Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

SIUPP, antara isi & ketentuan

Wawancara tempo dengan dirjen ppg, sukarno sh tentang pelaksanaan siupp. siupp mengatur bagaimana perusahaan pers itu berdiri. siupp juga mengatur bagaimana pers memberi isi pada penerbitannya.

18 April 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURAT Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) boleh menjadi bukti adanya kebebasan pers di Indonesia. Jika hakikat dan ketentuannya diterjemahkan dalam pelaksanaannya, ketentuan yang berusia tiga tahun itu kadang menimbulkan perbedaan pendapat antara kalangan ahli hukum dan pemerintah. Atau antara pemerintah dan pihak lainnya. Lumrah saja. Dan perbedaan pendapat soal SIUPP itu tak dilarang dikumandangkan secara lisan dan tertulis lewat media. Buktinya: Akhir Maret lalu dalam suatu ceramah di depan para mahasiswa Universitas Diponegoro, Semarang, Prof. Oemar Senoadji, S.H., melontarkan pendapat dan tafsirannya tentang SIUPP dan kebebasan pers. Malah dalam wawancara dengan TEMPO, bekas menteri kehakiman dan ketua mahkamah agung kelahiran Solo itu tegas menilai ada pergeseran dalam pelaksanaan SIUPP. "Sudah kelihatan rancu. Yakni keluar dari ketentuan fungsi SIUPP itu sendiri. Terutama dalam masalah pembredelan setelah berlakunya. SIUPP itu 'kan mengatur masalah bagaimana perusahaan pers itu supaya berdiri. Jadi, jika syarat-syarat berdirinya perusahaan pers belum terpenuhi, misalnya modal, maka SIUPP baru dapat dibatalkan. Jadi, bukan dibatalkan karena masalah isi beritanya," kata Prof. Oemar (TEMPO, 11 April). Pemerintah rupanya punya versi lain. Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika Departemen Penerangan, Sukarno S.H., Senin malam pekan ini, menyiapkan waktu khusus untuk menjelaskan soal itu. Berikut ini wawancara Dirjen Sukarno dengan Syatrya Utama dari TEMPO: Benarkah SIUPP itu diberikan kepada perusahaan/penerbitan pers tanpa mengaitkannya dengan dengan isi penerbitannya? Kalau kita baca undang-undangnya (UU no. 21/1982), SIUPP itu adalah surat izin perusahaan untuk menerbitkan pers yang bebas dan bertanggung jawab. Dus, obyeknya pers yang bertanggung jawab. Bukan hanya pers saja. Kalau pers yang diterbitkan itu pers bebas tapi tidak bertanggung jawab, bagaimana...? Pers yang bebas dan bertanggung jawab itu sudah satu paket. Intinya bisa dilihat dalam keputusan Dewan Pers, yang namanya Pedoman Pembinaan Pers. Dibuat tahun 1979, kalau ndak salah. Kebebasan pers itu, antara lain, tidak bisa digunakan untuk menelanjangai pribadi orang lain, tidak bisa juga berlawanan dengan kepentingan nasional, dan lain-lain ada beberapa kategorilah. Jadi, kalau kita perhatikan obyeknya, sebetulnya, jelas. Maksudnya, mencakup juga isinya? Ya, sebab kalau tidak begitu tidak ada artinya. SIUPP itu adalah wadah untuk pers yang bebas dan bertanggung jawab. Tapi dalam pasal 1 Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers (UUKPP), disebutkan bahwa SIUPP hanya diberikan kepada perusahaan pers, tanpa menyebutkan isi penerbitan pers. Ya, memang. Tapi coba dibaca penjelasannya. Disebutkan bahwa SIUPP merupakan sarana untuk pembinaan pers yang bebas dan bertanggung jawab. Jelas, SIUPP tidak terpisahkan dengan isi pemberitaan. Beda dengan di Barat, izin dan isi penerbitan dipisahkan. Jadi, kalau isi penerbitan melanggar prinsip pers bebas dan bertanggung jawab, SIUPP-nya bisa dibatalkan? Ya, secara formal, pembatalan itu ada dalam peraturan menteri (Nomor 01/Per/Menpen/1984) pasal 33(h). Itu berdasarkan prinsip pers yang bebas dan bertanggung jawab. Maka, itu kita tidak memisahkan kebebasan pers dan tanggung jawabnya. Apa beda pembatalan dengan pembredelan? Kita hanya kembali kepada undang-undang. Undang-undang hanya memakai kata pembatalan. Maksudnya, peraturan perundang-undangan, yaitu, undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan lain sebagainya, menggunakan kata pembatalan. Misalnya, kasus Sinar Harapan. SIUPP-nya dibatalkan. Apa bedanya pembredelan dengan pembatalan SIUPP? Peraturan perundang-undangan kita tak mengenal kata pembredelan. Yang dipakai, tentu, kata pembatalan. Di dalam pasal 4 UUKPP disebutkan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan pembredelan. Apa hubungan pasal ini dengan pembatalan SIUPP? Itu sebenarnya merupakan satu das solen-lah, sekalipun itu dalam undang-undang. Kita 'kan masih ingat sejarahnya. Di dalam pasal 4 UUKPP itu ada larangan sensor dan pembredelan. Tapi, masih ditutup dalam peraturan peralihan. Bahwa dalam masa peralihan itu masih ada izin terbit yang perlu diatur pemerintah, dan izin terbit itu dapat dibatalkan atau dicabut, 'kan jalannya begitu. Ada pasal 4 UUKPP. Tapi, kok, bisa keluar peraturan menpen yang memuat pasal pembatalan SIUPP -- dan ini berlaku -- padahal secara hierarkis kedudukannya lebih rendah? Ini seperti yang saya contohkan begini: kita punya UUD'45, yang menganut presidensiil kabinet. Artinya, menteri bertanggung jawab kepada preslden. Tapi, kita 'kan pernah menjalankan kabinet parlementer -- menteri bertanggung jawab pada DPR padahal UUD'45-nya ada (sambil tertawa). Nah, hal-hal seperti inilah kadang-kadang yang terjadi. Seperti yang saya katakan das solen tadi. Suatu hal yang menjadi cita-cita, tapi tak menghalangi adanya situasi dan kondisi yang yah... kadang-kadang tidak mungkin diterapkan saat itu juga dan semuanya jadi beres. Dalam pasal 15 UUKPP ditentukan, bila ada kesalahan isi penerbitan, yang bertanggungjawab adalah pengasuhnya (Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi, dan Pemimpin Perusahaan). Kenapa pasal ini jarang diterapkan? Sebetulnya, dilakukan, ya, ada juga. Tapi tidak selamanya harus lewat pengadilan. Masalahnya, pers di sini senangnya pada politik. Mungkin karena sejarahnya. Dulu ada pers yang selalu menyuarakan partainya masing-masing. Dan baru di Orde Baru ini, pers merupakan lembaga kemasyarakatan yang independen. Tidak ikut sana ikut sini. Ini juga belum semua. Segalanya sedang dalam satu proses ke sana. Jadi, kenapa jarang ke pengadilan, karena ke pengadilan itu 'kan aspek yuridis, padahal ini semua merupakan kesenangan politis. Makanya, ya... kurang begitu kena... gitu....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus