Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kantor Pelayanan Pajak Madya Jakarta Pusat di Jalan Tebet Raya terlihat tenang dan santai, Kamis siang pekan lalu. Tak ada antrean. Dari lima loket pelayanan yang ada, hanya tiga yang sedang dikunjungi wajib pajak.
Maklum, masih tanggal 16. Biasanya kantor pajak ramai menjelang tanggal 20, sebagai batas akhir pelaporan surat pemberitahuan (SPT) pajak bulanan. Tapi tanggal 16 adalah hari kerja terakhir pekan itu, sebelum jatuh tempo Senin ini.
”Sekarang prosesnya cepat, nggak pakai ngantri,” kata Dayat, anggota staf bagian perpajakan dan perbendaharaan sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Setiap kali menyetor SPT, menurut Dayat, waktu yang diperlukan tidak sampai sejam.
Tiga tahun lalu, Dayat membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengurus pajak kantornya. Ia mesti membereskan pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), serta pajak bumi dan bangunan (PBB) di tempat berbeda. ”Masing-masing memakan waktu satu-dua jam.”
Kecepatan pelayanan itu buah dari modernisasi kantor pajak. Program reformasi birokrasi ini digeber Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sejak tahun lalu. Direktorat Jenderal Pajak dirombak habis. Struktur organisasinya tidak lagi berdasarkan jenis pajak (seperti Direktur PPh atau Direktur PPN), tapi sesuai dengan fungsi dan tugas pelayanan (Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan atau Direktur Pemeriksaan dan Penagihan).
Menteri Keuangan Boediono-lah yang merintis sistem yang modern di kantor pajak pada 2002. Saat itu, dibentuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar yang dikenal dengan nama Large Tax Office (LTO). Kantor ini mengurus 200-an wajib pajak terbesar yang punya kontribusi sebesar 25 persen terhadap penerimaan pajak nasional. Tahun berikutnya, 90 wajib pajak besar juga dilayani LTO. Tahun ini giliran BUMN yang digarap LTO.
Kesuksesan Large Tax Office mengemong wajib pajak kelas kakap ditularkan ke bawah. Maka, pada akhir 2004, Menteri Sri Mulyani meluncurkan KPP Madya untuk menangani lebih dari 300 wajib pajak besar di tingkat wilayah. Di level terendah dibentuk KPP Pratama yang melayani wajib pajak badan menengah ke bawah dan wajib pajak individu.
Dalam administrasi perpajakan modern digunakan teknologi informasi mutakhir, seperti sistem pembayaran online, SPT elektronik, dan dokumentasi elektronik. ”Interaksi langsung antarmanusia harus dihilangkan,” kata Menteri kepada Tempo pekan lalu. Itu untuk mengu-rangi kemungkinan ”main mata” petugas dengan wajib pajak.
Penyaringan pegawai pajak pun dilakukan dengan ketat. Hanya yang berkompetensi tinggi yang lulus. Di tingkat Large Tax Office, misalnya, dari 4.000 diperas tinggal 300 orang, dan sisanya dipindahkan ke bagian lain. Para karyawan juga diwajibkan meneken kode etik yang mengharamkan segala bentuk ”permainan” dengan wajib pajak. Orang-orang ini, kata dia, berhadapan langsung dengan konsultan wajib pajak yang tingkat kompetensinya sama tapi gajinya jauh berbeda.
Makanya, Menteri Sri Mulyani memberikan kompensasi berupa tunjangan kegiatan tambahan dan tunjangan khusus mulai 1 Juli lalu. Sumber Tempo membisikkan, seorang kepala kantor wilayah (eselon II), misalnya, mendapatkan tunjangan hingga Rp 20 juta dan kepala KPP Rp 16 juta. Tunjangan terendah, pengatur II-a, mengantongi Rp 2 jutaan.
Remunerasi di tubuh Departemen Keuangan—termasuk Direktorat Jenderal Pajak—itu menelan Rp 1,38 triliun. Duit diambil dari pos belanja pegawai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2007 yang totalnya Rp 2,3 triliun.
Nah, anggaran remunerasi yang besar itulah yang disorot Dewan Perwakilan Rakyat. ”Saya skeptis dengan reformasi yang digembar-gemborkan. Itu hanya pembenaran atas upaya menaikkan gaji mereka,” kata Dradjad Wibowo.
Menurut anggota Dewan dari Fraksi Partai Amanat Nasional itu, masih ada celah bagi aparat untuk bermain mata dengan wajib pajak. Beberapa tahap, kata dia, memang sudah menggunakan sistem online atau elektronik, tapi, ”tahap pada pemeriksaan dan penyelidikan tetap ada pertemuan antara dua pihak”.
Toh, Sri Mulyani optimistis pengeluaran negara itu tak akan sia-sia, karena program reformasi ini akan meningkatkan kinerja lebih dari 35 persen. ”Bahkan sampai 60 persen kenaikan penerimaan dengan jumlah wajib pajak yang sama,” kata dia. Terbukti, realisasi penerimaan pajak neto semester pertama 2007 di KPP Madya Jakarta Pusat naik 35 persen menjadi Rp 3,5 triliun.
Retno Sulistyowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo