Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Siapa lagi mau membayar pajak

Penerimaan pajak 1986-87 sampai 30 maret 1987 mencapai rp 6,07 trilyun. sumbangan terbesar pemasukan pajak berasal dari penarikan ppn & ppn bm hampir rp 3 trilyun. angsuran utang pemerintah naik.

18 April 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIRJEN Pajak Salamun A.T. kini bisa mengayun tongkat golf dengan perasaan enteng. Kerja keras aparatnya dalam mengumpulkan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 1986-87 menunjukkan angka bagus. Tutup buku 30 Maret kemarin penarikan seluruh pajak itu, di luar dugaan, mencapai Rp 6,07 trilyun -- Rp600 milyar lebih di atas APBN. Hebat. Ketika ditanya, Dirjen Salamun tidak menyangkal soal tingginya realisasi penerimaan itu. Hanya dengan kerja keras petugas pajak, dan terutama kesadaran dari pembayar pajak, angka penerimaan sebesar itu bisa dicapai. "Saya ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada masyarakat atas kepatuhan mereka memenuhi kewajibannya membayar pajak," katanya. Sumbangan terbesar pemasukan pajak itu, seperti diduga, berasal dari penarikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPn BM) yang, disebut, mencapai hampir Rp 3 trilyun -- atau Rp 800 milyar lebih di atas sasaran. Sebaliknya, penerimaan PPh tercatat sekitar Rp 2,8 trilyun, atau beberapa puluh miIyar di bawah target. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga disebut meleset dari sasaran. Usaha menarik PPh, memang, sudah dilakukan dengan cukup gencar. Bahkan sejumlah perusahaan yang terbukti dengan sengaja berusaha menyelundupkan pajak sampai diseret ke pengadilan. Sayang, laba perusahaan yang bisa dipajaki, di saat ekonomi masih loyo, tetap tak bisa diuber. Dirjen Salamun bisa memahami kondisi itu. Sasaran memang harus dikejar. "Tapi jangan sampai pajak masuk, kemudian ada perusahaan hancur," katanya. Sikap itu, tentu, tak menyebabkan pemerintah kemudian lunak. Ekstensifikasi terhadap wajib pajak PPh orang pribadi, yang kini jumlahnya 2,5 juta orang itu, akan diteruskan untuk menambah basis pemajakan. Pelacakan akan dilakukan, antara lain, lewat buku telepon, daftar pelanggan PLN, maupun penerbitan surat fiskal. Menurut perkiraan kasar Dirjen Salamun, perusahaan dan orang pribadi terdaftar yang kini bayar PPh, "Baru separuhnya." Ikhtiar menjaring mereka, supaya adil, perlu dilakukan -- mengingat untuk tahun anggaran berjalan Ditjen Pajak diserahi tugas mengumpulkan pajak Rp 7,4 trilyun atau Rp 2 trilyun di atas APBN 1986-87. "Sangat berat untuk mencapai sasaran itu," kata Salamun. Dan kalau sasaran itu dipikirkan, sambungnya sambil berkelakar, "Rasanya makin sulit memasukkan bola waktu bermain golf. Sekarang saya tak pernah lagi memukul bola hole in one (sekali pukul masuk ke sebuah lubang)." Tapi, tentu saja, besarnya beban itu tak menyebabkan Dirjen Pajak itu harus berhenti bermain golf. Sebab, Dirjen Bea Cukai dan Direktur Utama Pertamina juga mendapat tugas yang sama beratnya -- dan tak menyebabkan mereka melupakan olah raga. Untuk tahun anggaran 1986-87 itu, Ditjen Bea Cukai disebut bisa memasukkan uang beberapa ratus milyar di atas sasaran. Kenaikan pemasukan terbesar, ternyata, berasal dari Bea Masuk: Rp 900 milyar lebih -- Rp 300 milyar di atas sasaran. Inpres No. 4 tahun 1985, harus diakui, membuahkan hasil baik. Ikhtiar melancarkan arus barang itu terbukti disukai pengusaha. Peranan SGS, pelaksana beleid itu, tentu penting. Tapi tak berarti peranan aparat Bea Cukai dalam mengamankan penarikan Bea Masuk itu bisa dikesampingkan. Tingginya pemasukan dari Ditjen Pajak dan Bea Cukai itu, sayang, masih belum bisa menutup pukulan akibat jatuhnya harga minyak bumi. Harga minyak di bulan Agustus tahun lalu, seperti diketahui, jatuh sampai di bawah US$ 9 per barel. Padahal, sasaran penerimaan pajak migas yang Rp9,7 trilyun dipasang dengan perkiraan harga US$ 25 per barel. Devaluasi kemudian dilakukan, terutama, untuk menolong neraca pembayaran -- bukan membantu menaikkan penerimaan pajak migas, meskipun pada akhirnya ikut menambah rupiahnya jadi Rp 7,3 trilyun. Lumayan. Sebab, tanpa devaluasi, penerimaan pajak migas diduga hanya akan sampai Rp 5,7 trilyun saja. Dengan tindakan moneter itu, penerimaan pembangunan dalam rupiah otomatis ikut terkerek naik. Singkat cerita, menurut sebuah sumber, devaluasi telah menyebabkan penerimaan APBN 1986-87 lalu bisa mencapai Rp700 milyar di atas sasaran yang ditetapkan Rp 21,4 trilyun. Tapi devaluasi itu juga mempunyai sisi gelap, yaitu menaikkan kewajiban pemerintah yang dihitung dalam valuta asing. Angsuran utang pemerintah, misalnya, yang dianggarkan Rp 4,2 trilyun -- karena devaluasi -- diperkirakan naik menjadi Rp 5 trilyun lebih. Menguatnya mata uang yen dan mark Jerman Barat, juga disebut, ikut menambah penyediaan rupiah dari kantung pemerintah. Karena itu pula, untuk tahun berjalan, anggaran untuk membayar angsuran utang itu membengkak jadi Rp 6,8 trilyun, atau sama dengan seluruh target penerimaan minyak. Beban untuk tahun anggaran ini tidak ringan. Kendati harga minyak untuk tiga bulan terakhir ini sudah berada sekitar US$ 18 per barel, orang masih belum yakin sasaran APBN berjalan yang Rp 22,8 trilyun akan bisa dijangkau. Banyak kalangan berharap, kalau saja badan usaha milik negara bisa dikelola secara efisien, maka bagian laba yang mereka sisihkan itu cukup lumayan jumlahnya untuk menambah penerimaan APBN. Ditjen Pajak juga tak perlu terlalu ngos-ngosan untuk mengejar sasaran yang kian menggelembung itu. Wajib pajak, yang kini diminta makin besar menyisihkan uangnya untuk memikul beban pembangunan, di pihak lain, berharap uang mereka akan dipakai dengan baik. "Kalau uang pajak itu digunakan secara benar, maka sambutan masyarakat untuk membayar pajak niscaya akan bagus," kata seorang pejabat. Eddy Herwanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus