SERING konsumen perusahaan pengembangan perumahan (developer) dikecewakan atau tertipu, tanpa tahu ke mana harus mengadukan masalahnya. Namun, dalam waktu dekat, diharapkan lahir semacam Badan Pendamai Konsumen Produsen Perumahan. Seminar 16 Desember lalu - yang disponsori Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan diikuti Menteri Negara Urusan Perumahan Rakyat, Lembaga Bantuan Hukum, Bank Tabungan Negara, dan utusan berbagai organisasi urusan perumahan dan lingkungan - sepakat melahirkan lembaga tersebut. "Lembaga ini bisa berdiri sendiri, bertindak sebagai badan netral untuk menengahi kedua belah pihak, sebelum masalahnya dibawa ke pengadilan," sambut Menteri Negara Perumahan Rakyat Cosmas Batubara. Pihak-pihak yang bersengketa tentu sama-sama tak menginginkan kasus itu ke pengadilan, yang biasanya akan memakan waktu lama. Bila ditangani Badan Pendamai, diharapkan bisa tuntas dalam waktu yang singkat. Dari berbagai keluhan konsumen, kunci permasalahan sebenarnya, menurut Cosmas, ada pada konsumen sendiri. Untuk mencegah uang muka dibawa kabur developer, misalnya, seperti pernah diderita 120 calon penghuni Taman Cibalagung Indah (Bogor), calon pembeli seharusnya mengecek dulu ke BTN - jangan asal percaya dengan iklan manis. BTN, sejauh ini, sebenarnya sudah diberi tugas juga untuk melindungi konsumen dalam hal bestek. Biasanya, BTN mengecek dulu rumah-rumah yang dibangun, sebelum mulai diserahkan kepada calon penghuni. Menurut Kepala Biro Perencanaan BTN, Asmuadji, pembeli diberi hak untuk mengklaim perbaikan bila masih menemukan cacat atau kekurangan struktural atas rumah yang diterimanya. Cacat atau kekurangan yang masih terhitung tanggung jawab perusahaan, antara lain kerusakan pada konstruksi rumah, sumur yang kurang dalam, termasuk juga kekurangan pemasangan aliran listrik. Kendati BTN melakukan fungsi pelindung, tidak tertutup kemungkinan terjadi sengketa antara konsumen dan BTN sendiri. Pernah tercatat, sejumlah debitur KPR BTN di Desa Cisaranten Kidul, Bandung, melakukan aksi mogok mengangsur cicilannya ke BTN. Konon, mereka heran, mengapa BTN memberikan izin kepada PT Kunci Mas Sakti, kendati tanah di lokasi perumahan yang ditangani perusahaan itu ternyata belum dibebaskan. Maka, tidak heran, setelah proyek itu dianggap gagal kemudian dioperkan kepada PT Riung Bandung Permai, persoalan tetap tak memuaskan juga. Menurut YLKI, BTN dan perusahaan perumahan juga tak berhak membatalkan sewa-beli rumah yang sudah dilunasi konsumen sebanyak lebih dari 1/3. Namun, hal ini menurut ahli hukum di YLKI, A.Z. Nasution, S.H., masih merupakan kekurangan perundang-undangan. "Yang ada di peraturan adalah mengenai aturan sewa-menyewa, lain dengan sewa-beli," tuturnya. Tak semua keluhan yang selama ini terdengar, menurut Cosmas Batubara, adalah tanggung jawab developer dan BTN. Sarana rekreasi dan rumah ibadat, misalnya, diwajibkan kepada perusahaan hanyalah dalam penyediaan lahannya. "Urusan pembangunannya diserahkan kepada pemerintah daerah," katanya lebih lanjut. Segala sarana dan lingkungan yang tadinya dibangun pun, bila telah dioperkan pengelolaannya kepada pemerintah, menjadi tanggung jawab pemerintah daerah setempat. Masalahnya, apakah pemerintah daerah setempat cukup mempunyai dana untuk membangun dan memelihara semua sarana dan lingkungan itu. Justru kekurangan serta kerusakan sarana dan lingkungan yang telah dioperkan itu, yang kini mulai banyak mengecewakan para penghuni.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini