Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Si gajah menolong kijang

Pabrik ban cap gajah produksi gajah tunggal diminta membantu pemasaran ban cap kijang produksi inti rub. jumlah yang dipasarkan 50 ribu sampai 70 ribu buah perbulan. separuhnya diusahakan diekspor.

18 April 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GAJAH adalah binatang kuat. Satwa kecil seperti kijang, kabarnya, suka berlindung padanya. Tapi banyak kalangan bertanya ketika penghasil ban cap Kijang (Intirub), pekan lalu, mendadak diberitakan mencari perlindungan di bawah belalai penghasil ban cap gajah (Gadjah Tunggal). Apa yang terjadi dengan Intirub, badan usaha milik negara yang selama ini dikenal sebagai raJa ban untuk kendaraan komersial? Intirub, kata Dirjen Industri Kimia Dasar Sidharta, memang sedang dililit kesulitan keuangan cukup serius, karena perusahaan di bawah Departemen Perindustrian itu tak lancar menjual ban. "Mungkin karena produk dan desainnya yang ketinggalan itu tidak lagi disenangi konsumen," katanya. Karena penjualan turun, kapasitas terpakai pabrik akibatnya jadi rendah. Ada kabar kapasitas terpakai pabrik ban di Cililitan (Jakarta) itu hanya 50%. Kalau dibiarkan, kerugian BUMN itu niscaya akan makin bengkak, dan akan terus minta susu ke Perindustrian. Jalan keluar kemudian ditemukan: meminta Gadjah Tunggal membantu pemasaran Intirub. Pabrik ban swasta itu dipilih karena, menurut Menteri Hartarto, "Dianggap sukses dalam memasarkan ban di luar negeri." Anggapan itu tampaknya tidak berlebihan. Gadjah Tunggal, seperti diketahui, tahun lalu tercatat bisa menekspor ban US$ 5,5 juta atau separuh dari realisasi ekspor semua pabrik ban. Tahun ini, sasaran ekspornya dipasang US$ 16 juta -- sementara target ekspor seluruh pabrik ban di sini adalah US$ 20 juta. "Kami akan mencari jalan agar kelebihan kapasitas Intirub bisa digunakan dengan baik," kata Sjamsul Nursalim, Presiden Direktur Gadjah Tunggal. Tentu, tak ada yang menyangka Si Gadjah, yang semula hanya dikenal menghasilkan ban becak dan ban sepeda dari Bandengan Utara di kawasan Jakarta Kota itu, akan menolong Intirub -- raja ban kendaraan komersial, yang di tahun 1984 pernah mencoba memasarkan 1.000 ban radial ke Hong Kong. Maklum, sampai tahun lalu, Gadjah Tunggal bahkan masih dikenal sebagai raja ban sepeda motor dan skuter dengan penjualan di atas 1,5 juta buah. Tapi diam-diam Gadjah Tunggal bekerja sama dengan Yokohama sedang berusaha mengejar pasar penjualan mobil. Usahanya mengekspor ban mobil rupanya dianggap berhasil. Buktinya, mulai 1 April itu, Gadjah Tunggal dipercaya bertindak sebagai sole distributor -- di dalam dan luar negeri untuk Intirub. Ikhtiar membantu pemasaran itu, kata Sjamsul, tak menyebabkan ban produksinya tersaingi, karena jenis yang dihasilkannya berbeda. "Intirub, misalnya, kuat dalam ban radial," tambahnya. Menurut Dirjen Sidharta, jumlah ban produksi Intirub yang kelak akan dipasarkan rekan usahanya itu antara 50 ribu dan 70 ribu buah sebulannya. Dari jumlah itu, separuhnya diusahakan untuk diekspor. "Untuk ekspor dan pasar dalam negeri merk yang digunakan tetap Intirub," kata Sjamsul, yang juga Presiden Direktur Bank Dagang Nasional Indonesia. Upaya memasuki pasar ekspor itu sebenarnya akan makin gencar seandainya harga bahan baku seperti karet dan kain ban (tire cord) bisa mereka beli dengan harga bersaing. Tapi karena alasan tak jelas, perusahaan ban Goodyear, misalnya, harus membeli karet alam seharga US$ 0,856 per kg. Padahal, harga karet serupa untuk transaksi ekspor 16% lebih rendah. Jalan keluar kemudian disodorkan Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI). Mereka minta agar pembelian karet alam bisa dilakukan lewat Bursa Komoditi di Jakarta, yang harganya ditetapkan serupa dengan harga karet ekspor. Jika tidak mungkin, mereka minta agar diperbolehkan memperbesar impor karet sintetis yang harganya hanya US$ 0,721 per kg. Para produsen ban itu juga minta agar pemerintah mau turun tangan mengatur tata niaga kain ban nilon, yang setelah devaluasi September lalu harganya kini mendekati Rp 8.000 per kg. Menurut seorang eksportir, kain ban Korea, sekalipun sudah dikenai bea masuk 15%, masih jauh lebih murah dibandingkan kain ban lokal itu. Karena porsi kain ban dalam membentuk biaya produksi mencapai 20%, tingginya harga jual itu tentu menyulitkan produsen ban. Ada dugaan, Intirub menghadapi kesulitan keuangan serius gara-gara BUMN itu tak tahan menghadapi jepitan harga karet dan kain ban itu. Padahal, sudah delapan bulan, sejak devaluasi, produsen ban itu minta agar mereka yang melakukan ekspor diperbolehkan mengimpor kain ban untuk menekan biaya produksi. Tapi, tetap saja, paket 25 Oktober untuk mendorong ekspor itu macet menghadapi kuatnya lilitan kain ban lokal. "Branta Mulia janjinya mau kasih harga impor, tapi sampai sekarang tak pernah terwujud," kata seorang eksportir. Sementara itu, Intirub makin sempoyongan. Di tengah situasi seperti itu, perusahaan negara ini ternyata tak bisa menggunakan secara penuh kapasitasnya. Kesulitan itu, tentu, tak akan terjadi seandainya pada 1980 Intirub tidak menambah kapasitas pabriknya. Tapi, siapa sangka, boom penjualan mobil yang menaikkan angka penjualan ban hingga 600 ribu buah setahun antara 1980 dan 1981 itu, ternyata, kempis bagai mengiringi kempisnya pengeluaran APBN. Semua pabrik rata-rata juga menghadapi kemelesetan perkiraan itu. Karenanya tahun lalu, Gadjah Tunggal lebih suka melakukan konsolidasi -- kendati di tahun itu permintaan dari luar sudah kencang. "Baru setelah penguatan yen berlangsung terus, dan pemerintah memperkenalkan paket-paket pendorong ekspor, kami sedikit demi sedikit menambah kapasitas," kata Sjamsul. Dengan upaya seperti itu, kapasitas terpasangnya sekarang sudah 7.000 ban sehari, bila menghasilkan ban ukuran kecil-kecil dan 6.000 ban sehari, jika menghasilkan ban ukuran besar. Usaha Gadjah Tunggal membantu pemasaran Intirub, sebenarnya, secara tidak langsung juga merupakan "penambahan kapasitas produksi di luar pabrik." Bedanya, sang Gadjah tak mengeluarkan serupiah pun investasi untuk itu. Sampai kapan kerja sama pemasaran itu? "Tak ada batas waktunya," kata Sjamsul. "Tapi keduanya akan me-review hasil penjualan itu setiap tahunnya." Mudah-mudahan setelah mendapat belaian belalai Gadjah, sang Kijang tidak lantas pulas tidur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus