakan, ibarat bus, PPD kelebihan muatan. Ada 5.461 karyawan yang mengurus 450 bus. Ini berarti satu bus dikeroyok 14 karyawan. Padahal, yang ideal, satu bus cukup ditangani lima pekerja. Belum lagi kondisi sebagian besar bus yang sudah tua. Rata-rata usianya di atas sepuluh tahun.

Kantor Menteri Negara BUMN menyetujui semua rencana penyehatan yang datang dari direksi PPD. Sekitar 2.400 karyawan akan dirumahkan dan PPD akan mendapat tambahan 300 bus. Total dana yang dibutuhkan tak kecil. Untuk pesangon karyawan dan penambahan 300 bus—terdiri atas 150 bus bekas impor dan sisanya bus milik PPD yang diperbaiki—dibutuhkan Rp 198 miliar.

Karena pemerintah tak punya duit, sedangkan pihak bank tak berani memberikan pinjaman, PPD terpaksa menjual empat pangkalan bus miliknya, ditambah dua bidang tanah kosong. Nilainya diperkirakan mencapai Rp 262 miliar. Jun Tambunan yakin, setelah itu, PPD akan melaju dan meraih untung. Tahun lalu merugi sampai Rp 45 miliar, dengan penyehatan ini PPD diperkirakan bisa meraup laba Rp 166 miliar pada tahun 2007.

Target itu memang fantastis, apalagi kalau dilihat dari sejarah PPD yang acap terjatuh-jatuh dan berkali-kali diselamatkan. Pada 1986, seperti diceritakan Koordinator Federasi Transportasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia, Robinson Hasibuan, PPD pernah menjual aset dengan alasan yang sama, demi penyehatan. Tapi PPD tetap sakit. "Yang sehat malah pejabatnya," katanya ketus.

Ratusan miliar duit pemerintah juga sudah dikucurkan, semata-mata agar PPD tidak kolaps. Sejak 1996, setidaknya Rp 203 miliar dana talangan dihabiskan untuk membayar gaji karyawan dan menambah bus. Karena itu, Robinson tak yakin kali ini akan berhasil. Dia berpendapat, sumber utama kehancuran PPD adalah korupsi yang sudah mengakar dalam tubuh manajemen PPD. Dan borok ini bukan tidak diketahui pihak luar. Masalahnya lebih terletak pada ada atau tidaknya kesungguhan pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan yang ketat dan menegakkan manajemen yang bersih.

Selama PPD terus dijadikan sasaran kanibalisme, selama itu pula perusahaan tersebut akan terus merugi. Singkat cerita, penggerogotan PPD oleh orang PPD terjadi di semua lini dan dilakukan dengan berbagai cara: dari penetapan harga solar di pangkalan bus PPD yang Rp 35 lebih mahal daripada harga di pompa bensin biasa, suku cadang yang dinaikkan, sampai solar yang dioplos dengan minyak tanah. Hasil tes solar di sebuah laboratorium di kawasan Fatmawati menunjukkan bahwa solar di pangkalan bus PPD sudah dioplos dengan minyak tanah.

Tapi Jun Tambunan membantah adanya praktek korupsi seperti itu. Untuk harga jual solar yang lebih tinggi, dia memberikan alasan adanya beban ongkos angkut. Dan dia tak luput menuding awak bus yang suka mengutil. Katanya, ketika mereka dibolehkan mengisi solar di pompa bensin umum, pemakaian solar ternyata jauh lebih besar. Dia juga membantah rekayasa harga suku cadang. Soal oplosan solar dengan minyak tanah, dia mengatakan, "Kami tidak segoblok itu."

Yang mana yang benar barangkali hanya bisa ditanyakan kepada bus PPD yang rongsokan. Sementara itu, Roshid Hidayat, anggota DPR dari Komisi Transportasi, menyatakan bahwa persoalan yang membelit PPD sudah seperti benang kusut. Kebocoran ada di semua lini, baik manajemen maupun pengemudi di lapangan. Ini berarti PPD tidak sekadar "kelebihan muatan" seperti yang dikatakan Jun Tambunan.

Bicara tentang solusi, Roshid cenderung pada pendapat agar PPD dilikuidasi. Kalau pemerintah masih memerlukan angkutan ini untuk melayani publik, menurut Roshid, lebih baik dibangun perusahaan baru. Jalan keluar ini dinilainya lebih sederhana dan tidak membuat PPD terantuk terus di tempat yang sama.

Leanika Tanjung, Muhamad Fasabeni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus