DARI kota baja Cilegon di pantai barat Jawa Barat, belakangan ini bertiup kabar kurang sedap. Konon, proyek pembangunan PT Seamless Pipe Indonesia Jaya (SPIJ) yang berlokasi di sana, kini berjalan timpang alias tertatih-tatih. Proyek bernilai sekitar US$ 300 juta itu dimulai dengan peletakan batu pertamanya oleh Menmud Perindustrian, Tungky Ariwibowo, pada 8 Maret 1990. Kini, pembangunannya tersendat. Penyebabnya, menurut sebuah sumber TEMPO, tak lain karena Pertamina sebagai salah satu investornya -- menguasai kepemilikan SPIJ sebesar 30 persen -- mengundurkan diri. Namun, isu nakal ini segera dibantah Dirut Pertamina Faisal Abda'oe. "Proyek seamless ini tetap berjalan, kok," ujar Abda'oe, yang juga Presiden Komisaris SPIJ, kepada TEMPO, seusai penandatanganan kontrak bagi hasil antara Pertamina dan mitra asingnya di Gedung Patra Jakarta, awal Agustus lalu. Dalam kesempatan itu, Abda'oe memang tak merinci jawabannya. Jadi, tak jelas apakah Pertamina masih memegang saham SPIJ atau sudah mundur. "Jangan tanya soal ini, saya betul-betul lupa dan tidak konsentrasi ke soal itu," pinta Abda'oe. Semula, pabrik pipa tanpa sambungan itu sahamnya dikuasai oleh Pertamina (30 persen), Bakrie Brothers (37 persen), APPI (20 persen), Krakatau Steel (10 persen), dan Encona Engineering (3 persen). Studi kelayakannya dibuat oleh Krakatau Steel bersama konsultan Intertec. Sejak Desember 1986, sebenarnya SPIJ telah berhasil menghimpun para pemodal, tapi entah mengapa pembangunannya baru dimulai hampir empat tahun kemudian. Dengan tersendatnya SPIJ, maka target untuk mulai berproduksi tahun depan juga tertunda. Penundaan itu, untuk sementara, membuat empat pabrik seamless pipe lainnya merasa lega. Keempat pabrik itu sudah didirikan sebelum SPIJ muncul, dan semuanya berlokasi di Batam, Riau. Mereka adalah Citra Tubindo, Hymindo Petromas Utama, Purnabina Nusa, dan Patraindo Nusa -- bersama-sama sudah menanamkan modalnya sebesar US$ 50 juta. Kapasitas tiap pabrik berkisar antara 70 dan 80 ribu ton. Bila awal tahun depan Citra Tubindo jadi meluaskan pabrik, kapasitas produksinya akan bertambah 150 ribu ton lagi. Nah, empat sekawan itulah yang selama ini memasok kebutuhan lokal untuk pipa sambungan, yang paling banter kini cuma 100 ribu ton setahun. "Oleh pabrik-pabrik di Batam, sebenarnya kebutuhan dalam negeri bisa dipenuhi," ujar Dirut Citra Tubindo, Dali Sofari. Dan keempat pabrik itu kini sudah meraup untung. Dari harga US$ 900-1.050 per ton pipa, sekitar 20 persen adalah biaya "penguliran" di Batam. "Dan lima sampai sepuluh persen adalah laba yang bisa dipetik," ujar seorang pengusaha seamless di sana. Artinya, dari tiap ton pipa, bisa dihimpun laba US$ 45-105. Investasi mereka juga relatif lebih kecil. Pada 1988, ketika Hymindo Petromas Utama dibangun dengan kapasitas 10 ribu ton setahun, modalnya cuma Rp 1,5 milyar. "Coba, kalau investasi dilakukan saat harga minyak baik, pasti sangat mahal," ujar bekas Dirut Pertamina Ibnu Sutowo yang memodali Hymindo. Ibnu percaya pada 1995 akan ada boom minyak lagi. Dan gejalanya memang sudah tampak, dengan krisis di Teluk sekarang ini. Kalau nanti SPIJ berproduksi, mungkin itulah akhir masa keemasan empat pabrik di Batam tadi. SPIJ mampu memproduksi 166 ribu ton pipa tanpa sambungan -- sekitar 66 ribu ton lebih banyak dari kebutuhan dalam negeri. Dan produksi ini didukung oleh perjanjian ikatan jual-beli antara SPIJ dan Pertamina. Pasal 9 ayat 3 perjanjian itu menyebutkan, Pertamina wajib mengikat para kontraktor production sharing (KPS) dan kontraktor minyak serta gas bumi lainnya, untuk membeli pipa tanpa kampuh (sambungan) yang diproduksi SPIJ. Dan karena SPIJ masih merupakan industri "bayi", harga pipanya juga ditetapkan di atas harga internasional. Empat tahun pertama sejak berproduksi, harga ditetapkan 30 persen di atas harga internasional. Empat tahun kedua, 20 persen, dan empat tahun ketiga sebesar lima persen. Dari sini, tampaknya, SPIJ sungguh sangat dimanjakan. Lalu, pada tahun kedua masa produksi, SPIJ diharap juga memproduksi green pipe, yakni bahan baku pipa tanpa sambungan itu, yang selama ini diimpor dari Jerman Barat, Prancis, dan Jepang Semula, SPIJ memang dirancang untuk memproduksi bahan baku saja (green pipe), tapi, entah bagaimana, SPIJ malah masuk ke industri hilir dengan membuat seamless pipe. Jadi, SPIJ bergerak dari hulu sampai hilir alias monopoli? "Ya, nggak apa-apa. Kan lebih baik, kalau misalnya bisa dihasilkan oleh satu perusahaan dan lebih efisien, kenapa harus dua atau tiga. Dan itu juga saya joint dengan Pemerintah," jawab Direktur Utama SPIJ, Aburizal Bakrie. Bagaimana kalau nanti terjadi banjir pipa? Itulah soalnya, memang. Mungkin pasar ekspor mulai dari sekarang sudah harus dijajaki dan ditembus. Mumpung harga minyak bagus. Toriq Hadad dan Moebanoe Moera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini