SESUDAH lama ditunggu, Departemen Energi (DOE) di Washington
tampaknya bisa pada dasarnya menyetujui kontrak untuk mengimpor
LNG (gas alam cair) dari Arun, Aceh. Namun DOE itu, seperti
terbaca dalam komunikenya yang terakhir, menyetujui dengan kata
tapi.
Kontrak aslinya ditandatangani Pertamina dengan suatu usaha
patungan Southern California Gas Co. dan Pacific Gas & Electric
Co., disebut Pacific Indonesia LNG Co. atau disingkat Pacindo
Ipada tahun 1973. Sejak itu kontrak tersebut, karena birokrasi
di Washington, tersimpan saja di laci. Barulah Desember 1977 DOE
itu menyatakan pendapatnya Ketika itu DOE menolak rumus eskalasi
harga tahunan (selama 20 tahun kontrak berjalan mulai 1980an).
Di situ diusulkan supaya kenaikan harga LNG itu dikaitkan dengan
dua index, yaitu harga minyak menuh Indonesia dan tingkat harga
bahan bakar di AS sendiri.
Mei 1978, Wakil Presiden Walter Mondale sesudah bertemu dengan
Presiden Soeharto di Istana Merdeka mengumumkan bahwa pemerintah
AS bisa menerima perumusan harga seperti yang disebut dalam
kontrak. Ternyata Mondale keliru. DOE membantahnya.
Juli 1978, ketika waktu sudah mendesak bagi Indonesia, Pacindo
rupanya memajukan usul perobahan atas kontrak asli yang
menyangkut eskalasi harga itu. Antara lain amandemen itu meminta
supaya separoh saja dari harga $1,25 per juta BTU, harga dasar,
yang dikaitkan kenaikannya dengan index harga di AS, sedang
sisanya 50% lagi dengan tingkat harga minyak Indonesia.
Bardin Bicara
Akhir September lalu, David J. Bardin yang memimpin Economic
Regulatory Administration, DOE, mengumumkan pendapatnya bahwa
"persyaratan kontrak itu umumnya pantas (fair) bagi pembeli
maupun penjual." Tapi Bardin yang dari semula menangani
persoalan ini memperingatkan supaya kenaikan harga tahunan itu
dengan plafon 15%, sesuai dengan usul amandemen Pacindo.
Meskipun pada tahap ini Bardin bisa menyetujuinya, sikap DOE
terhadap proyek LNG Arun itu keseluruhannya masih belum final.
Investasi untuk proyek ini ditaksir akan sekitar $ 2000 juta,
termasuk untuk pembangunan terminal kbusus di California yang
menampung pengapalan LNG. Juga kilang Blang Lancang yang
mencairkan gas dari lapangan Arun perlu ditambah dengan tiga
unit produksi (trains) lagi. Kini terdapat tiga unit produksi
saja di kilang itu yang cukup untuk melayani ekspor ke Jepang
saja (TEM PO, 23 September).
Soal investasi sebesar itu, plus soal pengapalannya, diduga
tidak akan menemui kesulitan dari DOE. Meskipun begitu, sumber
suplai L.NG dari tempat yang sejauh itu untuk pasaran AS kini
dianggapnya marginal, tidak termasuk prioritas utama.
Prioritasnya diberikan pada sumber suplai yang berada di bumi AS
sendiri seperti di bagian utara Alaska atau di negeri yang
berdekatan.
Kini ditimbulkannya kesan bahwa sumber suplai dari Arun, jika
harus disetujui, adalah karena faktor luar biasa, antara lain
berhubung aplikasinya sudah sejak 1973. Seakan-akan ini lebih
bertujuan membantu Indonesia.
Kebetulan Indonesia diketahuinya betul sedang tergesa-gesa
mencari pasaran baru untuk gasnya yang berlebihan di Arun.
Peminat baru masih belum terdengar. Sementara itu, nafas
Indonesia sedang diukurnya, guna memperoleh kondisi bisnis yang
lebih menguntungkannya.
Sikap Indonesia, sesudah komunike DOE terakhir itu, kelihatan
agak lega seperti terbayang dari nada keterangan Menteri
Pertambangan dan Energi Dr. Subroto. Soal rumus harga itu
tampaknya, walaupun belum resmi diumumkan, sudah bisa diterima
Indonesia. Walaupun Pacindo disebut memajukan amandemen (Juli),
yang akhirnya disetujui DOE, toh itu dilakukannya atas
persesuaian dengan partner Indonesianya.
Tapi semuanya masih belum final.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini