Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Start-Up Lokal Ekspansi Internasional

Sejumlah perusahaan rintisan melebarkan sayap ke luar negeri. Pasar Asia Tenggara masih menganga.

14 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LANGKAH ekspansi Investree ke luar negeri akan terwujud tak lama lagi. Hari-hari ini, perusahaan rintisan di bidang teknologi finansial tersebut tengah merampungkan konsep kerja sama dengan sebuah bank di Bangkok. Cash management bank tersebut akan menjadi penampung dana (escrow) untuk ekspansi Investree ke Negeri Gajah Putih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah bank siap, tahap selanjutnya adalah menghubungkannya dengan sistem yang telah ada. "Sistem teknologi informasi menyesuaikan dengan kesiapan bank, mengkoneksikan house-to-house dengan sistem kami," kata co-founder dan CEO PT Investree Radhika Jaya, Adrian Gunadi, Rabu pekan lalu. Adrian menargetkan proses finalisasi dengan bank dan sinkronisasi sistem rampung pada akhir tahun ini. Dengan demikian, operasi perusahaan start-up financial technology (fintech) itu di Bangkok bisa diresmikan pada awal tahun depan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investree hanya satu dari sejumlah perusahaan start-up yang aktif melebarkan pangsa pasar ke luar negeri. Belum lama ini, mulai awal Agustus lalu, Go-Jek beroperasi di Ho Chi Minh, Vietnam. Langkah Go-Jek menyusul Investree, yang lebih dulu masuk ke Vietnam pada awal tahun ini. Peresmian Go-Vietversi Go-Jek di Vietnamdi Hanoi, Rabu pekan lalu, dihadiri Presiden Joko Widodo di sela acara World Economic Forum.

Jokowi memberikan acungan dua jempol kepada unicorn penyedia jasa layanan transportasi yang sukses menembus pasar Vietnam itu. Ia berharap Go-Jek akan terus memperluas pasar, seperti ke Thailand dan Filipina.

Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, pemerintah mendukung perusahaan rintisan Indonesia yang go regional dan go global. Menurut dia, di dunia digital, Indonesia bisa sejajar dengan negara maju. "Ini menunjukkan bahwa perusahaan digital Indonesia tidak hanya jago kandang," ucapnya.

Adrian menambahkan, rencana ekspansi ke luar negeri telah dirancang sejak Investree didirikan tiga tahun lalu. Salah satu target perusahaan yang menawarkan pinjaman peer-to-peer ini adalah menjadi pemimpin pasar di tingkat regional.

Kebetulan para pendiri perusahaan tersebut mantan bankir yang telah berpengalaman menangani pasar domestik dan regional. Adrian, misalnya, memulai karier profesionalnya sebagai management trainee di Citibank. Ia pernah mengelola Standard Chartered Saadiqbank islami Standard Chartereddi Dubai, Uni Emirat Arab. Ia juga pernah memimpin bisnis usaha syariah Bank Permata, kemudian menjabat Managing Director Retail Banking Bank Muamalat. "Kami melihat potensi pasar Asia Tenggara masih sangat besar," ujarnya.

Pengalaman itulah yang menjadi acuannya dalam menjalankan Investree. Menurut dia, bisnis jasa keuangan yang dikelolanya secara prinsip berkaitan dengan pinjam-meminjam, manajemen risiko, teknologi informasi, dan infrastruktur. Apalagi produk yang ditawarkan bersifat universal sehingga bisa diterima di mana pun. Misalnya produk modal kerja berbasis tagihan (invoice) atau modal kerja bagi para penjual di lapak online.

Perusahaan lain, Traveloka, yang berdiri sejak 2012, telah menembus Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Ekspansi pasar dilakukan secara bertahap pada 2015-2016. "Asia Tenggara adalah pasar dengan pertumbuhan tinggi dan berkembang pesat," kata Yady Guitana, Head of International Expansion Traveloka. Populasi penduduk di kawasan ini, yakni sekitar 573 juta jiwa, dengan pengguna Internet sebanyak 349 juta orang, adalah ceruk bisnis.

Yady mengungkapkan, setiap negara memiliki karakter yang unik dan beragam. Namun, berdasarkan penelitian, ada satu kesamaan, yakni pelanggan ingin mengakses kebutuhan mereka dengan mudah dan praktis. "Dan kami harus dapat menjawab setiap kebutuhan dengan pendekatan yang tailor-made," tuturnya.

Masyarakat Thailand, misalnya, lebih senang melakukan pembayaran melalui toko serba ada ketimbang metode lain. Sedangkan di Filipina banyak pelanggan yang nyaman membayar melalui pegadaian. Karena itu, kata Yady, platform yang dikenal menawarkan produk-produk perjalanan dan gaya hidup ini memberi sejumlah pilihan cara membayar dalam bertransaksi.

Thailand merupakan pasar terbesar kedua bagi Traveloka, setelah Indonesia. Tiga tahun berbaur dengan warga Thailand, aplikasi tersebut kini populer. Bahkan publik setempat menganggapnya sebagai perusahaan lokal. Menurut Yady, penyebabnya antara lain nama Traveloka berasal dari bahasa Sanskerta, yang berkembang di negeri ini. Di setiap negara tujuan, Traveloka mempunyai kantor representatif dengan entitas lokal sebagai komitmen terhadap ekonomi dan industri negara tersebut.

Investree juga membuka kantor perwakilan di Bangkok. Tapi, berbeda dengan aksi korporasi di Vietnam, yang lebih berperan sebagai penyedia teknologi, di Thailand, perusahaan ini menggandeng kalangan profesional berpengalaman, yakni bekas bankir, sebagai mitra lokal. Mereka digaet karena memiliki relasi dengan sejumlah grup atau konglomerasi di sana. Investree membidik para pengusaha kecil-menengah yang berada di rantai bisnis grup-grup besar, antara lain pemasok dan distributor. "Seperti di sini, kami berfokus pada pelaku industri yang mendukung Astra atau Sampoerna, misalnya," kata Adrian Gunadi.

Platform jasa keuangan ini juga merekrut bekas Gubernur Bank of Thailand sebagai salah satu penasihat senior. Dengan jaringan yang dimiliki mantan pejabat itu, Investree bisa berkomunikasi dengan regulator mengenai aturan main industri teknologi finansial yang akan diterapkan. Saat ini pemerintah setempat tengah memfinalkan draf peraturan mengenai fintech.

Tim Investree lebih berperan sebagai pengawas di jajaran komisaris. Beberapa kursi direktur juga akan diisi Investree karena perusahaan menjadi pengendali dengan kepemilikan lebih dari 50 persen. Investree menyiapkan modal awal dua-tiga kali lipat dari yang telah dikeluarkan di Vietnam, yang sekitar US$ 100 ribu (lebih dari Rp 1,4 miliar) ketika itu.

Perusahaan telah mendapat pendanaan seri B, Juli lalu, dari beberapa investor yang dipimpin SBI HoldingStrategic Business Innovator Groupgrup perusahaan jasa keuangan yang berbasis di Tokyo. Penyuntik modal lain adalah Mandiri Capital Indonesia, Persada Capital, Endeavor Catalyst, 9F Fintech Holdings Group, dan Kejora Ventures. Tak disebutkan total dana yang diperoleh. Biasanya pendanaan seri B mencapai US$ 5-20 juta. "Sebagian dana dipakai untuk ekspansi ke Thailand, modal kerja awal, menyiapkan sistem, dan rekrutmen," tutur Adrian. Ia memastikan sistem teknologi informasi akan dikendalikan dari Jakarta.

Adapun sebagian besar dana akan digunakan untuk membiayai perluasan bisnis di Indonesia. Targetnya, lima tahun ke depan, bisnis Investree akan lebih dominan di Indonesia, yakni sekitar 80 persen. "Pasar Indonesia paling besar di Asia Tenggara."

Investree akan memperdalam kerja sama dengan Bukalapak dan Tokopedia dengan membiayai para pelapak online. Syaratnya: sudah berjualan minimal satu tahun. Investree menawarkan pinjaman hingga Rp 2 miliar. Tapi realisasinya hanya sekitar Rp 40 juta.

Sejumlah perusahaan rintisan lain juga disebut-sebut bakal melebarkan sayap ke luar negeri. Salah satunya Warunk Upnormal, yang kabarnya akan menjajal pasar Singapura. Tapi Kepala Bagian Promosi Upnormal Sarita Sutedja belum bersedia membeberkan rencana ekspansi tersebut. Ia hanya mengatakan target menembus negeri tetangga mundur menjadi tahun depan. "Agar persiapan lebih matang," ujarnya, singkat.

Investree percaya diri memasuki Thailand. Sebab, inklusi keuangan masih terbatas di sana. Menurut Adrian Gunadi, pengusaha kecil-menengah yang bisa mengakses perbankan hanya 40-50 persen. "Kita lihat potensi dan peluangnya ada," katanya. Angka itu sedikit di atas Indonesia, yang hanya sekitar 30 persen.

Perusahaan juga optimistis karena mendapat respons positif dari beberapa pebisnis kecil-menengah yang memiliki lapak online. Investree berkomunikasi dengan mereka pada Juni lalu. Perusahaan itu disambut hangat karena belum ada pembiayaan untuk pedagang online. "Apa yang kami lakukan di sini akan direplikasi di sana," ucap Adrian. "Hanya mitranya yang berbeda."

Meski regulasi mengenai teknologi finansial dan peminjaman peer-to-peer belum terbit di Thailand, Investree tidak ragu. Alasannya, draf aturan tengah difinalisasi. Adrian yakin industri ini akan didukung pemerintah setempat. Karena itu, perusahaan berani memberikan komitmen modal mayoritas dan menyediakan kantor perwakilan.

Nama platform yang akan digunakan adalah Investree Thailand. Di Vietnam, Investree menggunakan nama eLoan untuk mengantisipasi risiko terhadap reputasi mengingat aturan yang belum jelas. "Sama seperti di sini. Jalan dulu meski regulasi belum final. Bila tidak, kesempatan hilang," kata Adrian.

Karena itu, proses pemilihan cash management bank jalan terus. Keberadaan bank ini diperlukan karena penyedia platform tidak boleh memegang dana. Sesuai dengan ketentuan, bank akan mengatur pemberi pinjaman, peminjam, dan perputaran dana. Adapun Investree, selain membangun sistem, menilai para calon peminjam. "Kami akan membuat sistem scoring, sama seperti yang dilakukan di Indonesia," ujar Adrian. Tapi sistem penilaian ini akan disesuaikan dengan profil usaha kecil-menengah di sana.

Retno Sulistyowati, Putri Adityowati, Khairul Anam

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus