Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Belakangan fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) di perusahaan rintisan atau startup digital marak dikabarkan sebagai kondisi bubble burst atau ledakan gelembung. Tapi, menurut Ketua Dewan Pengawas Asosiasi Fintech Indonesia Rudiantara mengatakan, fenomena PHK di perusahaan startup itu bukan menggambarkan kondisi bubble burst.
Apa yang dimaksud bubble burst?
Kata bubble atau gelembung dikenal dalam dunia ekonomi. Mengutip Investopedia, kata itu merujuk harga segala sesuatu, seperti saham individual, aset keuangan, atau seluruh sektor, pasar, kelas aset, melebihi nilai fundamentalnya dengan margin yang besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kenaikan harga yang cepat, volume perdagangan yang tinggi, dan penyebaran dari mulut ke mulut adalah ciri khas bubble (gelembung),” kata Timothy R. Burch, selaku Associate Professor of Finance University of Miam, dilansir Public Broadcasting Service (PBS).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Permintaan spekulatif, alih-alih nilai intrinsik, lantas memicu harga melambung. Keadaan itu juga memicu meletusnya gelembung atau bubble burst, dan terjadi aksi jual besar-besaran sehingga harga turun, bahkan dengan cukup dramatis. Dalam banyak kasus, gelembung spekulatif diikuti oleh kehancuran sekuritas.
Kerusakan akibat bubble burst tergantung sektor ekonomi yang terlibat dan tingkat partisipasi. Sepanjang riwayat, ada beberapa peristiwa yang ditengarai menjadi penyebab bubble burst. Misalnya, bubble burst pertama dikaitkan dengan kemerosotan jual beli tulip di Belanda pada abad ke-17.
Pada saat itu, tingginya permintaan bunga tulip menyebabkan petani bereksperimen dengan spesies dan warna. Tulip menjadi objek spekulasi. Tulip menjadi komoditas sangat berharga, sehingga orang benar-benar menggadaikan rumah mereka untuk membeli umbi bunga tulip.
Bunga itu nanti akan dijual kembali dengan harga lebih tinggi. Namun, kepercayaan konsumen terkikis tiba-tiba. Banyak yang menjual tulip sehingga pasarnya jatuh. Bunga ini menjadi tidak berharga. Banyak yang menganggap fenomena ini menyebabkan penurunan ekonomi selama satu tahun di seluruh Belanda.
AMELIA RAHIMA SARI
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.