Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAPAT koordinasi para menteri ekonomi di Graha Sawala, kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Selasa pagi dua pekan lalu, menghangat. Sejumlah menteri dan pejabat tinggi pemerintah yang hadir membahas kesepakatan moratorium hutan dan lahan gambut terkesiap ketika Menteri Pertanian Suswono tiba-tiba menyinggung program swasembada gula nasional. ”Bagaimana nantinya program kami dengan adanya moratorium itu?” katanya.
Suswono cemas. Maklum saja, letter of intent yang diteken pemerintah Indonesia dan Norwegia di Oslo pada 26 Mei lalu akan mewajibkan Indonesia menghentikan semua rencana alih fungsi lahan hutan alam dan gambut. Klausul Oslo itu berbenturan dengan rencana Kementerian Pertanian yang punya gawe menyukseskan swasembada gula 2014. Program ini membutuhkan ratusan ribu hektare lahan perkebunan tebu baru, termasuk di area hutan alam.
Menurut Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi, moratorium hutan dan lahan gambut memaksa Kementerian Pertanian mengkaji ulang program-program pembukaan lahan besar-besaran. ”Salah satunya perluasan lahan perkebunan tebu untuk program swasembada,” ujarnya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Kementerian Pertanian tak ingin target swasembada gula empat tahun mendatang gagal. Apalagi produksi gula nasional tahun lalu hanya mencapai 2,7 juta ton. Di akhir masa kerja Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, produksi gula dipatok 5,7 juta ton, hampir dua kali lipat perkiraan realisasi produksi tahun ini 2,9 juta ton.
Berdasarkan perhitungan Kementerian Pertanian, target tersebut sulit terwujud jika hanya mengandalkan la-han yang ada saat ini seluas 436,5 ribu hektare. Road map swasembada gula, menyebutkan swasembada bisa tercapai bila luas area perkebunan tebu mencapai sedikitnya 750 ribu hektare. Artinya, harus ada lahan tambahan sekitar 314 ribu hektare untuk keperluan 10-15 pabrik gula baru.
Menteri Kehutanan Zulkifli Hassan kepada Tempo pekan lalu menyebutkan, sesuai dengan letter of intent, dua tahun ke depan hutan primer dan lahan gambut tak boleh lagi dialihfungsikan. Untuk keperluan industri—kehutanan, kelapa sawit, dan perkebunan tebu—bisa menggunakan lahan hutan telantar dan hutan yang sudah tak produktif lagi.
Masalah beres? Belum. Menurut Direktur Budidaya Tanaman Semusim Kementerian Pertanian Agus Hasanuddin, memang ada lahan nganggur 8-9 juta hektare. Tapi lahan itu masih harus dibebaskan oleh pemerintah. ”Tak mudah membebaskannya,” ujarnya. Karena itu, kata dia, dalam rapat tim teknis di kantor Menteri Perekonomian, Rabu dua pekan lalu, disimpulkan target swasembada gula harus direvisi bila pembukaan lahan tak terpenuhi tahun ini.
Kementerian Pertanian semakin deg-degan lantaran dalam rapat koordinasi kabinet tadi ternyata juga disimpulkan hutan alam didefinisikan sebagai hutan primer. ”Hutan primer ini juga hutan yang belum dieksploitasi,” kata Direktur Jenderal Bina Produksi Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto. Letter of intent, ujar Hadi, sama sekali tak membagi hutan berdasarkan fungsinya, seperti hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Maksudnya, meski ada hutan produksi atau konversi yang belum dieksploitasi, hutan ini dianggap hutan alam yang dimoratorium. ”Tak boleh dipakai untuk kegiatan apa pun.”
Ketidakjelasan penyediaan lahan membuat para pengusaha kebingungan. Salah satunya Rajawali Corporation. Kelompok usaha milik taipan Peter Sondakh ini sedang mengajukan izin usaha perkebunan tebu 70 ribu hektare di Merauke Food and Energy Estate. Bersama beberapa investor lain, Direktur Pelaksana Rajawali Corporation Darjoto Setiawan mengatakan telah menggelar beberapa pertemuan dengan pejabat Kementerian Pertanian untuk memperjelas hutan alam mana saja yang terkena moratorium. ”Ternyata memang belum ada kejelasan,” ujarnya.
Agoeng Wijaya, Retno Sulistyowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo