Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKARANG, giliran Tommy Hutomo Mandala Putera melepaskan jurusnya. Gebrakan terbaru ini berupa konsep tata niaga cengkeh terpadu yang diluncurkan oleh Konsorsium Cengkeh Nasional (KCN). Ini adalah konsorsium dari lima perusahaan, termasuk PT Bina Reksa Perdana (BRP) milik Tommy. Dan dialah ketua di konsorsium itu. Empat perusahaan lainnya adalah: PT Agro Sejati Bina Perkasa, PT Sinar Utara Agung, PT Wahana Dana Lestari, dan terakhir PT Rempah Jaya Makmur milik Nendra Yusni, yang tak lain adalah putra Menko Ekuin Radius Prawiro. Inti usul kelompok Tommy ini adalah pembentukan dua badan sebagai aktor utama untuk tata niaga cengkeh. "Mudah-mudahan pembentukan dua badan ini disetujui Pemerintah," tutur Tommy, Kamis pekan lalu. Kedua badan itu adalah Badan Pemasaran Cengkeh (BPC) dan Badan Cengkeh Nasional (BCN). Fungsi BPC mirip badan eksekutif, melaksanakan penjualan dan pembelian cengkeh. Sedangkan BCN, menurut konsep baru ini, merupakan badan yang menetapkan kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang dibikin oleh BCN ini sangat luas. Ke dalamnya termasuk menetapkan harga beli dari petani, juga harga jual kepada konsumen. Bahkan, berapa jumlah pohon cengkeh yang akan ditanam pun, menurut konsep itu, bakal ditetapkan oleh BCN. "Ini penting agar tidak ada kelebihan pasokan," kata Tommy yang, tampaknya, khawatir akan terjadi kelebihan suplai cengkeh. Melihat rentang tugas dan misinya yang berat itu, tentu saja, tak bisa asal-asalan membentuk BCN. Lantas Konsorsium mengusulkan agar pejabat pemerintahlah yang menjadi Ketua BCN. "Syukur menterinya langsung, atau dirjennya," kata Direktur Umum Konsorsium Jantje A. Worotitjan. Selain pemerintah sebagai pemegang kunci utama, BCN nantinya diharapkan menghimpun juga petani cengkeh, koperasi unit desa (KUD), termasuk pabrik-pabrik rokok kretek dan konsumen cengkeh lainnya. Jika BCN bisa dianggap sebagai pembuat keputusan yang menentukan semua soal, ujung tombak di lapangan adalah BPC. Di dalam BPC inilah konsorsium bergerak sebagai penyangga, penjual, pembeli, mediator, penampung (atau apa saja istilahnya) cengkeh. Konsorsium akan bergerak bersama-sama dengan PT Kerta Niaga, BUMN yang sejak Keppres No. 8 Tahun 1980 ditunjuk sebagai badan penyangga cengkeh. Direktur Utama Kerta Niaga lantas diangkat sebagai koordinator di sini. Hebatnya, belum apa-apa BPC sudah berani memberikan janji yang kelihatannya cukup manis. "BPC akan membantu KUD yang tidak punya dana untuk membeli cengkeh," kata Jantje. Bantuan itu tentu tidak terus-menerus. Caranya, petani diminta menabung lewat KUD. Diperkirakan, dalam waktu lima tahun, KUD sudah punya dana cukup untuk menggantikan fungsi BPC dalam membeli cengkeh. Dana tabungan ini diusulkan agar dikelola oleh Departemen Koperasi. "Daripada dana lebih setelah panen itu digunakan beli barang konsumtif," kata Tommy, bijak. Sejauh ini, belum ada tanggapan dari Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), sang konsumen cengkeh terbesar yang "membakar" 65 ribu ton cengkeh setahun. Sebelumnya, Gappri sudah terang-terangan berbicara mengenai keinginannya untuk ikut ambil bagian dalam konsorsium. Sementara itu, BRP sebagai komandan konsorsium menolak kehadiran mereka. Tak syak lagi, Gappri takut monopoli konsorsium akan membuat mereka leluasa memainkan harga. "Itu berbahaya," kata Ketua Gappri Soegiharto Prajogo kepada TEMPO, bulan lalu. Melihat arah angin belakangan ini, konsorsium tampak optimistis usul mereka akan ditampung. "Tinggal Departemen Perdagangan yang belum menanggapi usulan ini," kata Jantje. Konon, usul yang didukung DPR ini sudah disetujui oleh semua departemen terkait yang lain. Soal Gappri, mereka tampak siap menempuh jalan "keras". "Jika mereka tetap bertahan dan mengancam akan gulung tikar, kami siap mengambil alih," Tommy seakan-akan menggertak (atau betul-betul menggertak?). Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo