Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sri Mulyani Indrawati: Reformasi Bukan Sebatas Gaji

20 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah kerja besar sedang digarap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Dari markasnya di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, doktor ilmu ekonomi dari University of Illinois Urbana-Champaign, Amerika Serikat, ini tengah menggelar program reformasi birokrasi Departemen Keuangan, yang dirintisnya sejak ia dilantik menjadi Menteri Keuangan pada 7 Desember 2005.

Dari hasil perbincangannya dengan Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew, mantan Kepala Bappenas ini menggagas perlunya pembentukan Komite Remunerasi Nasional, sebagai bagian dari upaya pembenahan gaji birokrasi di Indonesia. Dia memulainya dari dua direktorat jenderal yang selama ini menjadi sorotan publik, yakni Direktorat Jenderal Pajak serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Menteri Sri Mulyani tak segan melakukan ”tebang habis” untuk membersihkan citra kedua lembaga itu.

Meski pekerjaan besar itu amat menguras tenaga dan pikirannya, penyandang gelar menteri keuangan terbaik di Asia dari Emerging Market Forum dan The Finance Minister of The Year in The World 2006 versi Euromoney ini tak kehilangan stamina. Wawancara satu setengah jam dengan tim Tempo, Selasa lalu, di kantornya berlangsung hingga 22.30.

Bagaimana ide awal reformasi birokrasi?

Sebetulnya ini bukan ide baru. Pemerintah hanya menjalankan mandat seperti tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009. Reformasi birokrasi ada di dalamnya.

Bagaimana reformasi birokrasi di Departemen Keuangan?

Di pajak, misalnya, mulai diberlakukan sejak 2002 lewat large tax office (LTO). Saya hanya meneruskan apa yang dilakukan Pak Boediono (saat itu Menteri Keuangan, kini Menteri Koordinator Perekonomian).

Hasilnya?

Bisa dibilang sukses, memberikan inspirasi bahwa kita semua dapat membuat island of integrity. Kalau kita tidak bisa menyelesaikan semuanya, kita bisa mulai dengan membuat pulau-pulau kecil tadi. Hal yang sama dilakukan untuk Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara.

Bagaimana pelaksanaannya?

Sewaktu membuat LTO, karyawan disaring. Katakanlah dari 4.000 orang, kami hanya menerima 300 orang. Bea dan Cukai juga begitu. Dari 12 ribu orang, saya melakukan screening hanya untuk mendapatkan 600 orang. Saya memang tidak bisa menjamin semuanya akan berjalan baik pascareformasi.

Pembenahan di Tanjung Priok?

Saya masukkan 800 orang baru di sana. Jangan lupa, kami tidak selalu disambut gembira. Bea dan Cukai bukan pahlawan, malah menjadi musuh bersama.

Departemen Keuangan menjadi prioritas reformasi birokrasi?

Untuk menyebutkan Departemen Keuangan menjadi prioritas atau tidak, bukan saya yang berhak. Tapi, yang jelas, pada dua bulan pertama saya menjadi Menteri Keuangan, terdapat surat yang tidak pernah bisa saya pahami. Isinya adalah permintaan rekomendasi untuk memberikan nasihat kepada Presiden mengenai skema gaji dari berbagai institusi ad hoc, seperti komisi perlindungan anak dan lembaga yudisial. Ini susah karena tidak ada aturan penetapan gaji yang jelas. Semuanya hanya berdasarkan asas kepantasan.

Lantas?

Saya menghadap Presiden dan membicarakan soal ini. Akhirnya Presiden menyuruh saya membenahi. Dan itu tidak mudah lho, karena saya harus membanding-bandingkan gaji di semua institusi. Akhirnya muncullah metodologi bahwa ternyata soal gaji itu hanya ujungnya. Yang penting, harus diketahui dulu lingkup pekerjaannya apa, klasifikasi, dan tingkat risikonya, baru kemudian bisa ditentukan tingkat gajinya.

Bagaimana komposisi kualitas pegawai Departemen Keuangan?

Yang A (terbagus) itu tidak lebih dari 5 persen. Kalau yang B (bekerja baik) sekitar 25 persen. Yang C (pas-pasan) sekitar 30 persen. Sisanya, ya, yang tidak bagus.

Jumlah pegawai 62 ribu terlalu banyakkah?

Kurang tetapi juga kebanyakan. Di satu sisi, banyak pegawai yang kemampuannya perlu ditingkatkan. Tapi, di sisi lain, dari kebutuhan 12 ribu auditor pajak, saya cuma punya 2.000. Saya sampai minta ke Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

Apakah yang tak bermutu akan dipensiunkan dini?

Jika dirasakan over employee, kami cek dulu apa sebabnya. Yang tidak berkualitas, dilihat apakah bisa dididik lagi atau tidak. Karena itu kami mendesain paket pelatihan. Nanti akan ada juga KPI (key performance indicator). Jika orang ini sampai pada satu titik terendah, ya, wassalam.

Apakah Departemen Keuangan dijadikan proyek percontohan untuk reformasi birokrasi?

Pada waktu saya pertama kali mendekati Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) dan bertanya adakah suatu rencana reformasi, ternyata memang sudah ada Keputusan Menteri Pendayagunaan tentang reformasi. Sudah komplet dan saya tinggal mempelajari cetak birunya. Masalahnya, selama ini tak ada yang mau memulai.

Benarkah ada lembaga donor asing yang ingin ikut mendanai reformasi di kejaksaan?

Pihak luar negeri melihat positif bahwa kita sudah demokratis. Tapi mereka frustrasi karena sistem peradilan tak jalan. Karena itu banyak negara donor ingin ikut mereformasi lembaga peradilan di Indonesia.

Jadi, tidak ada dirigen besar atau cetak biru di balik reformasi ini?

Mungkin tidak. Mereka jalan sendiri-sendiri meski akhirnya dikoordinasikan Menteri PAN. Menteri di tiap departemen seharusnya memang menjadi manajer untuk reformasi di instansinya.

Soal masih banyaknya pejabat eselon satu Departemen Keuangan yang jadi komisaris?

Itu masuk prioritas yang akan saya benahi, karena kita bicara tentang fairness. Saya sudah bicara dengan Menteri Negara BUMN agar tidak terjadi distorsi jika komisaris ditarik. Jabatan komisaris itu penting, bukan untuk dibagi-bagikan. Sekarang sedang di-review, mereka menjabat untuk apa. Yang tak perlu, ya, ditarik.

Apakah pada 2009 reformasi sudah harus selesai?

Reformasi akan berkembang terus. Yang ingin saya capai pada 2009 adalah kami sudah memperkenalkan organisasi yang baru dan memberikan manfaat reformasi yang global.

Apa prioritas yang ingin dicapai?

Pertama-tama membangun kultur birokrasi yang profesional. Artinya, punya birokrat yang kompeten dan dibayar cukup. Dari sisi gaji, saya melihat pasar. Misalnya saya punya Dirjen Bea dan Cukai. Akan diperbandingkan dengan kompetitornya, seperti konsultan bea cukai. Berapa dia dibayar. Kompetensi mereka bisa jadi sama, tapi dalam lingkup pekerjaan, orang saya kan lebih berat karena punya tanggung jawab.

Target lainnya?

Meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada kami. Kami pun akan membuat assessment center, yang mampu melihat seluruh sumber daya manusia di Departemen Keuangan sebagai aset. Mereka harus tahu road map untuk mutasi, jangan sekadar menebak-nebak. Jika seseorang bekerja bagus, reward-nya pun jelas.

Soal rencana kenaikan gaji....

Saya keberatan kalau reformasi ini hanya dilihat dari satu bagian, yakni soal gaji. Saya khawatir, jika dibawa ke situ, orang salah persepsi. Karena, seperti telah saya sebutkan, yang lebih penting justru prosesnya. Gaji itu hanya hasil akhirnya.

Pengalaman Anda sebelumnya di Bappenas?

Ada 900 pegawai di Bappenas. Banyak yang doktor. Saya tanya gajinya berapa. Mendengarnya, saya hampir tertawa tapi juga menangis. Di Bappenas saya sudah coba melakukan rasionalisasi. Saya termasuk orang yang percaya bahwa saya bisa mendapatkan karyawan normal jika ditopang sistem yang normal pula.

Seperti apa perubahan sistem remunerasi yang akan dilakukan?

Penetapannya akan dilakukan dengan berbasis pada kinerja. Kami di Departemen Keuangan melakukannya dengan penuh kalkulasi. Yang membuat saya optimistis, berbagai macam tunjangan bagi pegawai negeri itu sebetulnya cukup dan tidak jelek-jelek amat. Cuma sistem pemberiannya selama ini mirip sopir taksi, yang dibayar tiap kali selesai mengangkut penumpang. Menurut saya, ini agak menghina.

Bagaimana perubahannya?

Timbul ide untuk menyimpan seluruh tunjangan tadi dan membuatnya dalam bentuk pendapatan yang lebih pasti. Jadi, nanti tidak perlu memakai sistem honor lagi. Berbagai tim pun harus hilang. Jadi, kalau saya membayar gaji karyawan, tidak lagi seperti sopir taksi.

Remunerasi menambah beban APBN?

Kami tidak menambah beban anggaran baru. Kami efisienkan anggaran di Departemen Keuangan. Dana untuk tim proyek-proyek tidak ada lagi. Jangan lupa, anggaran departemen kami hanya Rp 10 triliun. Bandingkan dengan Departemen Pekerjaan Umum yang Rp 34 triliun.

Seberapa tinggi kenaikan tunjangan yang akan diberikan?

Saya belum tahu, masih dihitung. Tetapi saya punya analogi, orang yang kerja di birokrasi biasanya tidak murni mengejar uang. Ada kebanggaan bekerja untuk publik atau mengabdi, meski sebagian orang mungkin melihat ini sudah kuno.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus