Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berpikir besar

7 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA terselenggara demonstrasi pesawat terbang tempur F-16, melihat bara menyala di ekor pesawat, ada yang nyeletuk, "Wah, kalau ditaruh singkong atau jagung di situ pasti bisa langsung matang, ya?" Saya jadi teringat seorang teman yang ketika kecil naik ke kapal perang KRI Irian yang pada masa itu sangat dibanggakan. Begitu kagum ia akan besarnya kapal perang itu, lalu bertanya kepada seorang pelaut di situ, "Pak, ini kapal kalau dibikin wajan bisa jadi berapa, ya?" Jawabnya? Teman itu jadi tujuh keliling karena kena tempeleng. Saya jadi berpikir, betapa seringnya kita jadi sial karena terlalu sederhana atau naif berpikir. Kesederhanaan berpikir memang, sering kali diperlukan, untuk maksud-maksud tertentu. Banyak pula pikiran besar yang baru bisa dibuat operasional setelah ia terlebih dahulu disederhanakan. Negara kita ini, contohnya hadir karena dahulu ada pikiran besar untuk berbangsa dan bernegara sendiri. Tanpa pikiran besar, banyak hal yang tak jadi eksis di muka bumi ini. Itu bukan berarti bahwa tak ada tempat bagi pikiran-pikiran kecil dan sederhana. Dua Kiat berjudul "Low Tech" telah cukup menjelaskan bahwa semua yang sulit itu sebenarnya bisa dibuat sederhana. Di sebuah restoran di America Club, teman saya membujuk saya memesan bistik yang katanya sangat istimewa di tempat itu. Saya mengatakan bahwa saya selalu menghindarkan bistik karena ukurannya yang terlalu besar. David, teman saya itu, lalu memesan bistik queen cut -- irisannya tak terlalu besar. Bistik queen cut itu toh masih terlalu besar untuk seorang ratu yang menjaga garis pinggangnya. Saya lalu menceritakan kebiasaan "buruk" seperti ini yang juga terjadi di warung padang kita. Setiap saya memesan nasi bungkus dengan setengah porsi nasi, tetap saja nasinya masih terlalu banyak hingga terpaksa tersisa. Dan saya paling tak suka budaya kesia-siaan seperti itu. Sambil makan, obrolan kami lalu mengarah kepada betapa besarnya pemborosan yang dilakukan bangsa Amerika. Anda pernah lihat permen loli di Disneyland yang garis tengahnya 15 sentimeter? Anda bisa menghabiskan es krim banana split yang es krimnya tiga scoops? Anda akan kekenyangan sesudah makan hamburger Big Mac yang dua lapis itu,"kan? Minum soda pun tak puas kalau bukan yang gelasnya paling besar. Porsi-porsi Amerika memang selalu besar. "Dan porsi-porsi besar itu akhirnya masuk ke tempat sampah." Dapur-dapur orang Amerika pun menunjukkan tingkat pembuangan yang tinggi. Bila salah memecah telur sehingga sebagian kulit ikut masuk dalam telur, orang Amerika tidak berusaha membuangi pecahan-pecahan kulit itu, tetapi membuang telurnya ke tempat sampah. Lihat saja ukuran lemari esnya yang besar, karena mereka ingin menyimpan semuanya di sana. Akibatnya, beban listrik tinggi. Lihat pula kesukaan mereka akan mobil-mobil besar karena lebih enak dikendarai di jalan bebas hambatan. Akibatnya, bahan bakar lebih banyak terbuang. "Tetapi," kata David buru-buru, "agaknya justru sikap itulah yang membuat ekonomi mereka berputar. Karena tingkat konsumsi yang tinggi, dengan sendirinya tingkat produksinya pun tinggi." Dan ini memang tidak untuk ditiru. Teori pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development) yang didengungkan Pak Emil Salim tidak akan berjalan pada masyarakat yang tingkat pemborosannya tinggi. Kalau melihat New York Times edisi hari Minggu dengan seluruh lampirannya yang bisa mencapai berat empat kilogram tiap eksemplar, dapatlah dibayangkan sudah berapa banyak pohon yang ditebang. Tetapi, diam-diam, kita juga mengharapkan agar mereka lebih banyak membeli energi dari kita untuk menolong pemasukan devisa. Kita juga memanfaatkan tingkat konsumsi konsumen Amerika yang kompulsif dan impulsif itu untuk mengkspor berbagai mata dagangan kita. Sering, bila saya sedang termangu di depan televisi Amerika, saya membayangkan berapa juta dollar yang telah dibayar suatu perusahaan untuk mengiklankan satu produknya saja. Lantas saya berpikir: itulah barangkali bagian dari berpikir besar itu. Karena mereka yakin produknya baik dan masyarakat dapat ditumbuhkan minatnya untuk membeli produk itu, maka cara yang terbaik memang mengeluarkan biaya untuk membangkitkan kesadaran akan produk itu melalui iklan. Tentu saja mereka memproyeksikan bahwa akan jutaan unit produknya yang dapat diserap pasar sebelum mereka menganggarkan jutaan dollar untuk iklannya. Seandainya mereka hanya berpikir kecil, produksi masal dan pemasaran masal memang tak akan pernah ada. Tinggal lagi bagaimana menyiasati pikiran besar itu agar kita semua dapat bertanggung jawab kepada masyarakat yang tidak boros, tidak hambur, dan tidak sia-sia dalam berkonsumsi. Bondan Winarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus