HUTAN Belanglo di kawasan selatan Negara Bagian New South Wales, Sydney, Australia, tiba-tiba jadi terkenal. Bukan karena indahnya, tapi karena keangkerannya. Kini, hutan tersebut dijuluki ''Kuburan wisatawan pembawa tas punggung'' (The backpackers' graveyard). Lima belas bulan terakhir ini sudah tujuh muda-mudi dibunuh di hutan itu. Mereka adalah turis pembawa backpack yang mau mengirit biaya dengan menumpang mobil orang. Tapi buntutnya malah celaka bagi mereka. Sebab, si pembunuh yang berlagak baik hati dan berpenampilan simpatik itu kemudian menikam atau menembaknya. Adalah Caroline Clarke, 22 tahun, korban pertama yang ditemukan pada 19 September lalu. Ia terakhir kali terlihat sedang menunggu mobil tumpangan bersama temannya, Joanne Walters, di tepi Appin Way, di pantai selatan New South Wales, 21 April 1992. Lima bulan kemudian, mayat cewek Inggris ini ditemukan di Belanglo. Dan sekitar satu setengah kilometer dari situ dijumpai mayat Walters. Dua pekan berikutnya, ditemukan kerangka James Gibson, 19 tahun, dan pacarnya, Deborah Everist, 19 tahun. Keduanya asal Melbourne. Jarak kerangka yang satu dengan lainnya sekitar satu kilometer. Gibson dan Everist hilang sejak akhir Desember 1989. Waktu itu keduanya terlihat terakhir kali di Sydney, sedang menunggu mobil tumpangan. Persis sebulan setelah itu, awal November lalu, polisi kembali menemukan mayat wanita di lokasi sekitar lima kilometer dari mayat Gibson. Berdasar identifikasi, disimpulkan korban adalah Simone Schmidl, 21 tahun, dari Jerman. Ia akan berangkat ke Melbourne menunggu mobil tumpangan, setelah sebelumnya berpamitan kepada temannya di Sydney. Waktu itu, 21 Januari 1991, Schmidl berpamitan kepada kenalannya, Kristine Murphy, gadis Sydney. Keluarga Murphy mencoba membujuknya agar tak usah naik mobil tumpangan. Tapi cewek itu begitu yakin bahwa keadaan di Australia aman. ''Ah, tidak apa-apa. Menurut buku ini, penduduknya hangat dan ramah,'' kata Schmidl sembari melambaikan buku petunjuk di tangannya. Penemuan beruntun ini tentu menggegerkan warga New South Wales. Diduga, pembunuhnya orang yang sama. Polisi lalu dikerahkan menyibak hutan Belanglo yang luas, lebat, banyak hujan, dan jarang dimasuki orang. Hutan di dekat Kota Bowral itu dilintasi jalan utama Sydney-Melbourne. Di dalam hutan banyak jalan sempit tak beraspal untuk mobil pemadam kebakaran hutan. Jadi, hanya mobil gardan ganda (four wheel drive) yang mampu menjelajah ke sana. Setelah kerja nonstop 21 jam, polisi kembali menemukan tengkorak sepasang muda-mudi. Mereka wisatawan asal Jerman, Gabor Neugebauer, 21 tahun, dan pacarnya, Anja Habschield, 20 tahun. Mereka dikubur dengan dedaunan, ranting, dan ditimbun sekadarnya. Semuanya mati ditusuk, kecuali Clarke dan Neugebauer, yang juga ditembak. Clarke ditembak 12 kali. Neugebauer, mahasiswa Universitas Munich, Jerman, terakhir kali menelepon ibunya ke Jerman pada pagi Natal 1991, dari telepon umum dekat penginapan murah di kawasan Kings Cross. ''Saya ingin meninggalkan tempat ini sedini dan secepat mungkin,'' kata Neugebauer. Hubungan telepon itu tak bersih, lalu terputus mendadak. Ia dan pacarnya akan ke Bali. Kakak Habschield, Norbert, juga bilang adiknya setiap minggu mengontaknya di Jerman. Tapi, sejak Natal, ia tak menelepon. Maka, baik orang tua Neugebauer maupun Norbert datang ke Australia untuk mencari mereka pada April 1992. Orang-orang di penginapan Kings Cross yang ditanyai memang membenarkan melihat pasangan itu: cowoknya tinggi, dan ceweknya berambut merah. Tapi hanya sebatas itu. Siapa pembunuh para turis itu? Hakim penyidik kematian di New South Wales, Peter Gould, menyimpulkan korban dibawa ke hutan Belanglo dengan sukarela. Dalam jumpa pers yang singkat itu, Gould mengatakan ada hal lain yang terjadi sebelum korban ditusuk atau ditembak. Tidak ada tanda perkosaan pada wanita korbannya. Untuk mengungkap kasus ini, polisi yang bertugas di Belanglo ditambah jadi 300 orang. Tim penyelidik yang terdiri dari 40 orang detektif bekerja nonstop. Gambaran si pembantai bisa diidentifikasi begini: dia punya mobil gardan ganda, punya pisau tajam atau bayonet, bersenapan model 22, dan orangnya diduga memang tahu seluk-beluk Belanglo. Dengan adanya bekas nyala api, bisa disimpulkan si pembunuh berhasil mengajak korbannya bersantai di hutan. Saat itulah, mungkin, korban dibius sebelum dibantai. Pembunuhnya diduga sakit jiwa. Ia bak orang kesetanan. Itu tampak dari luka di tubuh korban, yang menerima tusukan bertubi-tubi. Tulang korban juga remuk. Tapi barang berharga milik korban, termasuk travellers check, tak ada yang hilang. Atas dasar ciri-ciri itu, pekan lalu detektif swasta Tim Bristow melaporkan ke polisi New South Wales bahwa ada seorang pemuda berusia 30 tahunan yang dicurigainya. Bersama polisi, Bristow, bekas perwira polisi itu, pergi ke pondokan pemuda itu. Begitu pondokannya digerebek, si penghuni sudah kabur. Hanya ada beberapa selongsong peluru Ruger 22, persis sama dengan jenis peluru yang ditembakkan ke korban. Menurut Clive Small, kepala tim penyelidik pembantaian di Belanglo, polisi sekarang ini sedang dialihkan dari Belanglo ke Galstoun Gorge. Soalnya, tas punggung salah satu korban, James Gibson, ditemukan di Galstoun Gorge, tak jauh dari Belanglo. Identitas pelaku, karena masih diburu, belum diumumkan. Kasus yang meriuhkan New South Wales ini rupanya mendapat perhatian serius. Buktinya, menteri utama negara bagian itu, John Fahey, perlu turun tangan. Ia menjanjikan hadiah A$ 500.000 (sekitar Rp 700 juta) bagi yang dapat memberikan informasi mengenai si pembunuh misterius itu.Widi Yarmanto dan Dewi Anggraeni (Melbourne)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini