Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Amir Uskara mengatakan sampai saat ini belum ada pembicaraan antara pemerintah dan DPR mengenai pengenaan pajak sembako. Pemerintah berencana barang kebutuhan pokok alias sembako dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amir menyarankan rencana itu dikaji ulang. Musababnya, dalam kondisi perekonomian normal pun, pemerintah harus menghitung cermat apabila ingin mengenakan pajak untuk sembako.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Apalagi dalam masa pandemi saat ini dimana daya beli masyarakat sudah tertekan, karena pasti berpotensi meningkatkan persentase penduduk miskin," kata Amir kepada Tempo, Kamis, 10 Juni 2021.
Sebelumnya, pemerintah berencana menjadikan sembako sebagai objek pajak. Dengan demikian, produk hasil pertanian, peternakan, perkebunan, dan kehutanan bakal menjadi barang kena pajak yang dikenai tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Kebijakan itu akan tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Meski demikian, sejauh ini pemerintah belum menentukan tarif mana yang akan diberlakukan. Terdapat beberapa opsi yang menjadi pertimbangan, yakni PPN Final 1 persen, tarif rendah 5 persen, atau tarif umum 12 persen.
Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, sembako menjadi kelompok barang yang dikecualikan sebagai objek pajak. Peraturan Menteri Keuangan No. 99/2020 menyebutkan setidaknya ada 14 kelompok barang yang tidak dikenai tarif PPN, di antaranya adalah beras dan gabah, jagung, sagu, garam konsumsi, gula konsumsi, susu, kedelai, telur, sayur-sayuran, dan buah-buahan.
Amir Uskara mengatakan hingga saat ini pun pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) masih belum masuk agenda di Badan Musyawarah DPR.
CAESAR AKBAR | BISNIS