PATOKAN harga minyak untuk anggaran pemerintah tampaknya bukan lagi satu hal yang harus dirahasiakan. Tiga orang menteri Kabinet Pembangunan VI yang tampil di DPR baru-baru ini telah menyuarakan bahwa penerimaan pajak minyak untuk tahun anggaran 1994-95 tidak akan lebih cerah dibandingkan dengan anggaran yang sedang berjalan. Dalam rapat kerja dengan Komisi APBN di DPR RI, secara berturut-turut Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Ginandjar Kartasasmita, Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad, serta Menteri Pertambangan dan Energi Ida Bagus Sudjana menegaskan kemungkinan itu. Mereka malah menyatakan bahwa harga minyak justru akan lebih rendah. Sementara harga dasar minyak dalam APBN 1993-94 adalah US$ 18 per barel, untuk RAPBN 1994-95 dikatakan akan berkisar US$ 1617 per barel. Salah satu alasannya adalah faktor pasar. ''Kami menyarankan sebaiknya kita masukkan saja dasar harga yang terendah,'' kata Ida Bagus Sudjana, Senin pekan lalu. Namun, Sudjana mengingatkan, penentuan harga dasar minyak untuk perhitungan penerimaan pajak merupakan wewenang Menteri Keuangan -- tentu setelah mendapat persetujuan Presiden. Dengan mengusulkan harga antara US$ 16 dan US$ 17 per barel, ''Mereka nanti bisa berpikir untuk ambil tengah-tengahnya,'' Sudjana menambahkan. Mantan Menteri Pertambangan dan Energi Prof. Dr. Subroto, yang kini menjabat Sekjen OPEC, juga mengatakan hal serupa. ''Saya sarankan kepada Pemerintah agar penyusunan RAPBN 1994-95 mengambil patokan harga minyak tak lebih dari US$ 17. Lebih aman lagi kalau US$ 16,5 per barel,'' kata Subroto dari Wina, Austria, ketika diwawancarai TEMPO lewat telepon dari Jakarta. Ginandjar Kartasasmita, yang tampil di DPR seminggu sebelumnya, juga sudah bicara hal yang sama. Dan Mar'ie Muhammad, yang tampil di DPR beberapa hari setelah Ginandjar, agaknya akan menerima usul tadi. Soalnya, harga dasar untuk APBN 1993-94 saja sudah sulit dicapai. Realisasi harga minyak selama semester pertama (April September 1993), seperti diungkapkan Menteri Keuangan dalam rapat kerja di DPR, ternyata cuma US$ 17,64 per barel. ''Dalam semester II, tingkat harga rata-rata minyak mentah diperkirakan lebih rendah dari semester I,'' ungkap Mar'ie. Namun, pernyataan ketiga menteri tadi agak mengusik keingintahuan orang awam juga. Apakah benar harga minyak akan jatuh? Jangan-jangan mereka hanya bermaksud mengirim isyarat kepada departemen dan kepala daerah agar tidak mengajukan proyek baru, terutama proyek-proyek berteknologi tinggi, seperti yang dikritik Bank Dunia Juni lalu. Namun, haruslah diakui, kondisi pasar minyak dalam empat tahun belakangan sudah amburadul. Seusai Perang Teluk, spekulasi pasar berubah-ubah dalam jangka sangat pendek. Harga minyak tahun 1993 ini semula diperkirakan bisa dikendalikan OPEC. Juli lalu, ketika Irak dan PBB mulai berdialog tentang pengenduran kontrol PBB atas ekspor Irak, spekulan menduga minyak akan segera membanjir. Soalnya, Irak telah menimbun stok 110 juta barel. Menteri Perminyakan Irak mengklaim, negaranya mampu mengekspor 3 juta barel per hari. Tapi, perundingan Irak dan PBB gagal, maka harga tetap terkendali. Juli lalu, majalah The Economist menurunkan artikel tentang pasar minyak dunia yang menunjukkan gejala berbeda. The Economist menyebutkan, konsumsi minyak di negara-negara industri merosot, tapi permintaan dari negara-negara di Asia justru naik pesat. Permintaan Korea Selatan naik lebih dari 20%, Thailand naik 12,6%, Cina naik 8,7%, dan India naik 5,3%. Kemudian, September 1993, The Eco-nomist menampilkan dua judul berita yang lebih mengejutkan. Pertama, ''Minyak Murah Hanya untuk Sekarang.'' Kedua, ''Spekulasi Mengejutkan tentang Harga Minyak: Dia Bisa Naik Tajam.'' Dalam edisi ini beberapa pengamat memperkirakan, mungkin sekali akan terjadi harga tinggi. Masalahnya, pemasokan minyak dalam setengah terakhir dasawarsa ini (setelah 1995) akan lebih seret dari yang sudah- sudah. Konsumsi Asia ini saja sudah sama dengan sepertujuh konsumsi dunia. Permintaan Asia saja diperkirakan akan naik sekitar 500 ribu barel per tahun. Selain itu, permintaan dari negara-negara bekas blok sosialis juga akan segera naik. Tapi apakah ramalan itu tidak terlalu dini? ''Permintaan Rusia itu tak bisa diramalkan sekarang,'' ujar Subroto mengenai berita The Economist. Menurut Subroto, keadaan politik Rusia masih tak menentu. Peraturan dan UU belum mantap sehingga belum akan merangsang investasi. Kalaupun politik Rusia menjadi mantap, Rusia sendiri bisa dengan mudah meningkatkan produksi minyaknya. Untuk tahun mendatang, kata Subroto, pasar minyak juga belum menentu. Perekonomian dunia, terutama di Eropa dan Jepang, pun belum membaik. Selain itu, ada beberapa langkah yang condong melemahkan konsumsi. ''Misalnya soal perpajakan,'' kata Sekjen OPEC itu. Di pihak lain, Menteri Pertambangan dan Energi menjelaskan kepada anggota Komisi APBN di DPR RI, sampai kini masih sulit menentukan berapa besar harga patokan minyak untuk RAPBN 1994-95. Walau produksi minyak di luar OPEC sedikit menurun, harga tidak akan lebih baik. Bahwa ketiga menteri dan Sekjen OPEC tak begitu optimistis tentang harga minyak tahun depan, itu barangkali karena Pemerintah ingin realistis saja. Menurut Dirjen Migas, Ir. Suyitno Patmosukismo, patokan harga US$ 1617 per barel ditentukan oleh berbagai faktor. Disebutkannya faktor pasar minyak (gejala penawaran dan permintaan) serta pembangunan ekonomi di negara maju dan negara berkembang. Perhitungan ini dengan asumsi negara-negara Timur Tengah dalam keadaan normal. ''Kita selalu berasumsi begitu. Menurut estimasi kita, mungkin sampai tahun 1993 belum normal. Ternyata memang belum,'' kata Suyitno kepada Kukuh Karsadi dari TEMPO. Dengan patokan harga yang realistis itu, mudah-mudahan tahun depan tidak ada lagi kejutan-kejutan dari Pemerintah, misalnya harga BBM dan tarif listrik naik lagi. Max Wangkar dan Dwi S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini