Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTANYAAN lugu itu terlontar dari mulut para siswa Taman Kanak-kanak Lab School, Jakarta, saat berdialog dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Selasa pagi pekan lalu.
”Kata Nenek, kenapa sekarang minyak goreng mahal? Di Indonesia kan banyak pohon kelapa?” ujar Jenna polos.
”Itu karena kelapa sawit di dunia sedang mahal,” Kalla menjelaskan. ”Pemerintah berusaha menurunkan harganya.”
”Tapi harga bensin naik terus?” Danang menimpali.
”Kenapa? Mau demo?” Kalla berseloroh.
”Nggak, tapi bisa tidak harga bensin jadi gopek (Rp 500)?” kata Danang sekenanya.
Gerrr..., tawa pun langsung pecah memenuhi ruang Kantor Wakil Presiden, tempat pertemuan berlangsung.
Buat para siswa TK itu, mahalnya minyak goreng dan bahan bakar minyak tentu belum jadi urusannya. Apalagi mereka berasal dari keluarga menengah-atas, yang mampu membayar mahal ongkos pendidikan di salah satu sekolah prestisius di Jakarta itu.
Namun keriuhan perbincangan mahalnya minyak goreng, yang ramai diwartakan media massa, rupanya sampai juga ke telinga bocah-bocah itu. Maklum, sudah sejak awal Mei lalu, banyak pihak dibuat kalang-kabut. Apalagi di sejumlah daerah harga minyak goreng curah melejit hingga Rp 11 ribu per kilogram. Padahal pada Januari lalu masih di kisaran Rp 6.000. ”Sangat menyengsarakan,” kata David, pedagang gorengan di Ciseureuh, Purwakarta, Jawa Barat. Akibatnya, modalnya pun hampir terkuras habis. ”Tiap hari nombok, sih,” ujarnya.
Nasib serupa dialami Neneng, penjaja gorengan yang lain. ”Modal saya malah sudah ludes,” katanya. Sebab, pembeli pun makin sepi gara-gara gorengannya terpaksa dibanderol ”mahal”, Rp 500 sebiji, untuk mengimbangi kenaikan harga minyak goreng.
Kian membubungnya harga minyak goreng, antara lain, dipicu oleh seretnya pasokan minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil atau CPO) di dalam negeri. Harga CPO yang melangit di pasar internasional membuat produsen CPO memilih mengekspornya ketimbang dipasarkan di dalam negeri.
Di bursa komoditas Rotterdam, Belanda, harga rata-rata CPO pada Juni ini sudah di atas US$ 800 per ton. Ini berarti dua kali lipat dari harga pada Januari tahun lalu. Sejumlah faktor menjadi penyebabnya. Salah satunya, terjadi kekurangan pasokan kedelai dan jagung di Amerika untuk kebutuhan pangan. Para petani beralih dari tanaman kedelai ke jagung. Itu pun untuk memasok kebutuhan bahan baku bioenergi. Nah, untuk menutup kebutuhan pangan, CPO-lah yang kemudian jadi rebutan.
Faktor lainnya, permintaan CPO meningkat seiring dengan tren dunia menjadikan produk ini sebagai bahan baku bioenergi. Kekeringan di sejumlah negara, seperti dialami Australia, juga membuat permintaan CPO meningkat.
Tambahan permintaan datang pula dari India dan Cina, yang mengkonsumsi 25 persen CPO dunia. ”Efek pemanasan global dan fenomena bioenergi ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah CPO dunia,” kata Bayu Krisnamurthi, Deputi Menteri Koordinator Perekonomian bidang Pertanian dan Kelautan.
Kenaikan harga minyak goreng pengaruhnya memang tak sebesar kenaikan harga beras atau BBM. Terhadap total inflasi, sumbangan produk ini hanya sekitar 1,4 persen. Meski begitu, pemerintah tak bisa tinggal diam. ”Banyak masyarakat yang terpukul,” kata Bayu. Salah satunya, ya, pedagang gorengan itu tadi.
Karena itulah, perlu ada kebijakan yang bisa meredam syok gejolak harga. Namun, diakui Bayu, tak banyak opsi tersedia. Sebab tak ada lembaga semacam Bulog yang bisa menjadi instrumen stabilisasi harga beras.
Di sejumlah daerah, opsi yang kemudian dilaksanakan adalah stabilisasi harga lewat operasi pasar minyak goreng. Bekerja sama dengan para produsen, minyak goreng dijual langsung pada harga patokan di kisaran Rp 6.500 per kilogram.
Pada prakteknya cara ini sulit dilakukan. Banyak produsen minyak goreng tak mau ”diinjak kaki” oleh pemerintah untuk menanggung rugi dengan menjual murah barang dagangannya. Sedangkan pemerintah tak punya dana subsidi untuk menutup tekor itu.
Karena itulah, pemerintah kemudian meminta kesediaan para produsen CPO agar mau menjual sebagian produknya ke dalam negeri. Semula Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta 150 ribu ton CPO yang dialokasikan ke pabrik minyak goreng. Namun, dari hasil perundingan, awal Mei lalu, disepakati pasokan hanya sekitar 100 ribu ton per bulan.
Program ini ternyata tak berjalan mulus. Pada Mei lalu, menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki), dari komitmen sekitar 98 ribu ton, baru terealisasi 69 ribu ton. Hingga pertengahan bulan ini, yang dialokasikan pun baru sekitar 12 ribu ton. Akibatnya, para produsen minyak goreng di Jawa Timur masih mengeluhkan kekurangan pasokan CPO 400 ton per hari.
Untuk mengatasi persoalan itu, siasat akhir sudah disiapkan, jika harga minyak goreng tetap di atas harga patokan Rp 6.500-6.800 per kilogram. Salah satunya, kemungkinan menerapkan kebijakan domestic market obligation (DMO), yang mewajibkan produsen CPO melempar produknya ke dalam negeri dalam jumlah dan patokan harga tertentu.
Kebijakan lain yang mungkin diambil adalah menerapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng. ”Ini akan diatur,” kata Dirjen Agro dan Kimia Departemen Perindustrian, Benny Wahyudi, Selasa lalu. Jika harga membubung, selisih kerugiannya ditutup dengan dana subsidi dari pungutan ekspor, yang dialokasikan dalam APBN Perubahan.
Kenaikan pungutan ekspor memang termasuk opsi lain yang sudah didengung-dengungkan pemerintah. Dalam rapat koordinasi di Kantor Menteri Koordinator Perekonomian, Jumat lalu, kebijakan inilah yang akhirnya diambil.
Pungutan pajak ekspor kepada produsen CPO dinaikkan dari semula 1,5 persen menjadi 6,5 persen. ”Kenaikan berlaku sejak 15 Januari 2007, dan akan terus kami review menurut perkembangan harga internasional,” kata Menteri Koordinator Perekonomian Boediono.
Departemen Perindustrian sempat mengusulkan, jika kebijakan DMO diambil, pungutan ekspor bahkan bisa dikenakan hingga 11,5 persen kepada produsen CPO yang bandel. Kepala Eksekutif PT Sinar Mas Agribusiness and Food, Franky Widjaja, mendukung sanksi ini. ”Kalau tak ada pembedaan, produsen yang punya komitmen jadi malas memenuhi kewajiban,” ujarnya.
Sejumlah pihak sesungguhnya tak sepakat dengan kenaikan pungutan ekspor ini. Langkah ini dikhawatirkan akan membuat produsen CPO menekan harga beli kelapa sawit sehingga menurunkan pendapatan petani. Adanya perbedaan harga domestik dan internasional juga membuka peluang terjadinya penyelundupan.
Kekhawatiran lainnya, kebijakan ini bakal menurunkan daya saing dan pangsa pasar CPO Indonesia di pasar internasional. Produksi CPO Indonesia 16 juta ton—dengan konsumsi 4,5 juta ton—setahun merupakan yang terbesar kedua di dunia setelah Malaysia. Maka, jika penurunan ini terjadi, penerimaan devisa pun merosot. ”Ini keputusan politik,” kata Bayu. ”Pilihannya, menyelamatkan rakyat kecil yang terpukul atau mempertahankan penerimaan ekspor.”
Menurut Ketua Harian Gapki Derom Bangun, bagi para produsen CPO, aturan kewajiban alokasi domestik sesungguhnya lebih menguntungkan ketimbang pungutan ekspor. ”Penurunan pendapatan yang diderita lebih kecil,” ujarnya. Itu sebabnya, para pengusaha tak keberatan dengan program DMO.
Lalu mengapa pasokan CPO tetap seret? Memang, kata Derom, komitmen pasokan ke dalam negeri belum dijalankan sepenuhnya. Selain ada beberapa produsen yang masih tak menaatinya—karena sanksinya belum jelas—perubahan mendadak pengapalan CPO tak mudah dilakukan. Ada pula yang sudah terikat kontrak penjualan. ”Kalau tidak ditepati, bisa kena denda,” ujarnya.
Pakar ekonomi pertanian Bustanul Arifin menilai, opsi apa pun yang bakal diambil tak akan ada yang cespleng. Alasannya, struktur pasar CPO dan minyak goreng saat ini sudah distortif, dikuasai sejumlah kecil pemain kakap, sehingga program DMO pun tak akan mudah digulirkan. ”Ada semacam entry barrier di pasar CPO.” Jadi, perlu dilakukan pembenahan struktur pasar yang selama ini terpusat pada segelintir trader kakap.
Metta Dharmasaputra, Anton Aprianto, Oktamandjaya, Yuliawati, Nanang Sutisna (Purwakarta), Sunudyantoro (Surabaya), Sujatmiko (Bojonegoro)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo