KASUS Atik, pembantu rumah tangga yang meninggal di Singapura, belum tuntas. Kini, muncul pula kasus Titik, 23 tahun, yang bekerja di kawasan Grope Crescent. Ia mengaku disiksa majikannya, Nyonya Wong Mei Lin. Jari-jari tangannya bengkak. Tangan dan paha gadis berkulit kuning itu juga memar. Belum lagi guratan bekas luka di dagu dan pelipisnya. ''Pantatnya luka bekas disiram air panas,'' kata Siti Zulaika, adik korban. Di rumah majikannya, Titik bekerja dengan batasan waktu. Mencuci mobil hanya diberi waktu 15 menit, waktu makan dijatah lima menit. Lebih dari itu ia dihajar. Pernah Titik akan mengadu ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Nyonya Wong menantang: ''Laporlah. Saya tahu watak orang KBRI. Gampang disogok.'' Padahal, Titik tak diberi kesempatan keluar. Titik jadi kurus kering. Kepalanya terondol, rambutnya rontok. Lalu Wong memulangkannya. Titik tiba di kampungnya, di Purbalingga, Jawa Tengah, 5 November lalu. Keluarganya kemudian mengadu ke polisi dan kantor tenaga kerja di Purbalingga. Dan dua pekan lalu, ia bersama ayahnya juga mengadukan penganiayaan itu ke Kedutaan Besar Singapura di Jakarta. PT Windu, yang mengirim Titik ke Singapura, tak tinggal diam. Titik dibawa ke rumah sakit dan diberi santunan Rp 800.000. Gadis tamatan SMA itu lalu direkrut menjadi instruktur untuk calon tenaga kerja wanita. Selain itu, PT Windu meminta mitra kerjanya di Singapura tidak lagi menempatkan tenaga Indonesia di rumah Wong. Malah tak tertutup kemungkinan nyonya ini diseret ke pengadilan. Upaya mengganjar majikan yang ringan tangan seperti Nyonya Wong bukannya tak ada. Juli lalu pengadilan Singapura mengadili Shaikh Salleh Abdullah Fraij, 41 tahun, dan istrinya Mospiaton, 41 tahun, yang tinggal di Bedok. Mereka menganiaya pembantunya, sebut saja namanya Inah. Penganiayaan terjadi November 1992. Ketika itu Mospiaton menyuruh Inah memijiti suaminya. Karena ditolak, pasangan yang memiliki tiga anak itu memukuli Inah. Lalu mereka mengancam agar Inah tak melapor ke polisi. Di kesempatan lain, April lalu, Inah kembali disuruh memijit Salleh. Kali ini Inah tak cuma dianiaya, tapi juga kaus dan kutangnya dibuka paksa. Lalu, Inah diraba-raba Salleh, di depan istrinya. Baru setelah Inah menangis, Mospiaton menyuruh suaminya berhenti. Tak tahan diperlakukan demikian, Inah mencoba bunuh diri dengan minum pemutih pakaian. Upaya ini diketahui saudara majikannya. Pembantu berusia 20 tahun ini dibawa ke KBRI. Di sanalah terbongkar adanya penganiayaan dan perundungan seksual terhadap Inah. Dibantu petugas KBRI, ia melapor kepada polisi. Kasus ini lalu bergulir ke pengadilan. Suami istri itu diganjar hukuman 15 bulan penjara. Ini membuktikan sikap pemerintah sana tidak pandang bulu. Hanya, tak semua pembantu asal Indonesia, yang umumnya berpendidikan rendah, mengerti urusan hukum di Singapura. Berdasarkan data tahun 1991/1992, tenaga kerja wanita Indonesia di Singapura mencapai 11 ribu orang -- ketiga terbesar, setelah di Arab Saudi dan Malaysia. Tak heran jika kasus penganiayaan cukup sering terjadi. ''Banyak laporan penganiayaan yang masuk. Tapi hanya beberapa yang termasuk serius,'' kata Hadromi Nakim, atase penerangan KBRI di Singapura. Walau kasus tenaga kerja di Singapura cukup banyak, hingga kini di KBRI belum ada atase perburuhan seperti di Arab Saudi. Agaknya sudah saatnya ada atase perburuhan di negara kota itu.Bambang Sujatmoko dan Heddy Lugito
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini