DELEGASI tak resmi dari Jakarta sudah pergi ke RRC mengikuti
Canton Fair, suatu pekan dagang, bulan Nopember yang lalu.
Sesudah itu senyap tanpa gerah lanjut, yang mencerminkan sikap
pemerintah RI yang berhati-hati untuk memulai hubungan dagang
langsung dengan RRC. Kedua negara masih 'membeku" ikatan
diplomatik. Namun produksi RRC masih terus mengalir ke sini via
Hongkong dan Singapura, dan melalui penyelundupan Kepala Bakin
Letjen Yoga Sama pernah mengungkapkan di Komisi I DPR bahwa
jumlah penyelundupan itu bukan sedikit. Dari 1400 jenis barang
eks-RRC yang beredar di Indonesia, katanya kurang dari 50% yang
diimpor resmi. Tidak pernah bisa diketahui benar berapa jumlah
nilainya. Sementara itu RRC kelihatan makin gesit menjual dan
kantor-berita Hsinhua minggu lalu melaporkan bahwa volume
dagang RRC meningkat tahun lalu dengan 12% dari 1976 kenaikan
tertinggi sejak rezim komunis berkuasa di daratan Cina. Dalam
kaitan ini koresponden TEMPO di Singapura, Khoe Hak Liep,
melaporkan:
Sedari Mao meninggal dan Gang of Four kalah, diganti oleh Hua
Kuo-feng dan bangkitnya kembali Teng Hsiaoping, RRC membuka
pintu dagangnya lebih lebar. Jepang, sebagai tetangga terdekat,
menjadi partner dagangnya yang utama. Menyusul lain-lain dalam
urutan ukuran: Hongkong sebagai pintu gerbangnya ke dunia luar
Jerman Barat dan Perancis, dari siapa RRC banyak membeli
teknologi Barat, Malaysia/Singapura yang menyukai barang
makanan, tekstil dan kelontong RRC yang murah yang kemudian
menjualnya ke Indonesia.
Amerika Serikat, jika tidak ada persoalan Taiwan dapat menjadi
partner dagang RRC yang lebih besar. Lantas Kanada dan Australia
dipilihnya sebagai tempat membeli gandum. Negeri Inggeris (UK)
diincernya sebagai tempat membeli mesin teknologi tinggi seperti
motor Rolls Royce. Di barisan negara komunis Eropa, Romania
menjadi favoritnya.
Sebetulnya sudah dengan 155 negara - hampir dengan semua di
dunia ini ia berdagang. Besar kemungkinan Teng mengaktifkan
perdagangan luar negerinya dengan mencabut pelbagai halangan
politis dan teknis, antara lain bertujuan supaya tidak dikurung
oleh Soviet.
Rivalitas RRC-Soviet terasa dalam gaya pendekatannya pada
ASEAN. Soviet, umpananya, melepaskan kredit untuk dunia
bisnis di wilayah ini via Bank Norodny di Singapura. RRC
berdagang dengan kelima negara ASEAN walaupun secara tidak
langsung barangnya tiba di Indonesia. Sudah umum baginya
berdagang dengan negara-negara non-komunis.
Jika berdagang langsung, RRC mungkin membeli pupuk dan karet
dari Indonesia. Karet dewasa ini dibelinya dari
Malaysia/Singapura, sedang pupuk diimpornya dari Jepang. Impor
Indonesia dari RRC, jika tidak via pialang Hongkong dan
Singapura, semustinya bisa lebih murah 20 - 30% tapi ini
tergantung pada kemahiran bisnis. Walaupun kini tidak terlihat
dari angka statistik, barang buatan RRC toh sudah banyak
memasuki Indonesia, mungkin bernilai sekitar US$ 150 juta
setahun. Dapat dibayangkan para tauke perantara di Singapura dan
Hongkong dengan kakitangannya di Indonesia akan mencoba
mempertahanian kepentingan bisnis mereka.
Malaysia, meskipun sudah dua tahun berdagang langsung dengan
RRC, ternyata masih terus berbisnis dengan para pialang Hongkong
dan Singapura terutama untuk komoditi RRC yang lekas busuk.
Akhirnya komoditi RRC belum terjamin jadi lebih murah untuk
konsumen Malaysia.
Terdapat 15 emporium (pusat perdagangan) di Singapura yang
menjual barang RRC, yang murah dan populer di kalangan rakyat
kecil. Menurut data artistik Singapura, kota Singa ini tahun
1977 mengimpor dari RRC senilai S$ 630 juta dan mengekspor ke
KRC seharga S$ 120 juta.
Barang RRC yang, murah itu, terutama makanan sudah lama beredar
di Indonesia dengan pasaran tersendiri yang tak akan merupakan
persaingan keras industri domestik. Melihat pengalaman Malaysia
yang masih mengeluarkan lisensi impor khusus untuk barang RRC
via Hongkong dan Singapura, bagi Indonesia apakah perlu dagang
langsung ? Jika mau langsung juga, mungkin berfaedah untuk
dagang partai besar saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini