BARU 11 bulan menduduki jabatan direktur utama PT Pelni, Sudharno Mustafa terpaksa melakukan serentetan tindakan kurang populer. Besarnya beban yang harus ditanggung badan usaha milik negara itu telah mendorong dia untuk, secara bergelombang, mengurangi pegawai. Sejak Maret 1983 sampai pertengahan Januari lalu, sudah 3.772 pegawai, yang sebagian besar merupakan pekerja darat, diberhentikan. "Demi kepentingan umum dan perusahaan tindakan kurang populer itu terpaksa kami tempuh," kata Sudharno, awal pekan ini. Direksi perusahaan pelayaran nusantara itu juga telah menciutkan jumlah cabang, dari 109 jadi 86 buah. Pegawainya pun ikut diringkas. Jadi, untuk kota seperti Samarinda cukup empat pegawai. Sudharno menganggap "tidak realistis" menempatkan 24 pegawai di kota yang tiap bulan hanya menyumbang pendapatan Rp 20 juta itu, tapi memerlukan biaya Rp 50 juta. Peringkasan juga dilakukan terhadap jumlah subcabang yang semula 86 jadi 42 buah. Jadi, subcabang di Maumere (Flores), Kalabahi (Alor), dan Agats (Irian Jaya) "supaya lebih efisien, cukup diduduki satu orang," katanya. Dengan serangkaian tindakan efisiensi tadi, pada 1983 lalu, Pelni bisa menghemat pengeluaran Rp 3 milyar. Kebutuhan modal kerja pun, yang pada tahun lalu banyak dihabiskan untuk menggaji pegawai, bisa ditekan. Kini dengan 3.699 pegawai - yang lebih dari separuhnya merupakan pekerja laut sebagian besar kebutuhan modal kerjanya yang tiap bulan mendekati Rp 5,2 milyar bisa disalurkan untuk menunjang operasi perusahaan. "Kalau kami tidak punya tekad kuat dalam melakukan pengurangan pegawai, kami akan patah di tengah jalan karena rasa kasihan," ujar Sudharno. Usaha penyehatan juga dilakukan dengan mengeluarkan kapal-kapal tua, yang sudah berusia di atas 25 tahun dan habis masa penyusutannya. Secara bertahap, 44 kapal, dengan bobot mati total 77 ribu ton, akan dikurangi hingga, pada akhir 1985, armadanya tinggal 22 kapal saja - yang usianya rata-rata di bawah 10 tahun. Dengan kekuatan armada dan jumlah pegawai sebesar itu, direksi Pelni baru bisa berharap mencapai titik impas sekitar tiga tahun lagi. Tahun lalu, perusahaan ini bisa menekan kerugian jadi Rp 3,7 milyar dari perkiraan semula Rp 5,2 milyar. Tapi nilai kerugian itu tidak termasuk Kerinci, yang pembukuannya dipisahkan. Kapal motor itu, yang menjalani trayek Padang-Jakarta- Ujungpandang, setiap kali bertolak selalu saja kekurangan penumpang kelas. Hanya ruangan kelas ekonomi saja (dek), yang karcisnya dijual Rp 30.500 per orang untuk pelayaran Jakarta-Ujungpandang, misalnya, yang selalu penuh memuat 500 penumpang. Kapal bikinan galangan Jerman Barat itu, yang dalam setiap pelayaran membutuhkan biaya operasi Rp 9 juta, terus saja merugi. Berapa besar kerugiannya, Sudharno enggan mengung-kapkannya. Dia sendiri kelihatan cukup risau menghadapi rencana masuknya Kambuna - sekelas Kerinci - Februari mendatang. Situasi di pelayaran nusantara sendiri harihari ini cukup berat. Permintaan angkutan barang tahun ini, seperti juga tahun lalu, diperkirakan hanya akan berjumlah 300 ribu ton, sementara suplai ruangan kapal mencapai 370 ribu ton. Kelebihan suplai ruangan memang hampir terjadi di hampir semua rute. Trayek Jakarta-Medan, yang semula merupakan jalur gemuk, misalnya, kini diduga dilayari tak kurang oleh 25 kapal. Padahal, idealnya, trayek itu hanya bisa dilayari 12 kapal saja. Akibatnya, di tengah kelebihan suplai ruangan itu, pelbagai perusahaan pelayaran berlomba memberikan potongan harga untuk mencari muatan barang. Kendati sudah ada persaingan mati-matian, tingkat pengisian ruangan palka kapal-kapal Pelni toh rata-rata hanya 27 %. Melihat kenyataan itu, Sudharno menyarankan agar kapal-kapal tua, yang sudah habis masa penyusutannya, dibesi-tuakan dan pemerintah mengatur kembali penempatan kapal pada sejumlah trayek. "Jika tindakan itu tak dilakukan, sukar bagi perusahaan nusantara tumbuh baik," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini