Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PETANG itu, pukul 17.00, gedung Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, seolah berlimpah energi. Cahaya lampu masih menerangi setiap lantai gedung sepuluh tingkat itu. Terang-benderang. Padahal pegawai yang masih tersisa tak lebih dari sepuluh orang.
Di lantai sepuluh hanya ada ruang per-temuan. Tapi di sepanjang lorong lampu menyala. ”Lampu baru mati pada lewat pukul delapan malam,” kata seorang pe-gawai. Begitu juga dengan dua lift yang masih berfungsi, yang baru mati setelah semua pegawai pulang.
Di Balai Kota DKI Jakarta, bahkan di siang bolong lampu menyala. Pa-dahal banyak ruangan tembus sinar mata-ha-ri. Di beberapa lantai, para pegawai asyik menonton televisi, meski ma-sih pukul 13.30. Di lantai 12, sebuah televisi bahkan menyala tanpa peno-nton. Li-ma komputer juga menyala tanpa peng-guna.
Energi berlimpah juga terlihat di Jalan Sudirman. Apartemen Da Vinci, mi-salnya, memiliki puluhan lampu yang menyorotkan cahaya. Di beberapa t-itik di Jalan Jenderal Sudirman, papan rek-lame raksasa juga mengumbar cahaya.
Majalah National Geographic pe-rnah menampilkan citra satelit bumi pada ma-lam hari. Pada gambar itu, Pulau Jawa sama terangnya dengan negara kaya ener-gi seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Jakarta, tentu saja, tampil lebih gemerlap.
Juru bicara PLN Distribusi Jakarta dan Tangerang, Embut Subiyanto, pernah mengungkapkan bahwa warga Jakarta membutuhkan listrik rata-rata 4.100 megawatt setiap hari. Itu sama arti-nya dengan 30 persen kebutuhan listrik Pulau Jawa-Bali, yang 15 ribu megawatt. ”Tak mengherankan kalau sek-i-tar 30 persen pendapatan nasional PLN datang dari Jakarta,” kata Embut.
Warga Jakarta juga menggunakan ba-nyak bahan bakar. Premium terserap 11 juta liter setiap hari, solar 8 juta liter per hari. Lalu tambahkan dengan sektor industri, yang menenggak 4 juta kiloliter bahan bakar per hari.
Mungkin konsumsi yang lahap ini membuat pemerintah mencoba memba-tasi penggunaan bahan bakar. Bahkan, pada Juili tahun lalu, Presiden Su-s-ilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan instruksi presiden tentang penghematan energi. Apalagi dengan melonjaknya har-ga minyak mentah dunia.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mi-neral Purnomo Yusgiantoro juga menerbitkan Program Implementasi Hemat Energi. Di situ diperinci program hemat energi yang diterapkan kepada pemakai bahan bakar. Kantor pemerintah, ba-ngun-an komersial, sarana transportasi, industri, hingga rumah tangga ikut prog-ram ini. Hasilnya?
PLN mengaku bisa menghemat. Me-nurut General Manager PLN Jawa-Bali, Muljo Adji, beban sistem PLN turun hingga 14.272 megawatt per hari pada Oktober tahun lalu. ”Kami menghemat Rp 42,62 miliar,” katanya.
PLN sempat menanggung beban 14.821 megawatt pada April 2005. Ketika itu kalangan industri beralih ke listrik PLN, sejak harga BBM naik pada Maret 2005. ”Padahal kapasitas pembangkit PLN tak lebih dari 15 ribu megawatt,” kata Muljo Adji.
Pertamina justru mengaku tidak terkena imbas instruksi presiden. Kalaupun ada penurunan konsumsi premium, itu adalah karena kenaikan harga BBM sejak Oktober tahun lalu. ”Penurunannya 20-30 persen,” kata juru bicara Pertamina, M. Harun.
Pada September tahun lalu, rata-rata konsumsi premium mencapai 190 ribu kiloliter per hari. Hari-hari belakang-an ini, rata-rata konsumsi premium ha-nya 140 ribu kiloliter per hari. Sepertinya gerakan hemat energi masih sebatas bunyi.
Multazam, Badriah, Tito Sianipar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo