Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Sengketa Selembar SIUPP

Sidang Tanwir Muhammadiyah di Lhokseumawe mempersoalkan koran "masa kini" yang berganti nama menjadi "Yogya Post"."masa kini" sebelumnya milik Muhammadiyah, kini dikelola oleh PT Surya Pesindo.

30 Desember 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YOGYA Post d/h Masa Kini diterbitkan di Yogya, tapi nasibnya dibicarakan di Lhokseumawe, Aceh. Tepatnya, dalan pertemuan pra-muktamar Muhammadiyah yang berakhir Senin dua pekan lalu. Salah satu keputusan yang diambil di situ adalah: meminta Pengurus Pusat Muhammadiyah agar mengambil alih surat kabar itu. Tapi mau diambil alih dari siapa? Ternyata dari pengelolanya yang baru: PT Surya Pesindo. Kabarnya, inilah perusahaan yang, tanpa diketahui PP Muhammadiyah, telah menggarap Masa Kini (MK) -- bahkan mengganti namanya menjadi Yogya Post (YP). Padahal, dalam sidang Tanwir disebutkan, koran itu masih milik Muhammadiyah. Jika mau diurut ke belakang, pergantian nama terjadi awal Oktober lalu. Hal ini, menurut Djarnawi Hadikoesoemo -- bekas Pemimpin Umum Masa Kini, dan juga merangkap anggota PP Muhammadiyah -- sama sekali tidak melalui musyawarah dengan Muhammadiyah sebagai pemegang SIUPP. Syahdan, sekitar 1966, sejumlah tokoh Islam di Yogya mendirikan koran dengan nama Mercu Suar (MS), yang dikelola Yayasan Mercu Suar, yang anggotanya berafiliasi ke Muhammadiyah. Ternyata, usia MS tak cukup panjang. Pada 1973 koran itu berhenti terbit, setelah ada surat pernyataan bersama yang isinya membubarkan Yayasan Mercu Suar. Namun, pada tahun yang sama berdiri sebuah Yayasan Masa Kini -- anggotanya tak jauh berbeda dengan anggota Yayasan Mercu Suar -- yang menerbitkan koran Masa Kini. Kendati sudah ganti kulit, MK tak lebih mujur dari MS. Perjalanan koran yang masih membawa bendera Islam itu tak terlalu mulus. Penyebab utama adalah dana yang terbatas, di samping Muhammadiyah juga tak punya percetakan. Akhirnya, Moehadi Sofyan, selaku Ketua Yayasan Masa Kini yang merangkap Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi MK, pada 1987 sempat meminta Muhammadiyah supaya membantu kelangsungan hidup korannya. Lalu muncul Dr. Amien Rais, dosen UGM Yogyakarta yang ditugasi PP Muhammadiyah mencari investor demi menunjang MK. Amien berhasil memperoleh tiga penyandang dan yang memasok Rp 400 juta. "MK kembali bernapas, tapi tidak lama," tutur Djarnawi. Setelah susunan pengasuhnya dirombak -- dengan Djarnawi sebagai pemimpin umum -- MK berhasil mendongkrak oplahnya menjadi sekitar 10 ribu eksemplar. Tapi Januari lalu, MK kolaps dan sempat tidak terbit. Menurut Amien Rais, PP Muhammadiyah hanya sempat menangani MK setahun, sampai 1988. Setelah itu, MK kembali senen-kemis. "Ini karena kurangnya tenaga profesional," kata Amien. Tapi, sebulan kemudian, para karyawan mengajukan tuntutan kepada PP Muhammadiyah. Bila dalam tempo seminggu PP Muhammadiyah tidak mampu menerbitkan kembali, dalam arti mencari pemodal baru, mereka akan mengambil alih MK. Ancaman itu ternyata bukan gertak sambal. Sembari menunggu investor baru, para karyawan dan wartawan patungan untuk menjaga kelangsungan hidup MK, dengan menerbitkannya seminggu sekali, setiap Rabu. Ini sekadar menjaga agar tidak kena penalti -- kalau tiga bulan berturut-turut tidak terbit, SIUPP bisa dibatalkan. "Ada yang menjual motor, sawah, bahkan perhiasan istrinya," tutur Irwan Suud, salah seorang bekas wartawan MK yang kini bekerja di YP. Situasi agak lumayan setelah ada dukungan dari Susetyo Prabowohadi, Ketua Kadin Bantul, Yogyakarta, yang memasok Rp 16 juta. Nah, dalam MK yang terbit seminggu sekali itu, nama Djarnawi tetap tecantum sebagai pemimpin umum, tapi diberi catatan: non-aktif. "Saya diam saja. Namun, tak berarti setuju," kata Djarnawi. Lebih dari itu, dalam akta Yayasan Masa Kini, salah satu pasalnya menyebutkan, bila koran tersebut berhenti terbit, SIUPP dikembalikan ke PP Muhammadiyah. Bertolak dari sinilah Djarnawi membawa soal MK ke sidang Tanwir. Ketika 5 Oktober lalu YP beredar sebagai pengganti MK, para pengurus Muhammadiyah kaget. "Ini aneh. Sebab, SIUPP yang dipakai masih SIUPP Masa Kini...," demikian celetuk Djarnawi. Dia tampak penasaran, apalagi Yayasan Masa Kini juga sudah menjadi PT Citra Masa Kini. Dan perusahaan inilah yang kemudian bekerja sama dengan PT Surya Pesindo, menerbitkan YP. Suntikan dana dari PT Surya Pesindo -- yang didukung pengusaha Surya Paloh -- membuat YP yang terbit 12 halaman itu tampak sehat dan cukup izi. Dengan dukungan sekitar 30 wartawan, oplah MK sedikit demi sedikit terangkat. Kabarnya, kini sudah 25 ribu eksemplar. Sementara itu, bergaung suara dari kubu PT Surya Pesindo yang menyayangkan "gugatan" Muhammadiyah. "Saya betul-betul nggak ngerti, kalau sudah grup kami yang pegang, kami digasak terus," kata sumber TEMPO itu. Dalam menangani "sengketa" ini, Deppen tampaknya berhati-hati. "Biar mereka sendiri yang menyelesaikannya," kata Dr. Janner Sinaga, Dirjen PPG. Ia menolak menjelaskan lebih lanjut. Yusroni Henridewanto, Aries Margono, dan I Made Suarjana (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus