Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Suara Mbak Tutut Di Tengah Kritik

Tarif baru jalan tol jauh-dekat Rp 1.500. Pemerintah mengajak perusahaan swasta nasional dan asing ikut bisnis pembangunan hingga pengoperasian jalan tol. Masyarakat mempertanyakan dasar hukumnya.

25 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEKAN lalu orang masih mengkritik tarif baru jalan tol. Tapi pekan ini suara keras seperti itu tampaknya berangsur reda. Terutama, barangkali, di antara para pemilik mobil. Buktinya, kendaraan yang lalu lalang di ruas Tomang-Cawang-Rawamangun, yang semula diduga bakal turun sampai 40%, nyatanya cuma berkurang 30%. "Orang hanya kaget sebentar. Setelah itu akan normal seperti semula," tutur Dirut Jasa Marga, Soehartono, sehari sebelum tarif baru Rp 1.500 jauh-dekat diumumkan. Kontroversi jalan tol tak sekadar menyangkut tarif baru yang ditetapkan lewat Keppres No. 50/1989. Orang juga bertanya bagaimana sampai Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Keuangan bisa menetapkan bagi-hasil 75 buat pihak Citra Marga Nusaphala Persada, 25 untuk PT Jasa Marga yang milik negara. Hiruk-pikuk beragam kendaraan di jalan biasa, di kiri dan kanan jalan tol, terutama pada jam-jam sibuk, masih terasa. Tapi, apa boleh buat. Banyak juga orang yang agaknya mulai mau menyimak penjelasan lanjutan mengenai beleid jalan tol itu. Misalnya soal keabsahan swasta dalam pengoperasian jalan tol tadi. Dalam UU No. 13 tahun 1980, dalam pasal 13 disebut bahwa pemilikan dan penyelenggaraan jalan tol berada di tangan pemerintah. Namun, dalam pasal 17 ada disebutkan bahasa penyerahan wewenang penyelenggaraan jalan tol tidak otomatis melepaskan tanggung jawab pemerintah terhadap jalan yang diserahkannya. "Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud... diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah...," demikian bunyi penjelasan ayat (4) pasal 17 UU No. 13/1980 tersebut. Sampai sekarang peraturan pemerintah yang dimaksud belum ada. Maka, keluarlah Keppres No. 25 tahun 1987 tentang sebagian tugas penyelenggaraan jalan tol. "Lewat keppres inilah pemerintah memberikan izin kepada PT Jasa Marga untuk mengikutsertakan badan usaha swasta nasional, atau perusahaan patungan asing dalam pembangunan, pengoperasian, dan pemeliharaan jalan tol," kata Benyamin Messakh, Sekjen Golkar dan anggota DPR. Ini toh tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 1978, yang mengatur soal pembentukan Jasa Marga. Salah satu pasal PP No. 4 tahun 1978 menyebut perlu ada izin dari Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Keuangan, sebelum Jasa Marga mengajak pihak swasta untuk ikut serta berusaha. Sejak awal tahun lalu pemerintah sudah bertekad akan lebih banyak mengajak swasta nasional maupun asing dalam bisnis pembangunan hingga pengoperasian jalan tol. Wijoto Wijono, kini almarhum, semasih menjabat Direktur Utama PT Jasa Marga, mengumumkan bahwa jalan tol Panci (Padalarang-Cileunyi) di Jawa Barat adalah proyek terakhir yang sepenuhnya dibiayai oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bawah Ditjen Bina Marga itu. Maklum, Jasa Marga sudah harus semakin pandai merestrukturisasi utangnya yang sudah membengkak menjadi Rp 811,3 milyar akhir tahun lalu. Padahal equity (penyertaan modalnya) cuma Rp 117,3 milyar. Ada belasan proyek jalan tol yang sudah ditawarkan Jasa Marga ke pihak swasta. Paling tidak, kini ada tiga swasta nasional yang sedang membangun jalan tol: Nusaphala di Cawang-Priok, Bangun Tjipta Sarana di Cibitung-Cikampek, serta konsorsium PT Marga Mandala Sakti (di bawah pimpinan Grup Humpuss) yang mulai bulan lalu menancapkan tiang pancang jalan tol Tangerang-Merak, Jawa Barat. Bagi hasil 75 (Nusaphala) dan 25 (Jasa Marga) kini sudah diketahui umum. Pihak Jasa Marga sendiri belum memberikan keterangan bagaimana kalkulasi sampai bagi hasil itu terumuskan dalam SKB yang ditandatangani oleh Menteri PU Radinal Moechtar dan Menkeu J.B. Sumarlin. Namun, penjelasan Ny. Siti Hardiyanti Indra Rukmana, yang lebih akrab dipanggil Mbak Tutut, kepada TEMPO patut disimak. "Sebenarnya, saya tidak boleh banyak bicara, karena nanti dikira orang mau mendahului pemerintah. Tapi jangan lupa, dalam bagi hasil 75:25 itu, Jasa Marga masih punya saham 23% di Nusaphala. Jadi, selain 25% itu, bagian Jasa Marga masih ditambah 23% dari yang 75%. Jatuhnya sekitar 42,25%. Selisih yang 57,75% dibagi di antara 7 anggota konsorsium dalam Nusaphala," tutur Mbak Tutut kepada Bachtiar Abdullah dari TEMPO, Senin sore pekan ini. "Kami kan cuma diberi bagian sedikit lebih besar dari Jasa Marga, karena pemerintah bermaksud memberi iming-iming kepada swasta supaya mau menanam modal di jalan tol. Tak mudah kan untuk mencari investor swasta di jalan tol," kata Nyonya Hardiyanti Rukmana. Konsorsium Nusaphala menanamkan uang Rp 291 milyar di ruas jalan to Cawang-Tanjungpriok yang sepanjang 15,6 km. Konsorsium hanya mampu menyertakan modalnya sekitar Rp 68 milyar, selebihnya diperoleh dari pinjaman yang berasal dari sejumlah bank, di bawah pimpinan Bank Dagang Negara (syndicated loan), dengan bunga 19,5% setahun. Almarhum Wijoto Wijono kepada TEMPO pernah mengungkapkan bahwa sebelum Nusaphala melaksanakan pekerjaannya, Ny. Hardiyanti pernah ditawari investor dari Jerman Barat untuk menjadi sleeping partner. Tinggal ongkang-ongkang kaki dapat bagian. Tapi dia menolak. Alasannya? "Saya ingin melihat industri konstruksi dalam negeri maju. Karena itu, saya banyak terlibat langsung dalam proyek yang satu ini," kata Mbak Tutut. Jalan bebas hambatan yang melayang itu memang 100% dikerjakan oleh swasta nasional. Tak kurang dari 200 ribu semen dibenamkan ke dalam konstrusksi Sosro Bahu, penemuan Tjokorda Raka Sukawati, kini Direktur Utama PT Hutama Karya. Dan karyanya yang cukup besar itu ditopang sejumlah 443 pilar. Baja dari PT Krakatau Steel yang menjadi kerangka beton cor mencapai 55 ribu ton. Tapi jalan yang sarat modal itu, pada awal 1991, sudah harus membayar kembali utangnya. "Pihak bank menyarankan, tarif yang rasional Rp 2.000. Tapi kami berani menetapkan tarif minimal Rp 1.500," kata Djoko Ramiadji, Direktur Teknik Nusaphala merangkap pimpro Cawang-Priok. Tarif Rp 1.500 jauh dekat diperoleh dari perhitungan rata-rata orang menggunakan jalan tol sepanjang 10 km. Berarti tarif per km di ruas Tomang-Cawang-Rawamangun hanya Rp 150. "Kalau orang menggunakan penuh 30 km dari Tomang ke Priok, rata-rata per km cuma Rp 50. Murah sekali," kata Djoko Ramiadji lagi. Namun begitu, tak sedikit orang yang masih menyayangkan, mengapa tarif baru itu diberlakukan sekarang, sebelum seluruh ruas Cawang-Priok selesai. Mulai awal Desember, ruas Cawang-Rawamangun merembet lagi hingga dekat perempatan Jalan Pemuda-Pramuka, Jakarta Timur. Maju sedikit, memang. Sekalipun ada saja suara di DPR yang secara setengah berkelakar berkata, "Jadi, yang dekat menyubsidi -- yang jauh...." Ada-ada saja. Bachtiar Abdullah dan Yopie Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus