Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Salat Di Udara Versi NU

Bahtsul Masail NU Ja-tim memutuskan salat wajib di pesawat tidak sah. Debu untuk tayamum dan arah kiblat diragukan. Fatwa Majelis Uulama Saudi Arabia membolehkan salat kearah mana saja jika di kendaraan.

25 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"PARA penumpang sekalian, saat ini jam setempat pukul 15.30, waktu salat asar." Isyarat dalam bahasa Arab ini dari mulut pramugara pesawat Saudia Airlines rute Jeddah-Eropa untuk penumpang muslim. Mereka bertayamum (wudu bukan dengan air). Telapak tangan dipukulkan ke sandaran tempat duduk agar keluar debu. Mereka menatap ke atas exit door -- mengamati penunjuk arah kiblat berdiameter 35 cm. Setelah itu baru mereka salat di kursi masing-masing. Di lain kesempatan, perbuatan serupa dilakukan calon jemaah haji Indonesia yang terbang ke Jeddah. Walau di pesawat Garuda tidak ada penunjuk kiblat, usai mendengar pengumuman dari pilot untuk salat, setelah bertayamum, mereka salat dengan niat dalam hati menghadap kiblat di Mekah. Tidak ada masalah. Tapi 16 November lalu, salat dalam pesawat terbang dinyatakan "tidak sah" oleh 90 peserta Komisi A Bahtsul Masail (membahas masalah sosial keagamaan) Syuriah Nahdatul Ulama (NU) Ja-Tim. Soal itu mereka kaji di Pondok Pesantren Zainul Hassan, Genggong, Probolinggo. "Tetapi untuk menjalankan keputusan itu kami perlu hati-hati," ujar Syafi'i Sulaiman, Ketua Pengurus Wilayah NU di sana. Keputusan tersebut akan dibawa ke Muktamar NU ke-28 di Yogyakarta. "Untuk warga NU Ja-Tim, ini keputusan final," kata K.H. Drs. Shidqi Mudzhar, 47 tahun. "Kami menganggap apa yang dilakukan selama ini benar," ujar sekretaris tim perumus yang melahirkan keputusan itu. "Tapi setelah kami buka kembali kitab-kitab fikih empat mazhab, ada kekeliruan interpretasi." Kitab-kitab itu karya Imam Syafi'i, Hambali, Maliki, Hanafi. Sarjana Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel di Jember, 1973, yang 4 tahun belajar pada Syekh Muhammad Alawi di Mekah ini mengatakan, sebelum salat di pesawat yang dipertanyakan, adalah tayamum dan arah kiblat. "Di pesawat terbang, tayamum tidak memenuhi syarat," katanya. Dan yang dimaksud dengan debu untuk bertayamum adalah debu yang bisa dilihat dengan mata. Yang ada di pesawat, debunya tidak kelihatan oleh mata. Kiblat? "Ya, kalau sedang menghadap kiblat, kalau tidak?" tanya Shidqi. Pendapat yang sama datang dari Abdullah Khulaefi. "Tidak sah salat wajib di atas pesawat, walaupun menghadap kiblat. Dasarnya hadis riwayat Bukhari dan Muslim," katanya. Rasulullah ketika salat di atas kendaraannya menghadap searah kendaraannya yang menuju ke Mekah. Hanya beliau tidak salat di atas kendaraannya ketika salat fardhu. "Maka, salat saja nanti ketika sampai di tempat tujuan, atau ketika pesawat berhenti," kata imam tertua di antara 4 imam yang memimpin salat di Masjidil Haram, Mekah, itu. Menurut Imam Syafi'i dan Hambali, tayamum dibolehkan dari debu yang tampak. Imam Maliki dan Hanafi membolehkan dengan benda yang masih asli, seperti kayu dan batu yang belum diolah. "Benda yang belum diolah itu masih berhubungan langsung dengan bumi," ujar Sidqi. "Apakah ruangan ber-AC dan bersih itu nampak debunya? Apakah itu tidak bisa dipakai tayamum?" tanya Ghazie Abdul Qadir. Ada contoh. Di sebuah masjid di Marokko, pengasuh Persis (Persatuan Islam) Bangil itu melihat orang bertayamum dengan batu. Waktu itu musim dingin, mereka tak tahan dengan air yang dingin. Lalu tayamum. Batu yang dipakai tayamum itu satu, dipakai jemaah yang jumlahnya puluhan. Batunya jadi bersih, tak ada debu yang menempel. Tayamumnya sah? "Tentu sah, karena dari batu, sesuai dengan mazhab Maliki yang dianut orang-orang Marokko tadi," katanya. Menurut cucu A. Hassan -- pendiri Persis itu -- debu ada yang tampak, ada yang tidak. Persoalannya bukan nampak atau tidak, tapi debunya itu. Ada pendapat bahwa untuk salat cukup takbiratul awal saja. "Kalau yang dipersoalkan arah kiblatnya, tidak perlu mengarah kiblat sampai selesai salat. Cukup dengan takbir awal saja yang mengarah kiblat," kata Ghazie. Selebihnya ada pendapat lain: meski ia tidak menghadap kiblat, tidak apa. Salat boleh jalan terus. Bahkan untuk salat-salat sunat hampir seluruh ulama sependapat: bila berkendaraan, atau musafir, tidak harus menghadap kiblat. "Adapun alasan kiblat yang tak menentu arahnya, dalam semua kitab fikih, semua mazhab sepakat membolehkan kita salat di atas kendaraan," kata K.H. Ali Yafie, Rois Syuriyah NU. Tapi untuk salat wajib? Daripada tak salat, karena hanya soal arah kiblat yang tidak jelas, kenapa ragu? "Lebih baik salat daripada tidak salat," kata Dr. Quraisy Shihab, ahli tafsir dan Ketua Majelis Ulama Indonesia. "Salat orang berkendaraan itu sah, walau misalnya ketika salat itu lantas tidak mengarah ke kiblat." Ia mengambil pedoman Quran, surah al-Baqarah: 115. "Kalau tidak menghadap kiblat, salat bisa dilakukan sesuai dengan arah pesawat," ujar Ahmad Azhar Basjir, M.A. "Seseorang yang salat di pesawat terbang, walau tidak searah kiblat, salatnya sah. Anggap kita salat menghadap kiblat," tambah Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah itu. Bila mendengar azan di pesawat? "Boleh salat lihurmatil waqti (menghormati waktu). Kalau sudah mendarat, kita wajib melakukan salat kembali," kata Shidqi. Diulang. Salat lihurmatil waqti untuk jaga-jaga bila nanti mati sebelum mendarat. "Supaya tidak menanggung dosa, karena tidak punya utang salat." Semua itu tergantung niat. Salat tanpa niat, apa jadinya. Sah salat di pesawat kalau tak ada waktu dijamak. "Prinsipnya, salat wajib itu dilaksanakan dalam segala keadaan dan kondisi," kata Prof.Dr. Yusuf al-Syal, Prof.Dr. Safi-ie Abd Karim, dan Prof.Dr. Abd Hayyi, dosen pascasarjana Fakultas Syariah Universitas Ummul Qura, Mekah, kepada TEMPO. Ini juga mengungkit kasus pada Juni 1985. Majelis Ulama Saudi Arabia mengeluarkan fatwa ketika Pangeran Sultan Salman bin Abdul Aziz al-Saud terbang dengan pesawat ulang alik Discovery. Sewaktu kemanakan Raja Fahd itu pusing menentukan kiblat, terdengar fatwa lewat telepon yang membolehkan ia salat mengarah ke mana saja. Bunyi fatwa bersejarah itu, "Antum juga boleh salat tanpa berwudu, selama di ruang angkasa." Islam tidak memberatkan umatnya. "Mengapa kita membuatnya berat?" tanya Ghazie. Zakaria M. Passe, Herry Mohamad, Ahmadie Thaha, dan Mukhlis H.J.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus