TOLONG atur perjalanan saya ke Damaskus, saya mau ketemu Dubes Chalid Mawardi, pinta saya kepada Dubes A.A. Murtadho di Bagdhad. Wah, itu susah. Biar sama-sama orang Ba'ath, Hafe Assad dan Saddam Hussein tidak akur, seperti kucing dengan anjing. Hubungan diplomatik Syria-Irak putus, telepon saja tidak bisa. Sebagai tamu Irak, Anda kurang pantas pergi ke Syria. Lalu, bagaimana? Mendingan ketemu di tempat netral saja, seperti di Yordania. Maka, kami pun mengobrol-obrol di kediaman Dubes Yasni di Amman sambil menggigit kurma mengkal. Amman kota bagus berbukit, dan hari itu lagi siap-siap mengatur dibukanya lagi kantor perwakilan Lybia, yang selama ini tutup. Nun jauh di sana terbentang Tepi Barat Sungai Yordan yang ruwet tak berkeputusan, sementara truk membawa barang dagangan mondar-mandir keluar-masuk Israel. Apa betul Anda dipersiapkan jadi Ketua Umum PPP? Tanya saya kepada Chalid Mawardi. Apaan itu? Dipanggil pulang saja belum. Lagi pula, kabar itu kurang lebih suara burung belaka. Pikiran siapa itu? Katanya, usul Abdurrahman Wahid ketika ditanya Mendagri Soepardjo Rustam siapa kira-kira orang NU yang layak jadi Ketua Umum PPP. Kalau betul begitu, apa Anda terima? Bagaimana baiknya nanti saja. Sekarang lebih afdol kita makan sawarma, daging panggang yang diputar-putar seperti gasing, digigit bersama roti, dengan bumbu asinan Libanon yang tajam aromanya, kata dubes kita yang siang malam berdasi itu, sehingga tampak seperti orang yang senantiasa tercekik. Andai kata betul Anda jadi Ketua Umum PPP, apa bukan maksudnya supaya warga NU kembali mendukung partai yang sudah keropos karena digembosi itu? Kedengarannya kok jadi lucu dan tidak etis. Apa ini bukan berarti menjilat ludah kembali? Taruhlah itu cuma orang-orang NU secara pribadi, sedangkan NU sendiri tetap sebagai ormas nonpolitik tidak ke sana dan tidak ke sini. Tapi, bukankah masih juga kocak: siang hari jadi PPP, dan malam hari jadi NU? Apa bukan membingungkan orang NU kepalanya jadi dua? Bersikap ganda dan ambivalen terus-menerus pastilah kurang bagus untuk pencernaan, bisa bikin mencret. Daripada NU sekarang ini melayang-layang di luar sistem politik resmi, bagaimana kalau kembali saja jadi partai politik lagi? Apa bukan lebih baik begitu daripada tiap pemilu jadi perawan yang ditarik kian kemari oleh para kontestan? Orang tentu bisa juga bilang NU itu menjilat ludahnya kembali. Bagaimana kalau pakai kalimat yang lebih halus: NU senantiasa melakukan think and rethink. Apa yang obyektif benar diputuskan Muktamar Situbondo tahun l984 belum tentu obyektif benar untuk selama-lamanya? Bukankah mobilitas masyarakat perlu diperhitungkan? Bukankah status qo sesuatu yang tidak permanen? Bilamana kondisi obyektif berubah, bukankah boleh-boleh saja NU sendiri melakukan perubahan terhadap pendapatnya sendiri yang pernah dikeluarkan? Bukankah di bidang hukum ada qaul qodim dan qaul jadid ? Apa bukan begitu itu yang namanya dinamis? Masalahnya tidak segampang itu memang benar. Sebab, sistem politik yang berlaku sekarang dikukuhkan oleh MPR, dan undang-undang cuma mengenal tiga kekuatan politik. Selama undang-undang ini belum direvisi, sistem itulah yang berlaku. Sampai seberapa jauhkah sistem ini dipertahankan tentu tergantung pula dari dinamisme masyarakat serta pandangan jauh kenegarawanan. Bilamana sistem politik ini akan dimodifikasi, tentu harus pula bermula dari penyempurnaan perundang-undangan yang ada. Memang bukan persoalan gampang, tapi sekaligus juga bukan masalah yang mustahil. Dalam suatu masyarakat yang senantiasa berkembang, tidak ada yang namanya mustahil. Bukankah negeri ini sudah berulang kali mengalami penyempurnaan sistem politik yang tunduk pada perkembangan dinamisasi masyarakat? Bukankah pernah ada pikiran multipartai, pernah ada pikiran satu partai, pernah ada pikiran dwipartai, dan akhirnya sistem sekarang? Apa pikiran NU kembali jadi partai itu suatu penyimpangan mendasar dari Khittah 1926? Tidak perlu begitu. Taruhlah sekadar "Khittah plus". Toh asal mula khittah tak lebih dan tak kurang dari kekecewaan terhadap pimpinan NU periode sebelum Muktamar Situbondo, yang dianggap mengabaikan urusan pendidikan dan sosial, ditambah dengan rasa sakit hati terhadap perlakuan PPP. Berarti bukan karena berpartai politik itu barang "haram", melainkan karena saat berpartai politik itu NU kurang memperhatikan tugas pokoknya. Kalau tugas pokok itu diperhatikan, apakah berpartai politik itu tidak boleh juga? Ini masalah yang masih bisa dibicarakan, atau masalah "aktualisasi khittah pascapemilu", seperti istilah K.H. Sahal Mahfudh. Bagaimana pendapat Abdurrahman Wahid, tanya Dubes Chalid Mawardi. Oh, dia itu 'kan intelektuil, dia itu 'kan pemikir serta modernis, dia itu mesti siap dengan tiap perkembangan. Jika intelektuil mandek, berarti dia bukan intelektuil sungguhan, dia itu penduduk biasa saja. Pembicaraan ini terputus. karena saya pikir mendingan mandi di Laut Mati yang berkadar garam amat tinggi, seperti dilakukan Cleopatra tempo hari. Akibat kadar garam yang luar biasa itu, seorang yang tak bisa berenang pun bisa mengambang seperti gabus. Dan sambil berenang, bisa lihat Israel di seberang sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini