Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Beras Premium Varietas Japonicum

Petani Lamongan mengembangkan padi asal Jepang. Harganya tiga kali lipat beras premium lokal.

14 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DELAPAN belas pasang burung hantu dilepas di area pertanian seluas seratusan hektare. Di Desa Besur, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, itu, para petani membuatkan mereka kandang, yang tersebar di sejumlah pematang sawah. Dua pekan lalu, burung-burung itu bebas terbang, tanpa rantai atau tali pengikat apa pun, tapi mereka selalu kembali ke kandang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Petani Desa Besur memelihara burung-burung tersebut untuk memburu hama perusak padi, seperti tikus. Di sekitar pematang juga ditanami refugia, bunga berwarna-warni yang menjadi habitat hewan pemangsa wereng dan hama padi lain. Prinsip pertanian berkualitas, tanpa pestisida dan pupuk kimia, diterapkan di lahan tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di area itulah petani membudidayakan varietas padi asal Jepang, Japonicum Koshihikari. "Petani ingin menanam padi jenis ini karena harga jualnya mahal," kata Kepala Desa Besur, Haris Suhud, dua pekan lalu.

Padi Japonicum Koshihikari mendadak ngetop setelah acara "Panen Tanaman Sehat" di Desa Jugo, Kecamatan Sekaran, awal Agustus lalu. Dalam pameran itu, seorang pedagang menawar beras Japonicum Rp 37 ribu per kilogram. Angka itu jauh di atas harga beras premium, seperti varietas Pandanwangi dan Rojolele, yang hanya Rp 13 ribu per kilogram. Dalam bentuk gabah, Japonicum dilepas dengan harga Rp 8.500 per kilogram, lebih mahal ketimbang harga gabah varietas lokal yang sekitar Rp 4.500.

Pada musim tanam pertengahan Agustus lalu, 75 kilogram bibit Japonicum disemai di 3 hektare sawah di Desa Besur. Benih yang tersedia masih terbatas meski harganya tidak terlalu mahal, yakni Rp 15 ribu per kilogram. Petani memperolehnya dari bagian Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman Dinas Pertanian Jawa Timur. Varietas ini juga dikembangkan di dua daerah lain, yakni Desa Siser, Kecamatan Laren; dan Desa Brondong, Kecamatan Brondong.

Awalnya petani Desa Besur mencoba menanam padi asal Negeri Sakura itu pada April lalu. Sebanyak 40 kilogram benih dikembangkan di 1 hektare sawah milik beberapa anggota Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Besur. Pada panen pertama, akhir Juli, dihasilkan 3,6 ton gabah. "Uji coba pertama belum memenuhi harapan," ujar Ketua Gapoktan Desa Besur, Mohammad Tobroni.

Petani membandingkannya dengan varietas lokal, Ciherang dan C-4 misalnya, yang bisa menghasilkan 7,8-9 ton gabah per hektare. Tapi, belakangan, mereka kaget begitu mengetahui harga beras Japonicum mencapai tiga kali lipat beras premium lokal.

Benih Japonicum diperkenalkan oleh Khamim Asyari di Desa Besur. Khamim adalah guru Sekolah Lapang Pertanian di Kecamatan Sekaran, Brondong, dan Laren di Lamongan. Dialah yang mengajari para petani cara bertanam yang sehat. Pria 48 tahun ini memperoleh bibit tersebut dari pengurus Gerakan Petani Muda Nusantara Jawa Timur di Surabaya secara gratis untuk diuji coba di Lamongan.

Desa Besur dipilih sebagai lokasi uji coba. Di desa ini, program Sekolah Lapang Pertanian telah berjalan sejak awal 2017. Program ini mengajarkan sistem pertanian sehat, seperti meninggalkan pupuk kimia dan menggantinya dengan pupuk kandang serta tidak menyemprot tanaman dengan pestisida. Sistem itu telah diterapkan di 105 hektare sawah.

Khamim Asyari optimistis Japonicum punya banyak kelebihan. Selain pulen, nasi yang dihasilkan berwarna putih cenderung bening. Umur penanamannya relatif lebih cepat, sekitar 105 hari panen. Pada tegakan tanaman terdapat daun padi seperti bendera ke atas, yang tidak disukai burung. Masalahnya, padi Japonicum disukai tikus. "Makanya kami pelihara burung hantu," ujar Khamim, yang didapuk sebagai penyuluh teladan tingkat nasional bidang tanaman pangan pada 2012 dan 2013.

Untuk musim tanam kedua ini, pesanan sudah datang dari sejumlah dosen Universitas Brawijaya, Malang; dan perguruan tinggi di Surabaya. Beberapa pengusaha Jawa Timur juga telah memesan bibit Japonicum.

Sujatmiko (Lamongan)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus