Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Singkong melangit

Banyak pabrik tapioka mengeluh kekurangan singkong dari para petani. di saat singkong lagi langka, pabrik berlomba-lomba membujuk petani untuk menanam singkong dengan harga tinggi.(eb)

29 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENTAHLAH, sekarang ini singkong sedang naik pamornya, atau cuma sedang ngadat saja -- setelah secara beringsut harganya naik dari Rp 20 menjadi Rp 70 per kg. Ada dugaan, hal itu disebabkan pasar kekurangan suplai, sementara daya serap pabrik tapioka tetap deras. Yang jelas, belakangan ini 37 pabrik tapioka di Lampung tak mendapat cukup singkong dari petani. Menurut dugaan Direktur Pelaksana Multi Agro Corp Lampung, Kusumo Subagio, semuanya terjadi gara-gara jatuhnya harga singkong sebelum ini. Di bulan Maret tahun lalu, harga ubi kayu di Lampung umumnya Rp 20 per kg, tapi -- seperti dikeluhkan para petani -- pabrik hanya mau membayar Rp 5. Karena harganya jelek, "Petani jadi enggan menanam singkong," kata Subagio. Multi Agro, sebagai penghasil tapioka, syukur belum mengalami kesulitan mencari singkong. Karena sebagian besar kebutuhannya (60%) dipasok dari kebun sendiri yang luasnya mencapai 5.000 hektar. Dari budi daya itu Multi Agro bisa memperoleh singkong 30 ton per hektar. Kalaupun daerah sekitar perkebunannya tak mampu memenuhi kebutuhan pabrik, "Kami tidak memaksa diri," kata Subagio, "sebab ongkos angkut dari daerah lain terlalu mahal." Dugaan Subagio itu dibenarkan para petani di Lampung Tengah. Mereka terus terang menyatakan kapok menanam singkong lagi, karena harganya pasti jatuh di saat panen. Nilai ekonominya sendiri, dibandingkan dengan kedelai atau jagung, jauh lebih rendah. Bila dari setiap hektar bisa dicabut 12 ton singkong, dan laku dijual Rp 65, penghasilan kotor selama setahun kurang dari Rp 600 ribu. Belum lagi pabrik sering nakal. Dengan alasan banyak singkong yang kotor atau busuk, mereka memotong harga secara sepihak, kadang-kadang sampai 30%. Tak jarang pula pabrik tega memotong berat timbangan petani. "Di Kecamatan Pekalongan (Lampung Tengah) ini, banyak warga yang hampir sinting karena ulah pabrik tapioka," kata Sukarno, petani di situ. "Sudahlah, Pak. Sekarang ini kami memang lebih suka menanam kedelai atau jagung saja." Untuk mengatasi kelangkaan singkong, ada gagasan untuk menanami hutan ilalang. Pemda Lampung rupanya khawatir juga kalau-kalau daerahnya tak lagi dikenal sebagai eksportir tapioka, pellet, dan gaplek terkemuka. Gejalanya memang sudah tampak dengan menurunnya produksi singkong di sana: tahun lalu hanya 900 ribu ton. Padahal, tahun sebelumnya masih sekitar 1,3 juta ton. Gejala serupa juga sudah mulai terlihat di Jawa Tengah. Bila kampanye menanam kedelai dan jagung berhasil, bisa diduga produksi singkong akan turun tajam. Tahun 1984, luas lahan yang ditanami singkong masih 1,35 juta hektar, dengan hasil 14,2 juta ton. Setahun kemudian, lahan itu menciut jadi 1,29 juta hektar, dengan produksi 14 juta ton. "Laju peningkatan produksi singkong di sini memang jauh lebih lambat dibandingkan Muangthai," kata seorang pejabat di Departemen Pertanian. Semua itu terjadi, tampaknya, karena perkembangan harga singkong dan hasilhasilnya di sini tidak cukup memberi perangsang kepada petani. Tak ada pilihan lain, tampaknya, bila Indonesia kemudian mengimpor tapioka dari Muangthai. Tahun ini, mpornya akan mencapai 30 ribu ton. Sedangkan gaplek dan pellet, yang harganya relatif mantap, sudah bisa diekspor. Sayangnya, meski kuota ekspor komoditi Indonesia yang satu itu ke Eropa dua tahun ini ditetapkan 825 ribu ton, "Yang bisa dipenuhi cuma separuhnya," seperti kata pejabat Departemen Perdagangan tadi. Muangthai, sementara itu, masih bisa memasok satu juta ton di atas kuotanya yang empat juta ton. Harga gaplek sendiri kini sedang bagus: Rp 200 per kilo -- padahal, dua tahun lalu hanya Rp 60 (di atas kapal). Bagusnya harga itu, sebenarnya, bukan merupakan pengaruh langsung dari kenaikan nilai komoditinya, melainkan akibat dari perubahan kurs rupiah melawan dolar, sementara mata uang Eropa melawan dolar juga naik. Memang menantang. Tapi sulit pula diladeni -- misalnya dengan menganjurkan menanam ubi kayu secara besar-besaran. Ingat saja peristiwa dua tahun lalu, setelah petani getol menanam singkong, tahu-tahu harga gaplek di Eropa mendadak anjlok. Akibatnya, harga singkong di tingkat petani tertekan sampai tinggal Rp 5 per kilo. Kapok, 'kan ? Bertolak dari pengalaman itu, sejumlah organisasi produsen yang berkepentingan dengan pengadaan singkong kemudian bersepakat untuk memelihara harga. Mereka berjanji akan membeli bahan baku tapioka dan gaplek itu minimal Rp 35 per kilo di tingkat petani. Dengan cara itu, menurut mereka, petani tidak bakal rugi. Sedangkan harga gaplek akan dipelihara paling murah Rp 100 per kilo. Tapi kini, di saat singkon lagi langka, pabrik berlomba-lomba membujuk petani dengan harga tinggi bukan main. Tapi singkong memang lagi jual mahal. Lihat saja PT Tegak di Kediri yang hari-hari ini mengaku hanya bekerja 40%-50% untuk menghasilkan tapioka. Padahal, pabrik didesain untuk mengolah 200 ton singkong seharinya. "Sekarang lagi susah-susahnya mencari singkong," keluh Tonny Affandy, Manajer Produksi Tegak. Sayang, memang, di saat pasar lagi bagus, petani dan pemilik pabrik di sini tak bisa turut menikmati. Coba kalau petani tak dibikin kapok menanam singkong.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus