MUNGKIN Anda sudah lupa si tukang sado. Ia sudah 6 tahun tak muncul di layar TVRI Anda. Lambang siaran iklan itu hilang, bersama dihapuskannya adpertensi dari siaran televisi yang menjangkau ke mana-mana itu. Tapi jika Anda kangen pada siaran jenis ini -- yang antara lain menampilkan Ateng sebagai koboi dan S. Bagio sebagai penjual bakso -- sabarlah. Menteri Penerangan Harmoko telah membuka sebuah pintu untuk itu di televisi. Tapi jangan salah paham, yang bakal menyiarkannya sebuah televisi milik swasta yang pertama dalam sejarah Indonesia. Sekaligus, itu adalah calon pesaing bagi siaran milik pemerintah sendiri: TVRI, yang selama seperempat abad mengudara sendiri. Yang ditunjuk pemerintah untuk mengelola siaran swasta itu adalah PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) -- satu-satunya perusahaan, kata Menteri Harmoko, yang secara resmi mengajukan permohonan izin pengelolaan Saluran Siaran Terbatas (SST) -- dan dikabulkan. Agaknya keputusan itu datang teramat pagi -- walaupun di kalangan periklanan, sudah banyak yang mengendus akan datangnya siaran televisi swasta itu. Sang SST akan mengudara September 1988, kurang dari 12 bulan lagi, tapi persiapan tampaknya masih di tahap paling awal. "Saat ini, kami masih melakukan studi kelayakan, dan itu belum selesai," kata Bambang Trihatmojo di sela-sela kesibukannya mengikuti Munas Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan ABRI (FKPPI) di Magelang, minggu lalu. Karena itu, Bambang Trihatmojo, pimpinan grup Bimantara, yang membawahkan RCTI, mengatakan belum bisa bercerita banyak soal SST. Yang jelas, penetapan Jakarta dan sekitarnya sebagai daerah siaran SST, katanya, bersifat sementara -- sebagai uji coba. Kalau nanti berkembang, SST bisa diperluas ke daerah lain. "Pengelolanya tidak harus PT Rajawali," katanya. Tidak harus RCTI, memang. Karena pemegang wewenang untuk menyelenggarakan SST, menurut SK Menpen yang dikeluarkan Oktober lalu, adalah Yayasan Televisi RI, dan boleh menunjuk pihak lain sebagai pelaksana. Mengapa bukan Yayasan Televisi RI langsung sebagai pengelola SST? "Investasi bikin SST itu puluhan milyar," kata Harmoko. Ia menambahkan pengeluaran untuk keperluan peralatan stasiun TVRI Bandung saja, yang jauh lebih kecil dibandingkan kebutuhan stasiun pemancar SST, sudah US$ 14,5 juta. Adanya sebuah stasiun TV swasta sebetulnya sudah lama diinginkan penonton. Lebih-lebih sejak TVRI tak lagi menayangkan siaran iklan, terhitung 1 April 1981, yang membuat banyak siaran, terutama pertandingan olah raga dan peristiwa-peristiwa penting di luar negeri, tak terliput, karena kekurangan dana. Dana yang disediakan pemerintah untuk TVRI terbatas -- sekitar Rp 10 milyar per tahun. Kabarnya, dana sebesar itu pas-pasan untuk meliput kegiatan seperti apa adanya sekarang. Namun keputusan pemerintah menyetop siaran iklan di TVRI punya dasar. Dampak negatifnya lebih besar. Siaran iklan, menurut hasil penelitian Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional (Leknas -- LIPI) pada 1976, antara lain, merangsang keinginan konsumtif dari masyarakat. Di Sulawesi Selatan, misalnya, resporiden menyatakan mengenal sembilan produk konsumen dari siaran iklan TVRI. Produk-produk itu, antara lain, minyak rambut, obat-obatan yang dijual bebas, shampo, sabun mandi, bumbu masak, sampai pasta gigi. Akibatnya, "Orang membeli sabun, pasta gigi, bukan karena desakan kebutuhan melainkan terpikat iklan," ujar Tini Hadad, Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen (YLK). Karena itu, jangkauan SST, yang antaralain akan menampung siaran iklan, sementara dibatasi untuk pemirsa di Jakarta dan sekitarnya, yang dianggap tak gampang tergoda iklan. "Mudah-mudahan mereka tidak terkecoh iklan," tambah Tini. "Tapi YLK tetap punya kekhawatiran. Ahli komunikasi Alwi Dahlan, pengajar mata kuliah Teori Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, tak sependapat dengan YLK. Ia tidak khawatir dengan SST. "Sebab, banyak orang punya antena parabola yang bisa menangkap siaran luar negeri, dan mereka pun bisa pergi ke sana," katanya. Departemen Penerangan juga menunjukkan, pihaknya tak berlaku gegabah dalam mengizinkan SST. Aspirasi masyarakat ikut jadi pertimbangan, seperti dikatakan Menteri Harmoko. Pengumpulan pendapat TEMPO pada 1981 memang menunjukkan sebagian besar responden (68%) setuju munculnya televisi swasta. Angket TEMPO, Agustus lalu, juga memperlihatkan hasil yang hampir tak berbeda: 67% dari 1.093 responden menganggap perlu ada siaran televisi selain TVRI. Hasrat itu juga, dalam batas tertentu, berlaku buat iklan. Sebanyak 31% responden mendukungnya dengan syarat "asal dibatasi". Yang tak setuju siaran iklan tercatat 31% -- lebih separuhnya adalah pelajar, mahasiswa, dosen. Mereka yang menganggap perlu munculnya iklan, tanpa sarat malah, sebanyak 27%. Suara anggota masyarakat yang terakhir ini tentu merupakan angin segar bagi produsen yang dulu sudah mengiklankan produk barang-barang di TVRI. Alasan: media TV adalah alat untuk propaganda yang paling ampuh. Dan iklan di TVRI terbilang termurah di dunia. Maka, PT Tempo, penyalur obat analgesik Bodrex, waktu itu, tak segan-segan menghabiskan 60% dari biaya iklan mereka untuk menjaring konsumen lewat siaran iklan di TVRI. Begitu pula PT Borsumij Wehry Indonesia (BWI), yang memasarkan susu cap Bendera, minyak rambut Brylcream, produk Pronas, dan lain-lainnya. Bagaimanapun, kata Direktur Pemasaran BWI, A. Sukandar, promosi lewat TV lebih hidup dan efektif. Direktur Utama PT Multi Bintang Indonesia (MBI), Tanri Abeng, juga melihat SST sebagai peluang untuk menggaet konsumen. Kini, produk MBI Bir Bintang, hanya 10-20% yang terserap di Jakarta. Dengan iklan di SST, Tanri berharap konsumen bir di Jakarta lebih banyak meneguk produknya. Anggaran promosi MBI per tahun berkisar antara 5% dan 10% dari omset. Yang tak kalah girang dengan kelahiran SST adalah biro-biro iklan. Mereka akan lebih leluasa mempromosikan produk klien mereka, yang selama ini terbatas pada media cetak, papan reklame, dan radio. Maka begitu pemerintah membolehkan SST, Henry Saputra Managing Director Metro Advertising & Marketing Service, langsung ditelepon oleh klien-kliennya. "Mereka sudah mempertanyakan bagaimana prospek iklannya," tutur Henry. Sayang, banyak hal belum jelas dengan prospek SST itu. Misalnya, belum diketahui berapa jam siaran SST sehari, dan mulai pukul berapa pula. Besarnya porsi untuk siaran adpertensi juga belum pasti. Selain itu, masih sulit memperkirakan persis besarnya pelanggan dan penonton. Soalnya, alat pembuka kode sinyal (decoder) SST, yang harus dipasang pelanggannya, pun belum diketahui harganya, dan apa ada mekanisme sewa beli alat itu -- satu hal yang menentukan dalam niat orang untuk ikut jadi pemirsa SST. Bambang Trihatmojo sendiri mengira-ngira pelanggan RCTI bergerak antara 100 ribu dan 500 ribu. Meski mekanisme SST belum jelas, biro iklan dan para pengusaha pasang kuda-kuda juga. PT Coca-Cola Indonesia, produsen minuman ringan, sudah siap dengan lima film iklan. "Begitu pemerintah bilang, kami langsung jalan," ujar Yannus O. Hutapea, Kepala Humas PT Coca-Cola Indonesia. Sementara itu, bintang-bintang iklan juga sudah siap mengambil ancang-ancang. "Televisi swasta, itu rezeki namanya, he ... he ... he ... ," ujar Pelawak S. Bagio, yang dulu dikontrak oleh perusahaan bumbu masak Ajinomoto. Untuk kontrak selama dua tahun, Bagio dibayar Rp 20 juta yang, katanya, cukup untuk mengisi periuk nasi selama enam bulan. Perusahaan pembuat film iklan, seperti PT Tuty Jaya Film, yang tinggal bikin iklan untuk bioskop, juga menyambut gembira kehadiran SST. Apalagl usahanya ikut melorot sejak TVRI muncul tanpa iklan. Tahun ini, menurut Gatot Teguh Arifianto, Direktur PT Tuty Jaya Film, ia hanya melayani pesanan dua film iklan untuk bioskop. Film untuk masa putar tiga menit itu membutuhkan ongkos produksi sekitar Rp 25 juta. "Lebih untung bikin film iklan untuk televisi," katanya. "Karena masa putarnya cuma semenit berarti ongkos produksi lebih ringan, sedangkan bayarannya sama." Tapi ladang duit lewat SST itu, menurut Henry Saputra, tahun depan belum banyak berarti bagi biro iklan. Karena SST baru mulai September. Para pengusaha tidak akan banyak mengubah anggaran iklan produknya. Betulkah? Managing Director Biro Iklan Fortune, Indra Abidin, punya pengalaman lain ketika TVRI memuat iklan. Menurut Indra, waktu itu, ia mesti antre untuk memasukkan iklan ke TVRI. Satu produk hanya bisa disiarkan tiga kali sebulan, karena kapasitas TVRI menyiarkan produk hanya 20 sehari. Antrean itu dipandang Kris Biantoro, yang pasang aksi untuk sabun bubuk Rinso, bisa membuahkan perang iklan. Dulu, katanya, pernah produk tekstil berebut masuk TVRI, lalu muncul usul agar iklan tekstil keluar sembilan kali sebulan, sedangkan iklan produk lain tetap tiga kali, sehingga tidak imbang. "Perang iklan itu akhirnya merugikan konsumen juga," katanya. Perang iklan dalam bentuk lain adalah persaingan antara SST nanti dengan media lain seperti majalah, koran dan radio. Dulu, begitu siaran iklan hapus dari TVRI, yang antara lain dapat rejeki adalah radio siaran niaga. Elshinta, misalnya, yang 20% waktunya dipakai buat iklan, mengakui, seperti dikatakan Pinkan Warrouw, General Managernya, pendapatan stasiun radio itu bertambah sekitar 30%. Toh disebutkan, bahwa audience TV dan radio akan berbeda TV tak akan didengarkan orang yang bisa diiklankan dengan begitu juga tak sama: produk mewah, seperti mobil, credit card dan lainnya mungkin akan masuk SST, sementara produk seperti parem kocok dan kopi cap kapal api akan lebih efektif lewat radio. Juga televisi, apalagi SST, yang membutuhkan beaya decoder, bisa lebih mahal. Persaingan yang mencemaskan adalah nanti, di tahun kedua SST, setelah biaya langganan bisa ditekan oleh jumlah pelanggan maupun jumlah iklan. Namun persaingan yang tak bisa dilupakan akan terjadi antara SST dan TVRI. Begitu iklan lenyap dari mata pemirsa, TVRI Jakarta kehilangan pemasukan lebih dari Rp 1 milyar sebulan. Tahun 1980/1981 saja, misalnya, pendapatan bersih iklan TVRI mencapai Rp 17 milyar. Maka, TVRI, dengan pemasukan dari iklan yang memakan waktu putar 30 jam per bulan, bisa membuat lebih dari 19 acara. Tanpa uang iklan itu, TVRI harus hidup dari subsidi pemerintah -- dan juga "bantuan" pelbagai usaha swasta yang punya kepentingan untuk melancarkan siaran, misalnya penyelenggaraan acara musik atau spot. Persatuan Sepak Bola Indonesia Semarang (PSIS), misalnya, menerima kembali Rp 6.125.000 dari Stasiun Produksi Keliling (SPK) Semarang, gara-gara pertandingan melawan kesebelasan Brasil Yunior tak disiarkan TVRI. Ada yang mengecam ini sebagai "iklan terselubung", tapi ada yang menganggap hal itu ikut menguntungkan penonton juga. Apakah kehadiran SST akan memukul "bantuan luar" bagi TVRI? Bantuan macam itu, menurut kritikus terkemuka siaran TVRI, Arswendo Atmowiloto, tetap akan ada di TVRI. Acara Aneka Ria Safari, Selekta Pop, misalnya, akan tetap langgeng. Soalnya, biaya iklan SST diduga lebih tinggi daripada yang dibayarkan swasta kepada TVRI, dan, lain itu, TVRI mampu menjangkau sekitar 6,4 juta pesawat televisi di seluruh pelosok tanah air. Dirjen Radio, Televisi, dan Film (RTF) Alex Leo Zulkarnain melihat SST justru sebagai penambah sumber dana TVRI. Selama ini, sumber dana TVRI berasal dari iuran, hasil produksi, dan subsidi pemerintah. Adanya SST, yang memuat iklan, sebagian keuntungannya toh masuk TVRI juga -- sesuai dengan perjanjian antara Yayasan Televisi RI dan RCTI. Ketentuan lain bagi SST, mereka tidak boleh menyiarkan berita sendiri, dan wajib me-relay siaran TVRI -- termasuk siaran kenegaraan. Film yang akan disiarkan SST pun harus lolos BSF. Bisa jadi, tutur Alex Leo, TVRI dan SST sama-sama menayangkan hiburan tetapi berbeda bentuknya. Dengan atau tanpa kontrol, adanya SST menyebabkan TVRI, seperti kata Direktur Televisi Ishadi S.K., tetap ditantang mereorganisasikan diri. "Saya ingin mengembalikan citra TVRI, dalam arti peningkatan disiplin, profesionalisme, dedikasi, dan sikap keterbukaan yang selama ini rada tertutup," katanya. Ia tak terlalu khawatir tenaga-tenaga TVRI akan hengkang ke SST. Pendapat ini disetujui Arswendo Atmowiloto. "Paling-paling tenaga part time TVRI tersedot ke SST," kata Arswendo. Sedangkan acara SST belum tentu pula menarik. Apalagi orang sudah bisa beli antena parabola yang mampu menangkap siaran luar negeri. Tapi bukannya SST tanpa harapan."Kalau dia berani menyuguhkah film-film terbaru seperti Out of Africa, barulah orang tertarik," katanya. Yang jadi soal, tentu, menarik bagi siapa. Di AS, pelbagai stasiun TV kabel mengkhususkan diri untuk audience tertentu, misalnya buat penggemar film porno saja atau musik klasik saja. Di Indonesia nanti, SST Rajawali masih satu-satunya stasiun alternatif. Sifatnya yang diarahkan ke publik umum, tidak spesifik, tetap akan membuatnya tak jauh berbeda dari TVRI. Tapi karena ia usaha swasta diharapkan akan ada dinamika yang lebih di sana. Suhardjo Hs., laporan Biro Jakarta, Yogyakarta, Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini