ANGGOTA Kongres Amerika Serikat, Tony Hall, kembali mengutak-atik soal Timor Timur. Kali ini yang dipersoalkan wakil Partai Demokrat itu mengenai kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Dilli, pertengahan Oktober lalu. Hall minta Menteri Luar Negeri James Baker menugasi Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, agar melakukan penelitian tentang apa yang disebutnya sebagai penangkapan dan penyiksaan terhadap sejumlah penduduk Timor Timur, sewaktu Paus Yohanes Paulus II berkunjung ke sana. Selain itu, ia juga mempersoalkan keterbatasan izin masuk Timor Timur bagi organisasi-organisasi kemanusiaan. Meski petisi Hall dibicarakan di Kongres, pekan lampau, apa yang diributkan wakil rakyat itu sebenarnya bukan cerita baru. Sudah tiga kali Hall "menggugat" Timor Timur. Ketika Hall mengajukan petisi mengenai "ketertutupan" di Timor Timur, 1985, suaranya didukung 118 anggota Kongres. Tahun lalu, petisi senada dari Hall mengenai Timor Timur dapat dukungan 182 suara. Petisi Hall itu ternyata mendapat balasan keras dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia. Dalam petisi balasan yang dikirimkan dari Senayan, diteken oleh 400 wakil rakyat, mereka membantah keras tuduhan Hall tersebut. Mereka bahkan menyebut petisi Hall itu sebagai intervensi urusan dalam negeri orang. Apa sesungguhnya yang mendorong Hall mengajukan petisi senada lagi? Ceritanya: ketika Paus berkhotbah di lapangan Tasi Tolu, Dilli, Oktober lalu, tiba-tiba sekitar 20 pelajar berupaya mencapai podium. Sembari merangsek maju mencapai Paus, mereka membentangkan poster bertuliskan "Viva Santo Pedro" dan meneriakkan yel-yel serupa. Keriuhan yang ditimbulkan oleh 20 pemuda itu tak lama. Paus memang sempat tercengang sesaat oleh ulah pemuda-pemuda tersebut, setelah itu kembali khusyuk meneruskan doa penutup. Koor gereja sama sekali tak terganggu dan terus menyanyi. Sekitar sepuluh menit keadaan sudah kembali normal. Tapi, oleh wartawan-wartawan asing yang meliput kunjungan Paus, justru soal protes kecil yang dibesar-besarkan. Tak heran bila Menteri Luar Negeri Ali Alatas menanggapi protes Hall dengan dingin. "Mereka itu mendapat informasi dari pemberitaan yang tidak seimbang," kata Menteri Alatas kepada TEMPO Jumat pekan lalu. Ia sudah minta Kedutaan Besar Indonesia di Washington agar memberikan informasi yang sebenar-benarnya dan sejelas-jelasnya. Reaksi keras justru muncul dari DPR. "Provokasi Tony Hall kali ini sudah keterlaluan," kata Marzuki Darusman, Wakil Sekretaris Bidang Polkam Fraksi Karya Pembangunan. Ia memprotes butir petisi Hall yang menyebutkan soal penangkapan sebagai pola umum yang berlaku di Indonesia. Tapi upaya Marzuki membuat petisi tandingan dengan peneken lebih besar tak mudah. Soalnya, DPR lagi reses, dan sebagian besar anggota dewan tak di Jakarta. Maka, upaya Marzuki menandingi Petisi Hall tertanggal 16 Desember, yang sampai Jumat pekan lalu sudah mendapat sambutan 114 tanda tangan, dengan mengumpulkan tanda tangan semua pimpinan Fraksi di DPR. "Karena susah kalau mencari banyak tanda tangan, kita imbangi dengan kualitas," tuturnya. Meski petisi Hall sudah ramai dibicarakan di Washington, menurut Atase Pers Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Julie Gianelloni, petisi itu belum sampai ke tangan Menteri Luar Negeri Baker. Sehingga mereka belum dapat menentukan sikap terhadap imbauan Hall untuk melakukan penyelidikan mengenai kejadian di Dilli itu. Belum diketahui kelanjutan petisi Hall itu. "Ini menjelang Natal. Lagi pula, kami sibuk ke Panama," ujar suara di kantor Tony Hall, bercanda. Yopie Hidayat, Sidartha Pratidina, Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini