Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Krakatau Steel merampungkan perjanjian restrukturisasi utang senilai Rp 31 triliun.
Rencana baru disiapkan untuk mengambil alih saham mayoritas Krakatau Posco.
Banjir baja impor menghantui upaya mendongkrak kapasitas produksi Krakatau.
DUA setengah jam setelah mendarat di Bandar Udara Internasional Incheon, Seoul, Korea Selatan, Rabu, 29 Januari lalu, Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Silmy Karim bergegas menuju kantor Bank Ekspor-Impor (Eximbank) Korea. Pagi itu, bersama Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara Budi Gunadi Sadikin, rombongan dari Jakarta itu telah ditunggu manajemen bank untuk membicarakan rencana lanjutan kerja sama strategis Krakatau Steel dan Pohang Iron Steel Company (Posco).
Agenda serupa digelar sore harinya bersama Chief Executive Officer Posco Choi Jeong-woo di tempat terpisah. “Kami perlu lapor bahwa restrukturisasi kami sudah selesai, dan Eximbank perlu terus men-support Krakatau Posco,” kata Silmy kepada Tempo, Kamis, 30 Januari lalu.
Restrukturisasi yang dimaksud Silmy berkaitan dengan utang perseroan. Sehari sebelum melawat ke Korea Selatan, Silmy dan Budi Gunadi duduk berderet dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir untuk mengumumkan kepada khalayak bahwa Krakatau Steel telah merampungkan perjanjian restrukturisasi utang senilai US$ 2,2 miliar—sekitar Rp 31 triliun—yang mengendap di neraca perseroan sejak 2012.
Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir (kanan) bersama Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Silmy Karim (kiri) dalam paparan Public Expose Krakatau Steel 2020 di kantor Kementerian BUMN, Jakarta, 28 Januari 2020. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/wsj.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebenarnya, proses restrukturisasi utang dengan sepuluh kreditor ini berlangsung sejak Desember 2018. Enam kreditor terbesar—termasuk tiga bank milik negara—mengawali persetujuan restrukturisasi pada September 2019. Empat lainnya menyusul belakangan. Hingga 12 Januari lalu, Standard Chartered Bank Indonesia menjadi kreditor terakhir yang menyetujui perjanjian induk untuk pelunasan utang hingga 2027.
Tak hanya mengendurkan jadwal pembayaran pokok pinjaman, restrukturisasi utang dengan semua kreditor ini juga memuat pengurangan bunga. Dari sini, beban bunga pinjaman turun signifikan dari US$ 847 juta menjadi US$ 466 juta. Meski utang masih ada, restrukturisasi setidaknya bisa membuat perseroan bernapas. Sewindu terakhir, laporan keuangan Krakatau Steel terus merah dengan kas yang menipis.
CEO Standard Chartered Bank Indonesia Andrew Chia berharap relaksasi ini tak hanya mendukung transformasi bisnis dan keuangan Krakatau. “Tapi juga untuk memperkuat perekonomian nasional,” tuturnya, Kamis, 30 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
•••
LAWATAN ke Korea Selatan menjadi agenda penting bagi KRAS—kode Krakatau Steel di lantai bursa. Utang hanya satu bagian dalam program besar menyelamatkan perusahaan baja terbesar dalam negeri itu. Perseroan juga harus membenahi sisi operasi lewat efisiensi dan penguatan kerja sama strategis dengan perusahaan baja global.
Empat tahun lalu, Krakatau Steel dan Posco bermimpi menciptakan kluster produksi baja berkapasitas 10 juta ton melalui PT Krakatau Posco, perusahaan patungan yang dibentuk sejak 2010. Dengan angka ini, produksi perusahaan diimpikan mampu memasok seluruh kebutuhan dalam negeri. Kala itu, pada Mei 2016, Posco menambah investasi senilai US$ 3 miliar atau sekitar Rp 42 triliun. Namun, sampai sekarang, proyek yang diteken dalam perjanjian bilateral oleh Presiden Joko Widodo itu belum sampai setengah jalan.
Bertemu dengan bos Posco di kantor pusatnya di Kota Gwangyang, sekitar satu jam penerbangan helikopter ke arah selatan Seoul, Silmy Karim meminta kerja sama kedua perusahaan yang terjalin satu dekade terakhir bisa berlanjut untuk menggenjot kapasitas produksi. Namun Krakatau Steel ingin menambah porsi sahamnya di Krakatau Posco, yang saat ini hanya 30 persen.
Seorang pejabat yang mengetahui pembahasan rencana ini mengatakan pemerintah menginginkan Krakatau Steel mengendalikan setidaknya 60 persen saham Krakatau Posco. Pemerintah menghendaki pendanaan proyek nantinya bisa dikonversi sebagai penyertaan modal untuk menjadikan Krakatau Steel pemegang saham mayoritas di Krakatau Posco.
Silmy tak menampik adanya rencana perubahan kerja sama ini. Mantan Direktur Utama PT Pindad itu menilai Krakatau Steel tak bisa terus-menerus mengandalkan utang dan investasi dari bank-bank nasional untuk mengembangkan bisnisnya. Krakatau sedang mengembangkan proyek Hot Strip Mill 2 (HSM #2), yang pembangunannya mencapai 96 persen per Desember 2019. Proyek itu memakan biaya hingga US$ 515,6 juta untuk menghasilkan baja lembaran panas hingga 1,5 juta ton per tahun. Fasilitas hilir baja ini diharapkan menambah margin perseroan.
Rencananya, HSM #2 inilah yang akan ditransfer ke Krakatau Posco sehingga Krakatau Steel bisa menjadi pemegang saham mayoritas di perusahaan tersebut (in-kind transfer). Silmy belum memastikan jumlah saham akhir yang akan dikempit Krakatau Steel. “Yang jelas, setorannya dengan memasukkan fasilitas HSM #2 ke Krakatau Posco. Jadi tidak ada duit sama sekali,” kata Silmy.
Rencana ini sejalan dengan keinginan Kementerian BUMN, yang mewacanakan bisnis Krakatau Steel bertahan dalam jangka panjang tanpa mengandalkan restrukturisasi semata. “Intinya, mesti ada kontinuitas. Apakah Krakatau Steel mau jadi investment company yang fokus ke baja saja?” ucap Menteri Erick Thohir dalam paparan publik Krakatau, Selasa, 28 Januari lalu.
Kelak, setelah menjadi pemegang saham pengendali, perseroan membangun kapasitas baru untuk menggenjot target kluster baja 10 juta ton di Cilegon. Saat ini, kapasitas produksi Krakatau Steel baru sekitar 3 juta ton. Krakatau Posco berkapasitas sama, di luar proyek baja tanur tiup tinggi. “Jadi perlu nambah sekitar 5 juta ton,” tutur Silmy.
Persoalannya, menurut sumber Tempo di Kementerian BUMN, Krakatau Steel tak bisa serta-merta mengubah kerja sama bisnis patungan ini dengan memasukkan proyek HSM #2. Bank Ekspor-Impor Korea sebagai kreditor terbesar Krakatau Posco sejak awal mensyaratkan Posco menjadi pengendali di perusahaan tersebut.
Sementara itu, Krakatau memastikan akan memenuhi prosedur untuk mendapatkan izin dari para kreditor. Setelah kesepakatan final, Krakatau akan mengajukan permintaan pertimbangan hukum dari Kejaksaan Agung serta meminta verifikasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Menurut Silmy, kluster 10 juta ton menjadi penting bagi Krakatau, apalagi setelah pabrik Hyundai berinvestasi di Indonesia. “Dia akan menjadi pelanggan Krakatau Posco.”
Selain mengembangkan Krakatau Posco, Krakatau Steel mulai menginventarisasi anak usaha yang selama ini tak relevan dengan bisnis baja dan dinilai tak menguntungkan. Dari sekian banyak anak usaha yang dikendalikan KRAS, hanya segelintir yang memasok cuan bagi Krakatau Steel, seperti PT Krakatau Industrial Estate Cilegon, PT Krakatau Bandar Samudera, PT Krakatau Tirta Industri, dan PT Krakatau Daya Listrik.
Tahun lalu, perseroan sempat berencana mendivestasi saham PT Krakatau Daya Listrik kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan Krakatau Bandar Samudera kepada Pelindo II (Persero). Namun rencana ini belum final lantaran nilai akhir dan valuasinya hingga kini belum ditetapkan. Direktur Keuangan Krakatau Steel Tardi mengatakan penjajakan dilakukan dengan sejumlah investor untuk melihat harga penawaran terbaik. “Jadi akan me-leverage dengan menjual saham lama, tapi juga sekaligus jual saham baru,” ujarnya.
Perseroan pun terus mengevaluasi proyek-proyek yang hanya membuat kantong perusahaan boncos. Proyek tanur tiup tinggi (blast furnace) hasil kerja sama PT Krakatau Engineering dengan konsorsium asal Cina, Capital Engineering & Research Incorporation Limited (MCC-CERI), misalnya. Mulai dibangun pada 2012, proyek ini terkatung-katung dan nyaris terbengkalai.
Tungku proyek itu baru beroperasi pada Desember 2018 dan belakangan dinyatakan tak efisien lantaran harga gas dalam studi kelayakannya tak lagi sepadan dengan harga saat ini. Ketika proyek itu dicanangkan, manajemen lama menghitung harga gas di level US$ 4,5 per MMBTU. Sedangkan saat ini gas industri dihargai US$ 6 per MMBTU. “Saya stop per 5 Desember (2019),” kata Silmy.
•••
Bongkar-muat besi baja di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
TERBEBAS dari ketatnya pembayaran beban utang tak lantas membuat Krakatau bisa hidup panjang. Masalahnya, rencana perusahaan meningkatkan produksi punya musuh lama: baja impor. Hingga akhir 2019, diperkirakan terdapat 6,7 juta ton baja impor yang masuk ke pasar lokal, menjadikan komoditas ini masuk tiga besar pemicu defisit neraca perdagangan. Itu sebabnya perbaikan regulasi impor menjadi satu agenda terakhir yang disiapkan Kementerian BUMN untuk transformasi KRAS.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia Ismail Mandry mengatakan rendahnya perlindungan regulasi membuat pabrik baja dalam negeri berguguran. Tahun lalu, Asosiasi sempat meminta Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan mengeluarkan peraturan mengenai bea masuk antidumping dan safeguard dalam impor baja lembaran panas (HRC) dan lembaran dingin (CRC) asal Cina, Jepang, Korea, Taiwan, serta Vietnam.
Asosiasi juga meminta Kementerian Perindustrian membuat sistem pangkalan data penilaian dan rekomendasi impor baja sesuai dengan kebutuhan nasional. “Kalau selama ini belum ada, artinya rekomendasi impor itu dasarnya apa?” ucap Ismail.
Baru-baru ini Kementerian Perindustrian memang gencar mensosialisasi Sistem Baja Nasional, yang memuat data 45 ribu jenis baja dalam 180 pos tarif. Proses penawaran dan permintaan impor baja akan melalui pangkalan data tersebut. “Ini untuk meningkatkan utilitas industri baja,” ujar Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Harjanto, awal Januari lalu.
Kepada Tempo, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu mengatakan timnya akan menyiapkan revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 110 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Besi Baja apabila ada permintaan dari Asosiasi mengenai pengawasan impor baja yang kembali dari post-border ke proses kepabeanan. “Kami lihat dulu implementasinya, baru direvisi,” katanya.
Silmy Karim, yang juga Ketua Umum Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia, mengatakan implementasi peraturan itu masih membutuhkan peraturan Menteri Keuangan. Kementerian Perdagangan, dia menambahkan, juga perlu lebih ketat mengawasi impor baja paduan melalui pengalihan kode pos tarif. “Kita sebaiknya juga punya pelabuhan khusus dan harga minimum impor,” tuturnya.
PUTRI ADITYOWATI
Tua-tua Merugi
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo