PARA pengusaha toko tingkat pengecer, rupanya, sedang dijauhi sinterklas. Buktinya, menjelang Natal dan Tahun Baru 1986 ini, tidak banyak konsumen masuk membeli barang dagangan mereka. "Omset kami bulan ini turun 5% dibandingkan bulan yang sama tahun lalu," kata A. Ilyas, asisten manajer grup Ramayana. Padahal, Natal tahun lalu volume penjualan kelompok ini masih sempat naik 25%. Sebagai salah satu grup pengecer terkemuka, yang mempunyai tujuh tempat menggelar barang jajaan di Jakarta, situasi yang dihadapi Ramayana itu mungkin bisa dijadikan salah satu indikasi kelesuan. Usaha menarik minat konsumen juga sudah dilakukannya dengan, misalnya, memberi hadiah payung untuk yang berbelanja Rp 50 ribu ke atas, atau malah menawarkan potongan harga 10% sampai 20%. Tapi pembeli tidak naik mencolok. Natal dan Tahun Baru bagi mereka biasanya merupakan masa bagus untuk menaikkan penjualan, sesudah Lebaran Idulfitri dilewati. Mungkin, baru tahun ini para pengusaha merasakan penurunan penjualan terasa terlalu dalam. Penghasil sepatu Bata, misalnya, juga menghadapi mendung itu, sekalipun harga pelbagai sepatu bikinannya sudah diturunkan 25% sampai 30%. Begitu pula penjual kaset-kaset berisi lagu-lagu Natal. Mungkin karena lagu yang direkam dari itu ke itu saja, dengan tema yang hampir rutin. "Tidak ada yang baru," ujar Harry Sonoza, bos Atlantic Record. Walau begitu, tidak semua harus bermuka suram menghadapi saat bagus ini. Grup Matahari, yang mempunyai 13 cabang (10 di antaranya di Jakarta) untuk menjajakan dagangannya, tetap ramai dimasuki konsumen. Ke toko kelompok ini, masyarakat biasanya mencari pakaian jadi, yang desainnya dikenal tidak terlalu ketinggalan, tapi bisa diperoleh dengan harga miring. Karena itu, agaknya, harga tidak diturunkan. "Yang turun paling-paling pakaian jadi yang sudah dipajang sebulan lalu," kata Magdalena W. Gautama, Manajer Humas Grup Matahari. Di Bandung, toko yang berada di sekitar Alun-alun, belum kelihatan dibanjiri orang - barangkali karena di kota ini sedikit pemeluk Nasrani. Di Jalan Braga, Ina Plaza, yang berlantai empat dan baru dibuka delapan bulan lalu, tampak lebih sepi. Soedjito Kusumo, Direktur Ina Plaza, tampak pesimistis menghadapi bulan cukup baik ini, apalagi tokonya tidak mempunyai fasilitas parkir kendaraan. Usaha menarik pembelinya juga sudah dilakukan dengan memberikan hadiah untuk pembelian tertentu. Belum juga berhasil. "Perdagangan rupanya sedang lesu sekarang," katanya. Suasana suram seperti itu terbayang pula di Surabaya - paling tidak itulah yang tampak di pusat perbelanjaan Siola dan Nam yang sering dijadikan barometer. Padahal, pohon terang, ucapan Selamat Hari Natal, dan lampu-lampu hias sudah dipasang di antara kalimat keren "special offer" dan "sale". "Memang tak banyak yang bakal didapat pada Natal dan Tahun Baru 1986 kali ini," ujar Ing Wibisono, Direktur Siola Department Store. Ada juga pengusaha yang berharap, pada akhir bulan mendekati 25 Desember, permintaan dari masyarakat akan melonjak: misalnya pengelola Supermarket Sinar Mas, yang memberikan potongan harga sampai Rp 275 ribu untuk pembelian sampai Rp 2 juta. Baru pakaian anak-anak dan aneka jenis makanan yang banyak dibeli. Bingkisan juga muncul di kota ini: umumnya berisi pelbagai penganan dengan harga bergerak dari Rp 10 ribu sampai Rp 150 ribu. "Tapi yang laku baru yang berharga di bawah Rp 40 ribu," ujar Ing Wibisono, agak masygul. Di Medan, keramaian baru tampak di Istana Plaza - mungkin karena baru dibuka awal bulan ini. Padahal, di kota ini sedikitnya ada tujuh pusat perbelanjaan dengan nama cukup keren. Orang Medan rupanya tidak lupa akan lubuk mereka. Lihat saja masyarakat dari pelbagai lapisan ternyata masih suka memadati Pusat Pasar, yang di zaman Belanda disebut sentral - tempat berbelanja paling populer sejak dulu. Hanya bingkisan yang, ternyata, lebih banyak dibeli - selain pakaian anak-anak, tentu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini