Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUHAMAD Syakur makin jarang di rumah. Seusai jam sekolah, ia tak langsung menuju kediamannya di Kampung Gaga, Larangan, Tangerang, Banten. Pegawai negeri sipil yang mengajar di Madrasah Tsanawiyah Al-Munawaroh Tangerang itu mampir dulu ke satu dua rumah. Ada kerja tambahan: memberikan les pelajaran. ”Untuk menutup biaya hidup yang meningkat,” kata Syakur, Rabu pekan lalu.
Awalnya, ”proyek” sampingan itu hanya sekali seminggu. Namun, sejak empat bulan lalu, intensitasnya meningkat. Pada malam hari pun ia kerap membimbing kelompok kasidah. Menurut Syakur, semua urusan ekstra ini dipacu oleh kenaikan harga susu dan minyak goreng. Lho?
Biasanya, dengan Rp 40 ribu, rumah tangga Syakur bisa menutup kebutuhan minyak goreng untuk sebulan. Namun, ketika harga melonjak pada April lalu, setidaknya ia harus mengeluarkan Rp 70 ribu. Belum lagi harga beras yang masih tinggi sejak awal tahun, yang turut menggerogoti gajinya yang cuma Rp 1,57 juta per bulan.
Pada medio Juni, harga susu ikut ”menari”. Demi memenuhi kebutuhan dua anaknya yang berusia belum dua tahun, dana yang dialokasikan untuk minuman sehat itu membengkak dari Rp 160 ribu ke Rp 250 ribu. Itu juga sudah penuh akal-akalan. Misalnya, campuran airnya kini ditingkatkan dua kali. ”Atau diganti air tajin,” kata pria 29 tahun itu.
Pada triwulan kedua tahun ini, minyak goreng menjadi elemen bahan pokok makanan yang kenaikan harganya meresahkan masyarakat. Dari Rp 6.400 per kilogram pada Maret, harga rata-rata nasional terus merangkak selama tiga bulan terakhir, menjadi Rp 7.400, Rp 8.300, dan Rp 8.800. Di beberapa daerah, angkanya menembus Rp 10 ribu.
Mulai pertengahan Juni, kalangan ibu rumah tangga makin gelisah karena harga susu terus membubung. Namun rencana Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menggelar operasi pasar batal, karena Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu, yang mempunyai otoritas, menyatakan kenaikan harga susu tidak signifikan. Sebagai gantinya adalah pemberian makanan penunjang air susu ibu.
Menurut riset Danareksa Research Institute, kejadian di atas menjadi penyebab utama menurunnya indeks kepercayaan konsumen selama triwulan kedua. Hantaman kenaikan harga minyak goreng, susu, dan masih tingginya harga beras sangat terasa di kalangan menengah dan bawah, terutama di pedesaan. Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara merupakan daerah yang paling merasakan.
Di Cianjur, Jawa Barat, ada kisah Saepudin. Gara-gara tingginya harga minyak goreng, keuntungan tipisnya dari berjualan gorengan bertambah cekak. Sebelum harga naik, dalam sehari dia bisa mengantongi laba Rp 30 ribu. Setelah harga melonjak, keuntungannya tergerus tinggal separuhnya.
Operasi pasar yang digelar Dinas Perdagangan dan Perindustrian tak banyak menolong. Harga yang ditawarkan tak jauh dari harga pasar, yakni Rp 8.000 per kilogram. Karena tak kuat lagi, Saepudin berhenti berjualan. Kini, pria 47 tahun itu lebih sering terlihat di kerumunan di Pasar Induk Cianjur, mengangkat-angkat barang.
Sebagai kuli panggul, Saepudin benar-benar harus berhemat untuk membiayai dua anaknya yang telah sekolah. Upah yang tak seberapa ia tahan-tahan pengeluarannya. Adapun si bungsu, yang baru berusia sepuluh bulan, tak pernah lagi merasakan susu formula. ”Saya tidak kuat kalau harus membeli susu,” kata Saepudin dengan wajah pasrah.
Walau tak merasakan impitan susu karena belum punya anak, hantaman minyak berdampak juga pada Maria Ulfah. Staf di Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Pati, JawaTengah, itu terpaksa mengeluarkan anggaran ekstra. Apalagi untuk menjaga kesehatan ibunya, yang harus mengkonsumsi minyak nonkolesterol.
Karena ia bukan dari keluarga petani, harga beras yang tak kunjung membaik menambah masalah. Dengan gaji tak lebih dari Rp 1,1 juta per bulan, Maria harus mengencangkan ikat pinggang untuk menopang ibu dan saudaranya. ”Sekarang sebatas mencukupi kebutuhan hidup,” katanya. ”Uang kosmetik juga berkurang.”
Muchamad Nafi, Deden Abdul Aziz (Cianjur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo