Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Gairah Kebangkitan Tarekat NU

12 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMANDANGAN tak lazim muncul di lingkungan penganut tarekat (jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah), yang cenderung jauh dari musik. Kiai Haji Habib Muhammad Luthfi Ali bin Yahya, 55 tahun, guru spiritual (mursyid) Tarekat Naqsyabandiyah di Pekalongan, Jawa Tengah, menyambut kedatangan 10 murid tarekat dari Yogya dengan suguhan musik. Begitu duduk di belakang dua organ Roland E40 dan Yamaha PSR seri terbaru, jemari kedua tangannya menyentuh tuts. Sebuah lagu instrumentalia kontemporer ala komponis Yunani Yanni mengalun. Tak ada tamu yang berani bergoyang. Sebagian ada yang menunduk sambil berzikir.

Para tamu itu hanya sebagian dari puluhan penganut tarekat yang datang ke rumah Habib. Maklum, kiai keturunan Arab itu baru saja terpilih menjadi Ketua Umum (Rais Am) Jam'iyah Ahl Atthariqah Almu'tabarah Annahdliyah, payung organisasi tarekat yang berafiliasi ke NU dalam Muktamar Nasional IX di Pekalongan, 26-28 Februari lalu. Bermasa bakti 2000-2005, Habib menggantikan posisi K.H. Ahmad Muthohar. Sedangkan direktur operasional organisasi, yang sebelumnya dipegang Dr. Idham Chalid (cendekiawan NU), kini diduduki K.H. Luthfi Hakim Muslih (Pesantren Futuhiyah, Demak, Jawa Tengah).

Muktamar dengan 5.000 peserta dari Sumatra, Kalimantan, dan Jawa itu, selain memilih pengurus baru, juga meneguhkan kembali komitmen organisasi yang berakidah dan berasas Islam menurut paham ahlu sunnah wal jamaah—label ortodoksi untuk kaum sunni—dan menganut mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali). Mereka juga menekankan kembali posisi politisnya untuk tidak berafiliasi ke suatu kekuatan sosial politik apa pun—termasuk ke Partai Kebangkitan Bangsa, organisasi politik yang dibidani mantan ketua Pengurus Besar NU Abdurrahman Wahid. Muktamar itu dianggap banyak pihak menjadi penting, mengingat ia berlangsung pada era reformasi yang demokratis, sementara NU, organisasi induknya, berada di pusat kekuasaan.

Bukankah kini saatnya kaum tarekat bangkit kembali? Memang, terpilihnya Kiai Habib Luthfi dan Luthfi Hakim sebagai pucuk pimpinan organisasi memercikkan harapan akan kebangkitan kembali kaum tarekat. Maklum, organisasi yang didirikan oleh sejumlah kiai tarekat NU itu—antara lain Abdul Wahab Chasbullah, Bisri Syamsuri, dan Idham Cholid pada 1957—pernah "diobok-obok" oleh politik represif Orde Baru dan karena itu lama terseok dan kurang darah. Kini optimisme paling tidak memercik di wajah Habib. "Saya melihat gairah baru muncul dalam muktamar ini," kata Habib.

Siapakah Habib? Bapak beranak lima ini sejak usia 15 tahun memperoleh talqin (dituntun untuk berbaiat) tarekat dari Syekh Muhammad Abdul Malik, mursyid Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah Syazaliah, asal Purwokerto, yang bermukim di Mekah. Abdul Malik adalah anak Muhammad Ilyas, mursyid berpengaruh di daerah Banyumas dan cucu Pangeran Diponegoro, pahlawan nasional abad ke-19. Mursyid lain, Sayidil Habib Muhammad bin Alwi Almalik (Mekah), yang menghubungkannya dengan tarekat multisilsilah. Otaknya yang cemerlang membuatnya mudah mempelajari bidang ilmu di luar tasawuf, antara lain kedokteran praktis, fisika secara umum, dan musik. Habib yang berwajah bersih dan berambut kelimis itu telah mencipta 12 lagu jenis instrumentalia kontemporer.

Seorang guru tarekat piawai dan doyan bermusik memimpin organisasi spiritual bermassa 20 juta orang, apa jadinya? Apakah ia mampu menjawab tantangan pada era internet ini? Suara dari luar muktamar tampaknya perlu didengar. Sebuah seminar tarekat yang diadakan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pekalongan di sela muktamar membicarakan perlunya kaum tarekat meninjau ulang posisinya di tengah masyarakat. Beberapa kritik ditudingkan ke kaum tarekat, misalnya mereka cenderung bersikap eksklusif dan menutup pintu bagi masyarakat kebanyakan yang ingin belajar tasawuf. Peserta seminar karena itu berharap agar kesalehan yang dikembangkan kaum tarekat tidak hanya bersifat pribadi, tapi juga berimplikasi sosial. "Mereka juga diharapkan peka terhadap perubahan kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat," kata Muhlisin, dosen Fakultas Tarbiyah STAIN Pekalongan, anggota tim perumus seminar. Mampukah "Kiai Beethoven" ini membawa perjalanan tarekat NU dengan paradigma baru? Waktu yang akan menjawabnya….

Kelik M. Nugroho (Pekalongan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus