PEMECATAN karyawan, jika menyangkut beberapa orang saja, sudah
biasa berlangsung secara diam-diam. Tapi kejadian terakhir di
pabrik tekstil PT Indomill, Surabaya, rupanya sukar untuk
didiamkan.
PT Indomill pada awal Oktober ini memecat 334 orang, atau lebih
60% dari semua karyawannya. "Kami selalu rugi," direktur
Bintardjo Husni menjelaskan pada TEMPO. Pihak karyawan, tentu
saja, tidak mempercayai penjelasan seperti itu, karena ternyata
mereka malah berkali-kali menuntut kenaikan gaji. Skala upah
mereka, seperti Soedarno, ketua basis FBSI setempat
mengemukakan, masih berdasar index harga barang 1975. "Perlu
disesuaikan lagi tingkat upah itu," katanya.
Sebaliknya perusahaan jauh hari sebelumnya sudah mencoba
memberhentikan tenaga kerjanya secara berangsur, antara lain
dengan menawarkan pesangon satu bulan gaji. Pihak karyawan
menolak. Bahkan pihak karyawan, mungkin karena tidak yakin bahwa
keuangan perusahaan sedang gawat, menuntut THR menjelang lebaran
lalu. Direktur Bintardjo pernah "disekap" mereka, tidak
dibolehkan pulang dari kantor sebelum THR dikabulkan.
Terpaksalah ia menjanjikan THR -- Rp 3000/orang -- secara
mencicil sebelum dan sesudah lebaran.
Main Nekad
Perusahaan ini yang didirikan tahun 1956 pernah mendapat
fasilitas PMDN untuk memperluas pabriknya dengan modal Rp 1250
juta. Sesudah diperluas, bisnisnya tidak menguntungkan karena
pasaran tekstil di dalam negeri lesu. Suasana lesu itu
sebenarnya dialami juga oleh banyak pabrik tekstil domestik
lainnya selama tahun-tahun terakhir ini.
Ia membuat kain blacu, benang, perajutan dan pencelupan. Bagian
blacu iN terutama sekali yang merana. Pasaran blacu yang Rp
5800/pis (40 yard), kata direkturnya, "membuat kami selalu rugi.
Harga pasaran tidak bisa dinaikkan lagi." Akibatnya, perusahaan
ini sudah membiarkan banyak unit mesinnya tidak bekerja. Dalam
kondisi begitu perusahaan memilih jalan: pemecatan massal.
Persoalan ialah sesuatu perusahaan swasta, berdasar UU no.
12/1964, hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan buruhnya
setelah memperoleh izin P4D (Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan tingkat Daerah). Prosedur ke P4D ini sudah ditempuh
PT Indomill. Nyatanya P4D sendiri pun sulit untuk mengizinkan,
apalagi pihak karyawan menolak tawaran pesangon sebulan gaji
dari pihak majikan.
Jika Waktunya Tiba
Pemecatan massal terbukti dijalankan juga, walaupun tanpa izin
P4D. Dan FBSI tidak berdaya.
Sebelum pemecatan massal di PT Indomill, perusahaan tekstil
lainnya -- PT Kancil Mas di Bangil -- juga memberhentikan 483
buruhnya. Memang tak terdengar ribut-ribut di pabrik peninggalan
almarhum Dassaad itu. Tapi sepeninggal tokoh usahawan pribumi
itu, sejak awal 1970-an pabrik yang punya mesin modern di Bangil
itu ternyata sakit-sakitan. Adapun sebabnya, selain salah urus,
adalah ribut-ribut di antara ahli waris juga, yang akibatnya
menggerogoti perusahaan. Alhasil setelah megap-megap sekian
lama, akhirnya Kancil Mas bangkrut. Sedang PT Indomill belum
dinyatakan pailit.
Bahwa P4D dan FBSI tidak berdaya, kelihatan pula pada kasus PT
Superior Coach, Jakarta. Perusahaan itu yang biasanya menerima
pesanan untuk membuat body kenderaan bermotor seperti bis dan
truk Agustus lalu memecat 154 karyawannya Pemecatan massal itu
juga tanpa izin resmi.
Jika waktunya sudah tiba, pihak majikan rupanya main nekad.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini