OPEC akhirnya sepakat untuk tidak mufakat. Itulah hasil maksimal yang dapat dicapai dari pertemuan satu minggu para menteri perminyakan 13 negara OPEC. "Kami gagal untuk mengambil satu sikap," kata Menteri Perminyakan Iran Gholamreza Aqazadeh di Jenewa, Swiss, Senin pekan ini. Situasi dunia yang dibanjiri minyak kelihatannya belum mampu melicinkan perundingan. Kendati 10 negara anggota menginginkan kuota 16 juta barel per hari, Iran, Libya, dan Aljazair tetap bertahan pada usul dua juta barel lebih rendah. Perbedaan jumlah kuota ini sebenarnya berakar dari pandangan kedua pihak tentang harga minyak. Iran dan konco-konconya menganggap seharusnya harga kembali kepada kesepakatan OPEC terakhir US$ 28 per barel. Tapi Saudi dan negara-negara Teluk berpandangan lain. Mereka menganggap harga cukup pantas di sekitar US$ 16 saja. Karena itu, kuota 16 juta barel setiap hari dianggap memadai untuk mendongkrak harga minyak saat ini, US$ 11 per barel, untuk naik US$ 5. Kegagalan mencapai mufakat ini bukan satu-satunya jalan buntu yang dialami. Bagaimana membagikan kuota itu ke tiap negara adalah masalah yang lebih besar. Belum lagi soal sistem pengawasan untuk memastikan kepatuhan terhadap kesepakatan ini. Tak heran jika Menteri Perminyakan Persatuan Emirat Arab, Mana Said Al Oteiba, mengatakan, "Kita sebenarnya tak beranjak dari posisi sebelum pertemuan." Pernyataan Oteiba, barangkali, terasa terlalu pesimistis. Paling tidak bagi lima negara anggota yang ditunjuk menjadi panitia kontak. Yakni yang bertugas menghubungi negara penghasil minyak non-OPEC lainnya dalam upaya memperbaiki harga minyak dunia. Karena itu, keanggotaannya tersebar pada negara dari berbagai benua: Indonesia, Kuwait, Nigeria, Venezuela, dan Arab Saudi. "Pokoknya, meliput kontak terhadap semua penghasil minyak non-OPEC yang ada," kata Arturo Hernandez, Ketua Panitia yang berasal dari Venezuela itu. Adapun hasil kerja panitia ini diharapkan dapat dibahas dalam pertemuan OPEC berikut, yang direncanakan berlangsung di Beograd, Yugoslavia, akhir Juni nanti. Selain itu, pertemuan ini diharapkan juga dapat menghasilkan titik temu dalam pembagian kuota setiap negara. Suatu hal yang mungkin agak sulit dicapai: Irak saja 'kan sudah kaok-kaok menginginkan penambahan jatahnya dari 1,2 juta barel menjadi 2,3 juta. Padahal, menurut ramalan Menteri Perminyakan Irak Ahmed Qassem Taqi, "OPEC mungkin hanya dapat berproduksi 10 juta barel jika tetap menjadi satu-satunya yang berusaha mempertahankan harga." KALAULAH Irak cuma satu-satunya anggota OPEC yang 'ngotot, keadaan mungkin tak terlalu buruk. Tapi sebuah studi di AS memperkirakan Arab Saudi pun tampaknya sulit untuk menurunkan jatahnya. Pasalnya, dengan menurunnya harga minyak, Arab Saudi diperkirakan mengalami tekor sekitar 20 milyar dolar setiap tahun. Dan dengan harga minyak 15 dolar per barel saja, Saudi harus memproduksi minyak 8 juta setiap hari, untuk menutup ketekoran itu. Padahal, jatahnya sekarang saja cuma 4,35 juta barel. Wajarlah kalau berita kegagalan OPEC mencapai kata mufakat ini sudah diramalkan kebanyakan pengamat. "OPEC hanya punya satu pilihan, yaitu sama seperti keputusan mereka bulan lalu: mengurangi produksi," kata Philip Verleger, pengamat soal minyak dari Charles River Associate di Washington DC. "Tapi kenyataan bahwa mereka tak mampu melakukan itu memang sudah diramalkan. Tak ada seorang pun yang menyangka mereka akan berbuat sesuatu," tambah Philip. Yang diperlukan sekarang barangkali sebuah studi lagi: berapa, sih, tekornya Indonesia, misalnya. Bambang Harymurti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini