Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para tamu itu hanya sebagian dari puluhan penganut tarekat yang datang ke rumah Habib. Maklum, kiai keturunan Arab itu baru saja terpilih menjadi Ketua Umum (Rais Am) Jam'iyah Ahl Atthariqah Almu'tabarah Annahdliyah, payung organisasi tarekat yang berafiliasi ke NU dalam Muktamar Nasional IX di Pekalongan, 26-28 Februari lalu. Bermasa bakti 2000-2005, Habib menggantikan posisi K.H. Ahmad Muthohar. Sedangkan direktur operasional organisasi, yang sebelumnya dipegang Dr. Idham Chalid (cendekiawan NU), kini diduduki K.H. Luthfi Hakim Muslih (Pesantren Futuhiyah, Demak, Jawa Tengah).
Muktamar dengan 5.000 peserta dari Sumatra, Kalimantan, dan Jawa itu, selain memilih pengurus baru, juga meneguhkan kembali komitmen organisasi yang berakidah dan berasas Islam menurut paham ahlu sunnah wal jamaahlabel ortodoksi untuk kaum sunnidan menganut mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali). Mereka juga menekankan kembali posisi politisnya untuk tidak berafiliasi ke suatu kekuatan sosial politik apa puntermasuk ke Partai Kebangkitan Bangsa, organisasi politik yang dibidani mantan ketua Pengurus Besar NU Abdurrahman Wahid. Muktamar itu dianggap banyak pihak menjadi penting, mengingat ia berlangsung pada era reformasi yang demokratis, sementara NU, organisasi induknya, berada di pusat kekuasaan.
Bukankah kini saatnya kaum tarekat bangkit kembali? Memang, terpilihnya Kiai Habib Luthfi dan Luthfi Hakim sebagai pucuk pimpinan organisasi memercikkan harapan akan kebangkitan kembali kaum tarekat. Maklum, organisasi yang didirikan oleh sejumlah kiai tarekat NU ituantara lain Abdul Wahab Chasbullah, Bisri Syamsuri, dan Idham Cholid pada 1957pernah "diobok-obok" oleh politik represif Orde Baru dan karena itu lama terseok dan kurang darah. Kini optimisme paling tidak memercik di wajah Habib. "Saya melihat gairah baru muncul dalam muktamar ini," kata Habib.
Siapakah Habib? Bapak beranak lima ini sejak usia 15 tahun memperoleh talqin (dituntun untuk berbaiat) tarekat dari Syekh Muhammad Abdul Malik, mursyid Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah Syazaliah, asal Purwokerto, yang bermukim di Mekah. Abdul Malik adalah anak Muhammad Ilyas, mursyid berpengaruh di daerah Banyumas dan cucu Pangeran Diponegoro, pahlawan nasional abad ke-19. Mursyid lain, Sayidil Habib Muhammad bin Alwi Almalik (Mekah), yang menghubungkannya dengan tarekat multisilsilah. Otaknya yang cemerlang membuatnya mudah mempelajari bidang ilmu di luar tasawuf, antara lain kedokteran praktis, fisika secara umum, dan musik. Habib yang berwajah bersih dan berambut kelimis itu telah mencipta 12 lagu jenis instrumentalia kontemporer.
Seorang guru tarekat piawai dan doyan bermusik memimpin organisasi spiritual bermassa 20 juta orang, apa jadinya? Apakah ia mampu menjawab tantangan pada era internet ini? Suara dari luar muktamar tampaknya perlu didengar. Sebuah seminar tarekat yang diadakan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pekalongan di sela muktamar membicarakan perlunya kaum tarekat meninjau ulang posisinya di tengah masyarakat. Beberapa kritik ditudingkan ke kaum tarekat, misalnya mereka cenderung bersikap eksklusif dan menutup pintu bagi masyarakat kebanyakan yang ingin belajar tasawuf. Peserta seminar karena itu berharap agar kesalehan yang dikembangkan kaum tarekat tidak hanya bersifat pribadi, tapi juga berimplikasi sosial. "Mereka juga diharapkan peka terhadap perubahan kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat," kata Muhlisin, dosen Fakultas Tarbiyah STAIN Pekalongan, anggota tim perumus seminar. Mampukah "Kiai Beethoven" ini membawa perjalanan tarekat NU dengan paradigma baru? Waktu yang akan menjawabnya .
Kelik M. Nugroho (Pekalongan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo