Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Serikat Pekerja PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) Slamet Kaswanto merespons soal dugaan penyalahgunaan dana pembiayaan atau side streaming yang dilakukan oleh manajemen Sritex. Hingga kini, dua bank telah diperiksa dalam tindak pidana penyalahgunaan kredit yang tak sesuai akad di Sritex ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Slamet, kasus hukum ini biarlah urusan manajemen Sritex. “Dari awal yang kami inginkan going concern, apa pun yang terjadi. Mau seperti apa urusan hukum,” kata Slamet saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Selasa, 4 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah dinyatakan pailit pada 21 Oktober 2024, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI disebut tengah mengusut dugaan tindak pidana berupa penyelewengan penyaluran kredit ke perusahaan tekstil tersebut.
Saat dihubungi pada Jumat, 21 Februari 2025, Head Corporate Communication Permata Bank Glenn Ranti menyatakan akan menaati penyelidikan yang sedang dilakukan aparat penegak hukum, tanpa menyinggung kasus yang dimaksud. “Untuk menghormati proses hukum yang sedang berjalan, Bank Permata belum dapat menyampaikan informasi mengenai hal tersebut,” ujar dia kepada Tempo.
Sebenarnya, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI telah mengusut kasus ini sejak November 2024. Dalam warkat yang dilihat Tempo, polisi pun telah memeriksa pimpinan Bank Permata dan Bank Muamalat selaku kreditur Sritex dengan surat bernomor B/Und-2190/XI/RES.1.9./2024/Dittipideksus tertanggal 26 November 2024 atas laporan informasi bernomor R/LI/157/X/RES.1.9./2024/Dittipideksus tertanggal 30 Oktober 2024.
Polisi menduga tindak pidana ini melanggar pasal 372 KUHP dan/atau pasal 263 KUHP dan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Polisi menduga dalam permohonan dan pencairan fasilitas kredit serta pembiayaan bank, Sritex menggunakan dokumen palsu, menggelembungkan nilai piutang, mengagunkan aset secara berganda, menggunakan utang tidak sesuai dengan peruntukannya, hingga mencuci uang atas pencairan kredit tersebut. Sritex diduga merugikan bank dan pemberi pinjaman lain total hingga Rp 19,963 triliun.
Dihubungi terpisah, Sekretaris Perusahaan Bank Muamalat Hayunaji mengatakan sejauh ini mereka masih berfokus memulihkan utang. “Kami senantiasa menghormati dan mendukung proses hukum yang sedang berjalan,” ucap Hayunaji pada Jumat, 21 Februari 2025.
Tempo sudah menghubungi dan menyurati Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Brigjen Helfi Assegaf, meminta klarifikasi tentang institusinya sedang mengusut dugaan tindak pidana di Sritex.
Pada Jumat malam, 21 Februari 2025, seseorang bernama Langgeng yang mengaku sebagai staf di Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri membantah adanya keterlibatan mereka dalam penanganan Sritex. “Bahwa kami (Dittipideksus) tidak menangani Sritex,” katanya lewat pesan tertulis.
Total utang Sritex saat itu mencapai Rp 26,02 triliun. Utang mereka ke Indo Bharat sendiri hanya Rp 101,31 miliar per Juni 2024 atau 0,38 persen. Namun keterlambatan pembayaran utang itu berakibat fatal setelah perusahaan mengikat homologasi dengan para kreditor, yang membuat mereka otomatis jatuh pailit.
Sritex melawan vonis tersebut dengan mengupayakan banding. Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi Sritex pada 18 Desember 2024.
Tim Kurator menetapkan Daftar Piutang Tetap sebesar Rp 29,88 triliun. Daftar Piutang Tetap ini terdiri dari kreditur preferen sebesar Rp 619 miliar, separatis Rp 919 miliar, dan konkuren Rp 28,34 triliun. Per 1 Maret 2025, Sritex pun resmi tutup dan memutus hubungan kerja terhadap puluhan ribu pegawai.