Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Suku Bunga Acuan BI 6 Persen, Dosen dan Peneliti UII Ungkap Dampak Konteks Global dan Domestik pada 2025

Suku bunga acuan BI bertahan pada level 6 persen, jalan menuju stabilitas atau justru perangkap dalam konteks global dan domestik ekonomi di 2025

3 Januari 2025 | 19.18 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Logo atau ilustrasi Bank Indonesia. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pada Desember 2024, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 6 persen. Sepanjang 2024, suku bunga acuan BI mengalami penyesuaian sebagai respons tekanan inflasi dan volatilitas nilai tukar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada September 2024, BI menurunkan suku bunga acuan dari 6,25 menjadi 6 persen yang dipertahankan hingga Desember. BI mempertahankan ini untuk mengendalikan inflasi inti yang masih di atas target, yaitu 4,2 persen pada kuartal ketiga 2024, dan menjaga stabilitas Rupiah dari penguatan Dolar AS akibat kebijakan moneter ketat di negara maju. Suku bunga ini juga dipertahankan untuk menjaga daya tarik investasi portofolio asing.

Menurut Dosen dan Peneliti Universitas Islam Indonesia (UII) Listya Endang Artiani, keputusan itu memiliki urgensi tinggi untuk dievaluasi karena memengaruhi stabilitas makroekonomi dan menjadi tolok ukur awal performa ekonomi tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo. Kebijakan moneter seperti suku bunga acuan menjadi elemen krusial menciptakan momentum pertumbuhan atau justru tantangan baru.

"Evaluasi ini penting untuk memahami kebijakan yang mampu menjaga keseimbangan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi sekaligus memberikan arah jelas bagi kebijakan ekonomi strategi," kata Listya dalam catatan yang diberikan kepada Tempo.co, Kamis, 2 Januari 2024.

Suku bunga acuan adalah tingkat bunga yang ditetapkan oleh bank sentral sebagai referensi bagi suku bunga pinjaman dan simpanan di perbankan. Suku bunga acuan di Indonesia digunakan untuk mengendalikan inflasi, stabilitas nilai tukar, dan menjaga daya tarik investasi. Suku bunga acuan berfungsi sebagai instrumen kebijakan moneter utama yang memengaruhi biaya dana bagi perbankan dan memengaruhi aktivitas ekonomi di berbagai sektor.

"Saat bank sentral menaikkan suku bunga acuan, biaya pinjaman menjadi lebih mahal sehingga mengurangi konsumsi dan investasi karena masyarakat lebih enggan meminjam uang. Sebaliknya, suku bunga tinggi cenderung mendorong masyarakat menabung sehingga mengurangi jumlah uang beredar," ujar Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII itu.

Langkah ini, menurutnya efektif untuk menekan inflasi, tetapi memperlambat pertumbuhan ekonomi. Suku bunga acuan diturunkan membuat pinjaman lebih murah, mendorong konsumsi dan investasi, tetapi meningkatkan inflasi, jika tidak dikelola baik.

Pada skala makro, suku bunga acuan juga memengaruhi nilai tukar mata uang. Suku bunga yang lebih tinggi dibandingkan negara lain meningkatkan daya tarik aset domestik bagi investor asing sehingga memperkuat nilai tukar. Namun, ini juga memperbesar beban pembayaran utang luar negeri dalam denominasi mata uang asing. Akibatnya, suku bunga acuan harus dirancang mempertimbangkan keseimbangan makroekonomi dan kebutuhan pertumbuhan ekonomi.

Konteks Global

Kebijakan moneter ketat di negara maju memberikan tekanan signifikan pada negara berkembang, termasuk Indonesia. Federal Reserve (The Fed) yang mempertahankan suku bunga tinggi, 5,25–5,5 persen, hingga pertengahan 2025 memperkuat daya tarik Dolar AS sebagai safe haven.

Menurut laporan IMF, negara berkembang secara kolektif mengalami arus keluar modal bersih sebesar USD 85 miliar pada 2024. Di Indonesia, kondisi ini tercermin dalam volatilitas nilai tukar Rupiah melemah hingga Rp15.800 per USD pada akhir 2024. Tekanan pada Rupiah juga terjadi karena aliran modal keluar dari pasar obligasi domestik.

Pada kuartal keempat 2024, kepemilikan asing obligasi pemerintah turun dari 15,2 menjadi 13,8 persen. Selain itu, harga komoditas global yang fluktuatif turut memengaruhi perekonomian Indonesia. Harga minyak yang diproyeksikan berada di kisaran USD 80-85 per barel pada 2025 meningkatkan biaya impor energi dan memengaruhi defisit neraca perdagangan.

Dampak Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 diperkirakan tetap moderat pada angka 5,0-5,2 persen, sedikit lebih tinggi dari proyeksi 2024 sebesar 4,9 persen, menurut data BI. Namun, kebijakan suku bunga tinggi memberikan beban tambahan dunia usaha Indonesia. Pertumbuhan kredit perbankan yang melambat dari 9,2 persen (awal 2024) menjadi 7,5 persen (kuartal ketiga 2024) mencerminkan kehati-hatian pelaku usaha mengambil utang.

Dampak Konsumsi dan UMKM

Listya mengungkapkan, konsumen rumah tangga merasakan kenaikan bunga kredit konsumsi, seperti kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor sehingga menekan daya beli masyarakat. Menurut survei BI,  Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Desember 2024 turun menjadi 122,4, dari 128,3 pada Januari 2024, menunjukkan kekhawatiran konsumen terhadap prospek ekonomi.

Selain itu, suku bunga pinjaman tinggi mempersempit akses pembiayaan sehingga banyak UMKM mengurangi atau menghentikan produksi. Data Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan, 25 persen UMKM yang disurvei mengalami kesulitan mendapatkan kredit usaha, naik dari 18 persen pada 2023.

Respons Kebijakan dan Strategi Penanganan

Pemerintah dan BI perlu melanjutkan upaya stabilisasi ekonomi melalui diversifikasi sumber pertumbuhan. Investasi asing langsung (FDI) menjadi prioritas, terutama di sektor strategis, seperti energi hijau, manufaktur berteknologi tinggi, dan pariwisata. Pada 2024, realisasi FDI mencapai USD 35,4 miliar dan target 2025 adalah peningkatan sebesar 10 persen. Selain itu, juga mempercepat digitalisasi sistem pembayaran, memperluas penggunaan QRIS untuk mendukung inklusi keuangan, terutama bagi UMKM. Pemerintah juga harus fokus pada percepatan pembangunan infrastruktur yang memperkuat konektivitas antardaerah untuk meningkatkan efisiensi logistik dan daya saing produk ekspor Indonesia.

Konteks Domestik: Inflasi dan Stabilitas Harga

Inflasi inti Indonesia diproyeksikan turun ke kisaran 3,5 persen pada 2025, mendekati target BI sebesar 3±1 persen. Penurunan ini didukung oleh beberapa faktor, termasuk normalisasi harga pangan akibat peningkatan produksi domestik dan stabilisasi logistik.

Pada 2024, indeks harga pangan mencatat penurunan rata-rata sebesar 2,1 persen per kuartal yang diperkirakan berlanjut pada 2025. Namun, risiko tetap ada, seperti cuaca ekstrem (El Niño) yang berpotensi mengganggu panen di kuartal ketiga 2025 dan dapat memberikan tekanan harga pangan. Pemerintah harus mengantisipasi dengan menyiapkan cadangan beras nasional sebesar 2,5 juta ton pada akhir 2024.

Stabilitas Nilai Tukar dan Cadangan Devisa

Listya menyampaikan, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS diperkirakan tetap menghadapi volatilitas pada 2025 karena faktor eksternal, seperti penguatan Dolar AS. Namun, cadangan devisa Indonesia diproyeksikan meningkat USD 145 miliar pada pertengahan 2025. Peningkatan ini didorong dua hal, yaitu surplus perdagangan diharapkan mencapai USD 35 miliar pada 2025 dan peningkatan investasi portofolio asing, setelah penerbitan obligasi hijau senilai USD 2,5 miliar pada kuartal pertama 2025.

Optimisme Ekonomi

Pertumbuhan kredit perbankan domestik diproyeksikan membaik ke kisaran 8-9 persen pada 2025, naik dari 7,5 persen pada 2024. Peningkatan ini mencerminkan optimisme pelaku usaha, terutama konstruksi dan manufaktur, dan konsumen terhadap prospek ekonomi.

Pemerintah menargetkan alokasi anggaran sebesar Rp200 triliun untuk percepatan pembangunan infrastruktur strategis, seperti jalan tol, pelabuhan, dan jaringan transportasi perkotaan, termasuk IKN (anggaran tambahan Rp30 triliun pada 2025). Sementara itu, sektor manufaktur diperkirakan tumbuh 4,7 persen pada 2025.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

Pemerintah memperkirakan defisit APBN pada 2025 sebesar 2,6 persen dari PDB. Penurunan defisit ini mencerminkan upaya pemerintah menjaga disiplin fiskal tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Dua poin penting APBN 2025, yaitu pendapatan negara diproyeksikan meningkat 9 persen YoY (Rp2.700 triliun,) didukung oleh peningkatan PPh dan PPN dan belanja negara dialokasikan untuk sektor prioritas, termasuk infrastruktur (20 persen), pendidikan (15 persen), dan kesehatan (10 persen).

Daya Beli dan Konsumsi Rumah Tangga

Daya beli masyarakat diperkirakan sedikit membaik pada 2025. IKK diproyeksikan naik menjadi 130,0 pada pertengahan 2025 yang menunjukkan optimisme konsumen. Program bantuan sosial, seperti BLT Desa dan bantuan pangan langsung, akan terus dilanjutkan dengan alokasi anggaran sebesar Rp125 triliun. Adapun, UMR diperkirakan naik rata-rata 5 persen pada 2025 sehingga memberikan dorongan tambahan pada konsumsi rumah tangga.

"Konteks domestik pada 2025 menunjukkan pemulihan yang stabil, tetapi tetap menghadapi tantangan dari faktor eksternal dan cuaca. Kombinasi kebijakan moneter dan fiskal yang terkoordinasi menjadi kunci keberhasilan Indonesia menjaga stabilitas makroekonomi dan mendorong pertumbuhan inklusif," kata Listya. Dengan demikian, suku bunga acuan BI yang bertahan pada 6 persen harus ditimbang dan dikaji lebih dahulu secara saksama. 

Pilihan Editor: Mengapa Bank Indonesia Tak Mengubah Suku Bunga Acuan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus