INGAT Atjai? Tiba-tiba nama itu, kini, santer diberitakan lagi. Pada tahun 1970-an, nama Atjai -- belakangan lebih dikenal dengan nama Endang Wijaya -- menjadi bahan perbincangan. Ia divonis terlibat perkara korupsi yang lazim disebut kasus Pluit. Kini, Atjai dianggap melakukan kesalahan lain, yang jauh lebih ringan ketimbang sebelumnya: membangun air terjun tanpa izin. Sebenarnya, disebut-sebutnya lagi nama Atjai, hanya karena kebetulan. Operasi untuk menertibkan kawasan Puncak, kini, sedang giat-giatnya dilakukan. Setelah sejumlah vila tanpa izin dirobohkan, sebuah bendungan yang dibangun secara pribadi dibongkar, dan pihak Taman Safari sempat diperingatkan soal bendungan pula, kini, air terjun buatan yang menjadi sasaran. Di Desa Cibeureum, kawasan Puncak, Bogor, terdapat kompleks vila. Luas arealnya sekitar enam hektare. Di sana, sejak tahun lalu, berdiri vila atas nama Eka Jaya Maki. Tak jelas, siapa Eka Jaya Maki, dan apa hubungannya dengan Endang Wijaya. Namun, Kepala Inspektorat Wilayah Kabupaten (Itwilkab) Bogor Tamdjuri mengatakan: "Tanah itu milik Endang Wijaya." Dalam komplek vila itulah, air terjun buatan ditemukan. Tim Operasi Wibawa Praja terperangah menemukannya. Air pada saluran umum dialirkan pada konstruksi beton yang menyerupai bebatuan. Air jatuh gemericik, lalu melewati undak-undakan semen, sebelum kemudian mengalir ke bak sungai kecil membelah dua kompleks yang ditumbuhi pohon pinus setinggi satu setengah meter. Sepintas, memang tampak indah, walaupun tetap berkesan kurang alami. Pertengahan Desember ini, Itwilkab Bogor mengeluarkan vonis. Pada sebatang pinus yang berada di bagian atas konstruksi itu, petugas menempelkan papan bertulisan: "Bangunan dihentikan, Melanggar Perda No. XII/PUO 71/DPRD/X/77." "Jangan nyelonong begitu saja. Membangun sesuatu yang ada kaitannya dengan lingkungan kan ada aturannya," kata Tamdjuri. Semula, seluruh pembangunan kawasan vila itu dianggap tanpa izin. Namun, setelah diteliti, ternyata tidak. Vila-vila yang telah berdiri, mempunyai Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sejak tahun lalu. Hanya konstruksi air terjun itu yang sama sekali tanpa izin, walaupun sudah 60-70 persen selesai. Karenanya, kata Tamdjuri lebih lanjut, "Kami hentikan pembangunan bendungan itu. Sebelum clear, ya status quo-lah." Tak seperti vila yang tanpa IMB, bangunan ini tak serta-merta dibongkar. Pihak Pengairan PU Bogor, kini, tengah meneliti kelaikan teknisnya. Bila terbukti air terjun itu secara teknis merusak lingkungan, petugas mengaku siap membongkarnya. Sama seperti pembongkaran bendungan tanpa izin, yang dikenal dengan sebutan "bendungan Suhirman" di hulu Ciliwung, beberapa bulan lalu. Namun, tampaknya, nasib konstruksi itu tak bakal seburuk "bendungan Suhirman". Sejumlah pejabat dan masyarakat setempat cenderung membela Atjai. "Saya tahu betul keadaan di sini," kata Madsari, penduduk yang berusia 55 tahun. "Saya asli Cibeureum." Aliran air di situ, menurut dia, dulu banyak sampah. Setelah dibangun, justru malah lancar dan bersih. Suara senada datang dari O. Mahmun -- Kepala Urusan Pemerintahan Desa Cibeureum. "Alur air tak berubah. Kalau soal kolam ikan, sebelum dibeli Pak Endang, di sini memang kolam pemancingan," katanya. Sedangkan Tamdjuri malah terang-terangan memuji Atjai yang disebutnya menjadikan lingkungan lebih hijau dengan menanam ribuan batang pinus. Adapun persoalan yang harus diselesaikan semata urusan administratif. Bisa jadi, urusan memang akan segera beres. Air akan terus gemericik di kawasan itu. Namun, kasus ini menunjukkan, bagaimana kurang pedulinya masyarakat -- setidaknya sebagian -- pada peraturan hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini