Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tebang Ganti di Tanjung Priok

Bea dan Cukai Tanjung Priok jadi proyek percontohan reformasi birokrasi. Masih sendirian.

20 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pekerjaan Romani Sutrisno kini makin cepat kelar. Setelah membereskan aneka izin dari berbagai instansi untuk kelengkapan impor, karyawan salah satu perusahaan pengurusan jasa kepabeanan ini tak perlu berlama-lama di kantor Bea dan Cukai Tanjung Priok, Jakarta. ”Di jalur hijau, kalau dokumen lengkap, sehari bisa selesai,” kata Romani, Selasa pekan lalu.

Tanjung Priok memang tengah berbenah. Unit Bea dan Cukai di pelabuhan terbesar di Indonesia ini menjadi salah satu ujung tombak reformasi birokrasi Departemen Keuangan. Sejak April lalu, Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Tanjung Priok disulap menjadi Kantor Pelayanan Utama (KPU). Kecepatan pelayanan menjadi salah satu penandanya. ”Percuma mereformasi kalau pelayanan publiknya jelek,” kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Anwar Suprijadi.

Bukan hanya nama yang berubah. Orangnya pun sebagian besar muka baru. Untuk bisa bertugas di KPU, mereka harus melewati seleksi ketat. Mereka harus menjalani tes kecerdasan, psikologi, dan kompetensi. Jumlah pegawai juga dipangkas dari semula 1.350 karyawan menjadi hanya 840 orang. Sisanya ditarik ke kantor pusat atau dikirim ke daerah.

Di luar itu, sejak empat purnama lalu, selain atribut dinas yang menempel di seragam petugas Bea dan Cukai, terlihat pin bulat bertulisan ”Pelayanan Prima Tanpa Pungli”. Slogan itu tampak juga terpasang di dinding-dinding kantor. Menurut Anwar, itu merupakan pengingat agar pungutan-pungutan liar yang sudah seperti lingkaran setan dapat diputus.

Romani merasakan betul perubahan itu. Dulu, untuk sebuah dokumen, importir harus mengeluarkan uang ekstra sedikitnya Rp 400 ribu. Tidak aneh jika Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat pungutan liar di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mencapai Rp 890 juta per bulan dan nilai kolusinya Rp 12,8 miliar. ”Sekarang tidak ada. Mudah-mudahan tidak hangat-hangat tahi ayam,” kata Romani.

Namun tak semuanya berjalan mulus. Di pelabuhan Priok, tak hanya ada Bea dan Cukai. Di sana ada instansi lain seperti Balai Karantina, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Imigrasi, PT Pelabuhan Indonesia II, dan Terminal Peti Kemas. Nah, menurut Romani, di luar Bea dan Cukai, masih ada main mata.

Dia mengalaminya di meja Karantina. Romani harus mengeluarkan ratusan ribu rupiah. Lelaki yang sedang mengurus impor bahan kimia milik PT Hudaya itu juga mengeluhkan ”tarikan” oleh sopir-sopir saat memindahkan kontainer, mulai turun dari kapal hingga masuk ke tempat penimbunan. Ia juga harus menyogok petugas saat mendaftarkan pengeluaran peti kemas dari pelabuhan.

Bukan hanya itu. Menurut Anwar, di pelabuhan, kontainer ekspor-impor dengan kontainer lokal masih menyatu. Juga, di lini satu, yang seharusnya steril dari pihak yang tidak berkepentingan, ternyata banyak pihak lain. ”Bahkan wanita tunasusila saja ada,” kata Anwar. Seharusnya di sana hanya ada petugas Bea dan Cukai, Imigrasi, dan Karantina.

Walau terlihat sepele, berbagai kekisruhan itu bisa menghambat reformasi birokrasi yang tengah dijalankan Departemen Keuangan. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, mustahil departemennya bisa membereskan semua itu sendirian. ”Saya harus berbicara dengan Pelindo, pengelola pelabuhan, atau Departemen Perhubungan,” kata Sri Mulyani.

Juru bicara Pelindo II, Hambar Riadi, mengatakan perusahaannya bukannya tidak sejalan dengan langkah Bea dan Cukai. Hanya, kata dia, program itu masih perlu disosialisasi. Pelindo juga sedang membenahi pelabuhan. ”Kami juga antipungli,” kata Hambar. Pernyataan senada dilontarkan Kepala Balai Besar Karantina Tumbuhan Tanjung Priok Indra Mulya. ”Kalau ketahuan petugas minta imbalan, ada sanksinya,” ujar Indra.

Karena itu, agar langkah semua instansi serasi, konsep pelayanan terpadu melalui national single window akan diterapkan pada akhir Desember nanti. Dengan sistem satu jendela, pengurusan dokumen di berbagai instansi bisa diakses secara online. Menurut Anwar, jika itu terlaksana, waktu pengurusan izin impor-ekspor yang sebelumnya 10-30 hari dipotong menjadi tak lebih dari satu jam.

Muchamad Nafi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus