KONON, pasar untuk perkakas pembuat plastik lembaran belum jenuh. Tapi, hari-hari ini, langkah Gajah Plastic Machinery Work (GPMW), PMDN, tengah terhuyung-huyung. "Saya bingung," begitu cuma kata Suwandhy alias Tjoe Way Siong, pemiliknya. Ketika sistem pembayaran di pasar dalam negeri tidak bisa diandalkan untuk mengembangkan usaha, lantas Suwandhy, 38, nekat menanam Rp 300 juta membangun pabrik baru untuk mengejar ekspor: Tapi, lihatlah .... Rumput liar dan semak bebas bertumbuhan di sekeliling bangunan bercat hijau seluas 1.000 meter persegi itu. Terletak di Palur, Solo, prasarana ini - ketika dibangun 1983 - disiapkan GPMW supaya mampu menghasilkan 30 unit mesin pembuat plastik per bulan. Pabrik lamanya di Pucangsawit, yang berkapasitas 13 unit per bulan, sejak 1974 memang untuk melayani pasar domestik. Tapi, ketika hendak ekspor, Gajah itu malah tersungkur. Pekan lalu, kepada koresponden TEMPO di Solo, Kastoyo Ramelan, Suwandhy mengatakan, "Sandungannya justru di dalam negeri sendiri." Dia mengatakan bahwa dana tambahan Rp 1,9 milyar, berupa kredit dari Bapindo, "Tidak bisa dicairkan." Kok? Hal itu dibantah Direktur Utama Bapindo Subekti Ismaun. Katanya, memang betul, ada janji Bapindo hendak memberikan kredit ekspor berbunga 9%. Tapi, kata Subekti: namanya saja kredit ekspor - segala ketentuan yang bersangkutan dengan ekspor, misalnya bukti-bukti bahwa produksinya sudah dipesan di luar negeri, dalam bentuk LC atau dokumen lainnya, tentu harus dipenuhi lebih dulu. Dan GPMW memang tidak bisa menunjukkan order dari luar negeri. Alasannya, "Saya tidak ingin dapat pesanan, tapi pabrik belum siap. Penuh risiko, menyangkut kredibilitas. Yang saya inginkan, pabrik siap, baru cari order." Sebenarnya, pada 1982 GPMW pernah ekspor sebanyak 5 unit, ke Inggris, Belgia, dan Jerman Barat. Harga per unit US$ 10 ribu sampai US$ 12 ribu tergantung modifikasi yang diminta. Ekspor itu atas rekomendasi Exxon Chemical Co., sebuah perusahaan perminyakan AS, yang menjadi pembimbingnya. Sebuah panitia di Spanyol, 1984, juga memberikan penghargaan berupa XII International Trophy for Quality. Lalu, belum lama ini, Suwandhy diundang pula ke Tokyo untuk menerima International Asian Award, setelah barangnya ada yang diikutkan pada Asian Trade Fair, April 1985. Meskipun belum punya standar industri (SII), produksi GPMW sudah mengisi 54% dari semua (sekitar 2.500) mesin sejenis, yang terpasang di Indonesia. Ini, menurut survei Exxon, 1983. Di pasar domestik, harga per unit perkakas buatan GPMW - dengan dinamo dan motor masih tetap impor - Rp 7 juta, dikreditkan enam sampai 12 bulan. Cara menjual seperti itu, sebuah sumber mengatakan, tentu saja membuat Gajah dari Solo itu sempoyongan. Apalagi, sumber itu menambahkan, tampaknya perusahaan yang dimulai pada awal 1970-an dari sebuah bengkel pembuat suku cadang mesin pembuat plastik ini ikut-ikutan "mode": menggunakan kredit modal kerja (berbunga tinggi) untuk investasi - mencoba membangun pabrik baru. Kalau Bapindo tidak mengambil alih utang GPMW dari Bank Niaga sebesar Rp 200 juta, Mei 1984, perusahaan ini sudah terhitung layak sita. Suwandhy sendiri mengakui sendiri, "Dari 1984 sampai 1985 perusahaan lumpuh total." Pengusaha ini memang patut bersyukur: "Bapindo 'ngejoki modal kerja Rp 500 juta, sehingga kami bisa bekerja penuh kembali." Menurut penilaian bank, "Sampai saat ini GPMW masih dapat memenuhi kewajibannya membayar bunga pinjaman," seperti dikatakan Subekti Ismaun. Tapi jangan berharap Bapindo mau mencairkan kredit ekspor untuk dipakai, misalnya, hal-hal yang tak ada hubungannya dengan ekspor. "Yang begitu itu kurang sehat," kata Subekti, seperti mengingatkan Suwandhy, agar tidak mengalami blunder seperti sebelumnya. Mohamad Cholid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini