Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bagi-Bagi Saham Swasta

Bumn harus menyisihkan 1%-5% dari laba bersihnya setiap tahun. Dana itu digunakan untuk pembinaan pengusaha ekonomi lemah dan koperasi. kebijaksanaan ini menyusul akan diberlakukan ke swasta.

25 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU kebijaksanaan baru -- yang cukup monumental -- telah dicetuskan Pemerintah. Sabtu, 11 November lalu, Menteri Keuangan menurunkan suatu keputusan bahwa BUMN-BUMN harus menyisihkan sekitar 1%-5% dari laba bersihnya setiap tahun. Dana itu harus digunakan untuk pembinaan pengusaha ekonomi lemah dan koperasi. Keputusan ini berlaku sejak tahun buku 1989. Agaknya, kebijaksanaan serupa akan diberlakukan juga pada perusahaan swasta. Hal ini ada disinggung dalam pembicaraan yang berlangsung antara Presiden Soeharto dan Ketua Dekopin (Dewan Koperasi Indonesia) Sri Edi Swasono. Menurut Sri Edi, Presiden telah mengatakan bahwa jika kini ada perusahaan-perusahaan swasta yang maju, hal itu tak terlepas dari perjuangan bangsa, termasuk rakyat miskin. Dalam SK Menkeu disebutkan, bahwa yang harus dibantu adalah perusahaan atau koperasi yang mempunyai aset atau omset per tahun di bawah Rp 300 juta. Pada tahun 1989 ini, BUMN diduga akan meraih laba bersih Rp 2.500 milyar. Tapi, ternyata, dana yang boleh disisihkan BUMN dibatasi Menkeu sekitar 1%-1,25%. BUMN yang mempunyai laba bersih sebesar Rp 40 milyar, hanya boleh menyisihkan maksimal 1%. Sedangkan BUMN yang meraih laba bersih di atas Rp 40 milyar, menyisihkan maksimal Rp 500 juta. Apakah penyisihan dana dari laba BUMN itu tidak memalukan koperasi? "Itu bukan sumbangan atau charity. Dan jumlahnya sangat besar. Karena itu, sebaiknya dikumpulkan dalam suatu konsorsium dari beberapa bank. Dana itu akan kita keluarkan benar-benar untuk memajukan koperasi. Kita tak ingin memberikan ikan, tapi jaring," kata Sri Edi. Kebijaksanaan baru itu dipandang sebagai momok oleh pengusaha swasta lokal maupun asing. Ada PMA yang khawatir, jika saham dibagikan kepada koperasi karyawan, maka koperasi akan bertingkah macam-macam. Dikhawatirkan koperasi akan minta agar perusahaan meladeni pinjaman bagi anggotanya, meminta pembagian dividen yang tinggi, menuntut kenaikan gaji, dan sebagainya. "Jika pemerintah menginginkan perusahaan menjual sebagian saham kepada koperasi, harus jelas dulu aturan mainnya," kata seorang pengusaha konglomerat kepada TEMPO. Jika tiap tahun perusahaan menyisihkan 5% dari labanya, cash flow perusahaan bisa terganggu. Itu berarti, tiap tahun wajib membagi dividen. Padahal, waktu itu mungkin tempo yang tepat untuk melakukan perluasan usaha. "Tentang aturan mainnya, jelas harus disusun dulu sebagai suatu yang diterima secara nasional," kata Sri Edi. Dan ia membantah bahwa sistem itu akan memanjakan koperasi. Toh, beberapa perusahaan sudah membagi saham, Bank Duta, misalnya. Perusahaan yang mayoritas sahamnya dipegang 3 yayasan yang dipimpin Presiden Soeharto, sudah beberapa tahun berjalan baik dengan memberikan 10% saham kepada koperasi karyawan. Jika Bank Duta meraih laba, otomatis 10% dari keuntungan disalurkan kepada koperasi. Tahun 1988, Bank Duta membagikan 30% dari laba perusahaan kepada karyawan. "Dividen yang dibagikan itu biasanya dipakai koperasi untuk mengembalikan pinjaman anggota," kata Wakil Dirut Bank Duta Dicky Iskandar Di Nata. Apakah jika perusahaan menjual saham kepada koperasi, jiwa pasal 33 UUD sudah tercapai? "Jelas belum, tapi masih sebagai transisi," kata Sri Edi. Menurut analisanya, struktur sistem ekonomi Indonesia selama ini terlalu ditekankan pada aturan main yang ditentukan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Yang menonjol di situ adalah asas perorangan, bukan asas kekeluargaan. Pakar ekonomi Hadi Susastro menyambut baik kebijaksanaan tentang penyisihan dana itu. Tapi ia berpendapat, jika saham dibagikan gratis, maka banyak masalah akan timbul. "Pemerataan itu harus dicapai lewat mekanisme yang wajar. Misalnya, koperasi membeli saham lewat kredit bank," kata Hadi. Ia memberi contoh bahwa mekanisme yang kreatif ini telah diterapkan oleh lebih dari 10.000 perusahaan di AS, termasuk beberapa perusahaan raksasa dunia, seperti AT & T, Exxon, Dow Chemicals, dan General Motor. Tak lupa Hadi mengutip dua hasil survey yang menunjukkan bahwa perusahaan yang membagi sahamnya untuk karyawan, bisa meraih laba 1,5 kali lebih tinggi dari perusahaan yang menganut pola kepemilikan konvensional. Singkatnya, dalam sistem kapitalis, pemerataan tetap bisa terlaksana, sesudah melalui tahap-tahap yang diatur secara cermat dan yang menjamin pemerataan yang sehat. "Memang, itulah yang kami lihat. Rakyat memang miskin, tapi bank bisa membantu dengan prosedur sederhana. Saham itu bisa dipakai sebagai jaminan pinjaman bank," ujar Sri Edi Swasono. Masih ada satu gagasan lain. Perusahaan-perusahaan diharapkan bersedia menjual sebagian sahamnya kepada masyarakat di sekitar pabrik. Semen Cibinong dan Indocement, misalnya, tentu menjadi kebanggaan masyarakat Cibinong. "Sebaiknya masyarakat di situ diberi juga kesempatan memiliki saham. Masakan mereka hanya kebagian debunya saja," demikian Presiden, sebagaimana dikutip Sri Edi. Max Wangkar, Sidartha Pratidina, Bambang Aji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus