ADA dua buku teks yang amat populer di kalangan mahasiswa ekonomi di tahun 1950-an: Ekonomi Indonesia dan Soal Penduduk dan Pembangunan Indonesia. Yang pertama, karangan Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, adalah buku pelajaran ilmu ekonomi pertama dalam bahasa Indonesia. Sedang yang kedua adalah buah tangan Widjojo Nitisastro, yang waktu itu masih mahasiswa di FE UI, salah seorang murid Prof. Sumitro. Buku Widjojo yang ditulis bersama seorang ahli dari Kanada Prof. Dr. Nathan Keyfit itu diberi pengantar oleh Drs. Moh. Hatta dengan nada bangga: "... seorang putra Indonesia dengan pengetahuannya mengenai masalah tanah alrnya, telah dapat bekerja sama dengan ahli statistik bangsa Kanada, serta mengolah buah pemikiran yang cukup padat, dan menuangkannya dalam sebuah buku yang cukup berbobot." Tiga puluh tahun kemudian, Minggu malam lalu, di Hotel Hilton, Jakarta, bekas mahasiswa, penulis buku itu tampil bersama bekas guru besarnya lagi. Kali ini untuk menerima piagam penghargaan Hatta, dari Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia dalam ulang tahunnya ke-30. Adapun Prof. Sumitro, kini 67 tahun, cukup tersohor: ekonom, diplomat, beberapa kali menteri di bidang ekuin di masa kabinet parlementer, dan politikus yang terpaksa hidup dalam pengasingan di luar negeri, setelah ia bergabung dengan pemberontak PRRI di tahun 1957. Widjojo, yang lulus dengan pujian tinggi (cum laude) dari fakultasnya, dan tampil sebagai sarjana yang paling menonjol selama mengambil gelar doktor ekonomi di Universitas Berkeley, California, sejak Orde Baru mendapat kepercayaan sebagai "arsitek utama" perekonomian Indonesia. Sejak 1966, Widjojo, yang waktu itu berumur 39 tahun, telah jadi ketua Team Penasihat Ekonomi Presiden. Setahun kemudiah, Prof. Sumitro ikut bergabung di dalamnya setelah hidup 10 tahun di pengasingan. Dalam pidatonya Minggu malam lalu, sesaat setelah menerima Piagam Hatta, Prof. Sumitro tak lupa mengutarakan kesan pribadinya tentang Widjojo yang 10 tahun lebih muda darinya. "Sebagai kakak, saya merasa bangga mempunyai adik yang tampil sebagai arsitek Orde Baru, di mana saya ikut sebagai satria pendamping, sebagai peserta team." Sumitro sendiri, yang dalam dua Kabinet Pembangunan memegang jabatan menteri perdagangan dan menteri riset, menilai kesempatan ulang itu sebagai hal yang "jarang sekali dalam sejarah". Pada zaman Orde Baru, di saat orang lebih suka bicara soal program pembangunan ketimbang program revolusi, ekonom sekaliber Widjojo dan Sumitrolah yang memang dibutuhkan. Sebagai "arsitek utama" Orde Baru, adalah Widjojo yang sejak 1968 menjadi ketua Bappenas, kemudian merangkap sebagai menko ekuin hingga 1983. Presiden Soeharto, menurut pelbagai kalangan, memang sangat mempercayai pembantunya ini. Loyalitas dalam tim merupakan hal yang penting baginya. Dan itu pula yang agaknya membuat Widjojo dicintai oleh anak buahnya, yang masih tetap memberi laporan kepadanya, sekalipun ia tak lagi duduk sebagai menteri. Kini, sebagai penasihat pemerintah, ia masih berkantor di Bappenas, di ruangan yang sama, yang sejak dulu sampai sekarang tak berubah. Staf dan sopirnya juga masih orang yang sama. Bedanya, ia tak lagi memakai sedan Volvo hitam menteri, tapi sebuah Toyota Corona putih. Berbeda dengan Sumitro yang pandai mengatur waktu, dan masih main tenis secara teratur, Widjojo tampaknya menjalani kehidupan yang lebih "kering". Tapi ia bukan orang yang dingin, terutama kalau bicara soal pembangunan. Di bawah rambutnya yang kian menipis dan kian putih, sepasang matanya memandang dengan hangat dan antusias, seakan baru menyaksikan keramaian dunia. Di bulan Januari 1966, dalam suatu diskusi besar di kampus UI, ketika orang masih berhati-hati mengecam pemerintahan Orde Lama, adalah Widjojo yang mengutip kalimat Ekonom Paul Baran, bahwa seorang intelektual pada asasnya adalah "seorang pengkritik masyarakat", "juru bicara dari kekuatan-kekuatan progresif yang terdapat dalam tiap periode tertentu sejarah". Ia berharap agar civitas academica tak hanya jadi "penjual otak", tapi juga "penggugah hati kecil". BEBERAPA tahun setelah itu, di dalam pemerintahan Orde Baru, Widjojo tak lagi bersuara sekeras itu. Kekuasaan dan jabatan memang mau tak mau menyebabkan semangat dan kata-kata lebih terkendali. Toh dalam suatu wawancara dengan TEMPO ia pernah mengatakan keyakinannya: pembangunan ekonomi tak dengan sendirinya harus bertentangan dengan demokrasi, juga pembangunan ekonomi tak dengan sendirinya harus bertentangan dengan keadilan. "Hanya saja, demokrasi dan keadilan tidaklah berlangsung dalam suatu vakum," katanya. "Kita tak berada dalam sebuah utopia. Tak ada satu kunci yang begitu saja membukakan pintu ke masyarakat yang adil dan makmur. Hidup tidak hitam putih seperti dalam teori. Ada hal-hal yang terpaksa diterima. Ada dilema yang justru lebih berat daripada sekadar soal perekonomian." Sumitro dalam pidatonya tentang "tanggung jawab profesional seorang ekonom", juga mengingatkan agar para ekonom, "Janganlah sekali-kali menduga, apalagi menuntut, seakan-akan gagasan dan saran kebijaksanaan dengan sendirinya harus diwujudkan dalam realisasi kebijaksanaan." Sekalipun, gagasan dan saran itu mempunyai dasar yang kuat, dan sudah dites kebenarannya secara ilmiah. Dugaan demikian, kata Sumitro, hanyalah "impian", sesuatu yang "naif" dan menunjukkan suatu "keangkuhan jiwa". Adapun inti tanggung jawab profesional ekonom, menurut Sumitro, adalah: ikhtiarnya untuk ikut meletakkan dasar yang kuat berdasarkan pertimbangan yang rasional bagi keputusan kebijaksanaan. Baik itu menyangkut kebijaksanaan nasional maupun pengelolaan usaha. Suatu hal yang diakui Sumitro, "Mudah dirumuskan, tapi sering kali sulit untuk dilakukan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini