SUARA-SUARA negatif yang dilontarkan terhadap pasar modal diam-diam disimak oleh pemerintah. Dan Menteri Keuangan J.B. Sumarlin pekan lalu berjanji akan secepatnya membenahi peraturan yang berkaitan dengan pasar modal. Tujuannya yang utama: melindungi masyarakat investor. Berbagai loopholes alias celah-celah yang bisa dimanfaatkan untuk mengecoh investor telah sering disorot oleh beberapa pakar ekonomi. Dalam acara diskusi alumni IPMI (Institut Pengembangan Manajemen Indonesia) Rabu lalu, kembali terungkap sejumlah loopholes, kali ini oleh Notaris Kartini Muljadi, S.H. Notaris kenamaan ini berpendapat bahwa prospektus seharusnya mengungkapkan keistimewaan perusahaan berikut faktor-faktor risiko yang dihadapinya. Misalnya risiko bila perusahaan kehilangan hak monopolinya atau bila selera konsumen berubah. Menurut Kartini lagi, rugi akumulatif juga harus diungkapkan, jika memang ada. Pokoknya, prospektus harus disusun berdasarkan itikad baik dari emiten maupun semua lembaga penunjang. Tapi bagaimana menjamin hadirnya sebuah itikad baik? Diingatkan pula oleh Kartini, dalam legal opinion harus disebutkan bahwa perusahaan yang mau menjual saham itu pernah atau tak pernah terkena pasal 47 KUHD. Bila hal ini diabaikan, bukan tidak mungkin, saham yang dijual adalah saham dari perusahaan yang sudah bangkrut. Dalam seminar yang diselenggarakan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dua pekan lalu, Kwik Kian Gie -- dalam gayanya yang tak bisa ditawar-tawar -- juga menyorot beberapa loopholes. Jika sebuah perusahaan induk go public, misalnya, tak ada keharusan bahwa profil anak-anak perusahaannya diungkapkan. Padahal, "Jika hasil penjualan saham itu diinvestasikan pada anak perusahaan yang rugi dan tak meraih untung, investor jelas akan dirugikan," kata Kwik. Ia juga berpendapat, agio saham merupakan laba perusahaan, karena itu harus dipajaki. Ada 4 alasan untuk itu. Pertama, perusahaan biasanya meminta agio dengan alasan akan membagikan keuntungan di kemudian hari. Kedua, prinsip akuntansi secara ketat menetapkan agio harus dicantumkan secara terpisah, karena agio bukan modal saham. Ketiga, agio juga merupakan laba, sebab perusahaan boleh membagi dividen dari agio saham. Keempat, agio boleh langsung dikantungi oleh emiten. Dalam butir terakhir itu, Kwik agaknya mencampuradukkan agio dengan capital gain. Ia memberi contoh sebuah perusahaan yang menjual 2 juta lembar saham. Sejuta saham merupakan saham baru, sejuta lagi merupakan divestment, yakni pelepasan saham lama. Setiap saham bernilai nominal Rp 1.000, lalu dijual Rp 15.000 per lembar. Sejuta saham baru tadi akan memperoleh hasil Rp 15 milyar, termasuk di dalamnya agio Rp 14 milyar. Tapi sejuta saham yang dilepaskan pemilik lama jelas akan dikantungi si pemilik. Namun, belum tentu ia akan memperoleh capital gain Rp 14.000 milyar. Sebab, saham yang dilepasnya itu belum tentu diperolehnya dengan menyetor modal Rp 1 milyar. Mungkin yang disetornya hanya Rp 100 juta, mungkin juga Rp 3 milyar. Pendapat Kwik ini mengundang tanggapan dari beberapa pakar ekonomi, antara lain dari Guritno Mangkoesoebroto, dosen FE-UGM Yogyakarta. "Tidaklah tepat jika pemerintah mengenakan pajak atas agio," kata Guritno. Alasannya: pertama, agio merupakan penerimaan perusahaan dari penyertaan modal pemegang saham. Kalau perusahaan perlu modal, ia bisa meminjam dari bank atau menjual saham. Jika menjual saham, modal yang diterimanya bukanlah nilai nominal saham tapi dari agio itulah. Jika agio itu harus dikenai pajak, berarti modal yang diperoleh perusahaan dari kredit bank juga mesti dipajaki. Jika agio dipajaki, maka terjadi pemajakan ganda. Soalnya agio berasal dari penghasilan yang sudah dikenai pajak penghasilan. Kedua, jika agio dikenai pajak, hal itu tentu akan dibebankan perusahaan kepada calon investor. Pemajakan atas agio jelas akan melambungkan harga saham. Akibatnya, hasrat untuk membeli saham akan berkurang. Ketua Umum Lembaga Pengkajian Central for Fiscal and Monetary Studies, R. Sumarso sependapat dengan Guritno. "Keuntungan jangan dikenai pajak, sebab keuntungan itu belum pasti adanya." Tapi Kwik belum berubah pendapat. "Guritno salah, karena ia melihat agio sebagai elemen modal dan dari segi hukum UU Perpajakan. Kalau yang benar itu bertentangan dengan UU, ya UU itu harus diubah," kata anggota MPR itu. Menurut Kwik, kredit bank tak bisa dibandingkan dengan penjualan saham. Perusahaan yang mengambil kredit wajib membayar bunga secara tetap. "Sedangkan jika menjual saham, perusahaan tak wajib membayar bunga atau dividen secara tetap." "Saya tidak perlu memberi komentar atas pendapat Kwik maupun Guritno," ujar Dirjen Pajak Mar'ie Muhammad. Ia hanya menegaskan kembali pernyataan Menteri Keuangan 28 Oktober lalu, bahwa agio merupakan bagian dari modal yang tidak termasuk obyek pajak. "Di negara mana pun, agio saham tak terkena pajak penghasilan," kata Mar'ie. Max Wangkar, Bambang Aji, Budiono Dharsono, Arios Margono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini