TAHUKAH Anda bahwa bola tenis buatan PT Tensindo Semarang dipakai dalam turnamen Challenger di Jakarta, pekan ini, suatu pertandingan tenis internasional -- berhadiah Rp 25 ribu dolar --peringkat ketiga, di bawah Grand Slam dan Nabisco? Bahkan sebelumnya sudah dipakai pada turnamen resmi di Australia dan Amerika? Bukan suatu kebetulan. Tapi bola tenis buatan Semarang itu memang menyandang merk beken secara internasional: Spalding. Menurut Direktur PT Tensindo, Cheng Basuki, Spalding sebenarnya merk bola tenis buatan Massachusetts, Amerika Serikat. Untuk pemasaran di kawasan Asia dan Australia dibuat di Australia. Tapi belakangan, entah kenapa, Spalding mencari pabrik lain setelah mencabut lisensinya yang dipakai salah sebuah perusahaan bola tenis di Australia. Tensindo, yang selama ini menguasai pasaran bola tenis di dalam negeri dengan merk Tens, mencoba melamar di antara delapan perusahaan Asia yang berminat sama. Termasuk RRC. Ternyata, Tensindo yang terpilih: sejak itu, 1983, Tensindo boleh memakai merk Spalding. Alasannya, di samping kualitasnya unggul, tentu paling menarik "emas kawinnya" . PT Tensindo didirikan oleh Ceng Bersaudara, lebih dari 30 tahun lalu, sebagai perusahaan yang membuat dan mengimpor kaca cermin. "Kami, dulu, sampai dijuluki importir kaca paling besar di dunia," kata Cheng, 43 tahun, putra pendiri Tensindo. Lalu masuk ke dunia elektronik dengan memproduksi radio dan peralatan listrik lainnya. Belakangan, 1982, si Raja Kaca itu mulai membuat bola tenis. "Pada tahun pertama, kami memang prihatin: Tens sulit bersaing dengan buatan luar negeri," kata Cheng. Mutunya memang di bawah standar: terlalu keras. Omsetnya naik, dari 50 ribu lusin menjadi 100 ribu lusin setahun, setelah ada perbaikan mutu. Devaluasi ternyata ikut menentukan sukses Tens. Merk lokal itu tiba-tiba saja mampu bersaing dengan eks impor. Harganya sekarang ini hanya sekitar Rp 4.000,00 per slof (tiga bola), jauh lebih murah dari harga Dunlop, misalnya, yang dijual sekitar Rp 7.000,00. Tahun ini, si Raja Kaca sudah menjadi Raja Bola Tenis, setelah berhasil menguasai 70% pasar lokal. Dalam triwulan ketiga ini Tensindo berhasil menjual 200 ribu lusin. Di luar negeri, Spalding buatan Kaligawe, Semarang, itu juga mendapat tempat. "Sudah nomor satu di Australia," kata Cheng Basuki, sambil menyebutkan bahwa penjualannya di sana mula-mula sekitar 100 ribu lusin. Tahun lalu naik lagi hingga mencapai 150 ribu lusin -- menekan Dunlop hingga pasokannya tinggal sekitar 100 ribu lusin. Spalding World Wide di AS juga sudah mengimpor dari sini. "Separuh ekspor Tensindo, 200 ribu lusin, dikirim ke Amerika," kata Cheng. Cheng optimistis bahwa Spaldingnya akan lebih merasuk lagi di negeri petenis McEnroe dan Martina Navratilova itu. Di sana Peen, Wilson, dan Dunlop masih lebih populer, sedangkan Spalding di urutan keempat. Dari segi kualitas, Spalding tidak kalah dengan yang lain, karena bahan bakunya juga sama. Juga diproses dengan mesin yang serupa. "Spalding unggul dalam harga lebih murah," kata Cheng. Industri bola tenis, menurut Cheng, dewasa ini memang mulai dipindahkan dari Eropa dan Amerika ke negara-negara di Asia. Siapa pun tahu bahwa biaya buruh di Asia jauh lebih murah. Padahal, "Ada bagian yang tidak bisa dikerjakan dengan mesin," tutur Cheng. Tensindo, kendati sudah memakai mesin modern dengan investasi sekitar 4 juta dolar, masih memakai 600 buruh. Tensindo mengekspor Spalding dengan harga 5,5 dolar atau sekitar Rp 9.000,00 per lusin prangko pembeli. Ekspornya sekitar 400 ribu lusin setahun. Heddy Lugito, Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini