KESENJANGAN antara biaya dana di luar negeri dan di dalam negeri masih menganga lebar. Jangankan rupiah, meminjam dolar di luar negeri pun masih lebih murah. Di pasar uang London, bank-bank di sana Kamis pekan lalu saling memberikan pinjaman dengan bunga cuma 3,12%-3,25% per tahun. Itulah LIBOR, suku bunga pinjaman antarbank di London. Tapi di Indonesia, bank-bank pemerintah bersedia memberikan bunga 7% untuk deposito dolar per tahun. Pengusaha Indonesia yang terlalu "penurut" mungkin saja mau menarik pinjaman luar negeri dengan bunga 2% di atas LIBOR. Ini berarti bunganya 5,25% per tahun. Tapi hal itu dilarang keras oleh Tim Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN). "Permohonan kredit luar negeri dengan bunga 1,87% di atas LIBOR tidak akan dizinkan," kata Menko Ekuin Radius Prawiro selaku Ketua Tim PKLN. Seperti diketahui, pinjaman komersial luar negeri di atas US$ 20 juta harus mendapat izin Tim PKLN. Plafon pinjaman valas untuk bank pemerintah di tahun anggaran berjalan ini dibatasi maksimal US$ 1 milyar. Untuk bank-bank swasta cuma US$ 500 juta. Para pengamat ekonomi, termasuk bankir dan pengusaha, menyambut baik keputusan Menko Ekuin itu. "Dewasa ini bunga pinjaman luar negeri yang dibebankan kepada bank-bank pemerintah berkisar 1,4%-1,5% di atas LIBOR. Sedangkan bank-bank swasta lebih tinggi, yakni 1,82%-1,87% di atas LIBOR. Seandainya tidak ada tim PKLN, saya kira bunga pinjaman yang dibebankan kepada bank-bank di sini akan lebih tinggi," kata juru bicara Bank Indonesia, Paul Sutopo. Pekan lalu BNI berhasil memperoleh pinjaman US$ 151 juta dengan syarat-syarat yang sangat bagus. Kredit diperoleh BNI dengan mengeluarkan surat utang dan bunga mengambang (float ing rate notes) 1% di atas LIBOR. Bunganya relatif sangat murah, sedangkan masa pinjamannya cukup panjang yakni lima tahun (biasanya cuma 1-3 tahun). Kredit tersebut diberikan oleh suatu sindikat bank yang dipimpin Arab Banking Corporation Cabang Singapura, Barclays Bank. Menurut Ketua sindikat, Lim Chwee Pheng, floating rate note BNI bisa terjual karena besarnya kepercayaan bank-bank luar negeri terhadap BNI. Sementara ini BDN, yang baru dua pekan lalu diberi jatah US$ 100 juta oleh BI, tentu masih harus membuktikan kemampuan manajemennya. Ini tak berarti jatah pinjaman untuk bank-bank baru juga akan diberikan. "Hingga September tahun ini plafon yang diambil sudah mencapai 50% atau sekitar US$ 750 juta," kata Paul Sutopo yang juga Direktur Muda Urusan Devisa di Bank Indonesia. Bagaimana pembagian plafon pinjaman luar negeri untuk bank-bank pemerintah dan swasta tak diungkapkan. "Data itu tidak ada pada saya," kata Paul Soetopo. "Tapi, semua bank diperlakukan sama. Artinya, jika plafon sudah ditentukan, tidak akan diberi kelonggaran." Kendati ada pembatasan pinjaman luar negeri, bukanlah pengusaha kalau tidak bisa mencari terobosan. Salah satu celah yang ditempuh adalah memecah pinjaman. Seperti diketahui, semua pinjaman luar negeri di atas US$ 20 juta harus dilaporkan, minta izin, dan antre menurut jadwal Tim PKLN. Tapi pengusaha yang banyak akal bisa memecah pinjaman. Misalnya, US$ 25 juta dipecah dalam dua termin. Ambil dulu US$ 15 juta, sisanya US$ 10 juta tahun berikutnya. "Hanya proyek-proyek US$ 40 juta ke atas yang sudah benar-benar sulit mencarikan pinjamannya," kata seorang eksekutif bank swasta di Jakarta. Cara lain adalah dengan menjual obligasi konversi. PT IndoRama Synthetics, misalnya, pekan lalu berhasil menarik pinjaman 60 juta Swiss Franc (sekitar US$ 48,8 juta). Cara yang ditempuh IndoRama tampaknya masih lebih menguntungkan ketimbang cara BNI. Pinjaman untuk IndoRama berjangka lima tahun dengan bunga tetap 4,5% per tahun. Mungkin PT IndoRama tak perlu membayar kembali utangnya kalau pemegang obligasi konversi tadi meminta diganti dengan saham. Cara lain adalah dengan menjual Indonesian Fund (IF) seperti yang dilakukan Lippo Group. IF mirip Sertifikat Dana yang dijual PT Danareksa, tapi khusus dijual di luar negeri. "Waktu kita jual, ada prospektusnya. Di situ dijelaskan dana yang dihimpun akan ditanamkan di bidang tertentu di Indonesia. Misalnya industri manufaktur, perhotelan, saham, venture capital, small scale fund," kata Laksamana Sukardi, Direktur Eksekutif dari Lippo Bank. IF biasanya dijual dengan prospektus yang menjelaskan ke mana dana akan diinvestasikan. "Yang diminati adalah investasi dalam unit funds, yakni kumpulan investasi tadi. Ada yang bisa diperjualbelikan secara cepat, tapi ada yang berjangka panjang," katanya. Menurut Laksamana, yang dibutuhkan Indonesia adalah sertifikat IF jangka panjang. Kalau dana IF akan dipakai untuk membeli perusahaan venture capital, yang tidak bisa memberikan keuntungan dalam 23 tahun, tentu saja harus dipilih bentuk tertutup. "Nah, IF seperti inilah yang kita butuhkan. Tapi Indonesian Fund sekarang susah dijual. Lebih laku untuk investasi di Vietnam, karena ekonominya sedang mengalami boom," tutur bankir muda itu di sela pelantikan anggota DPR pekan lalu. Thomas Suyatno, Sekertaris Jenderal Perbanas (Perhimpunan Bank-Bank Nasional Swasta), juga berpendapat sama. "Kalau semua dana dari luar negeri ditanam di sini dan ditaruh di sektor produktif, itu tidak ada masalah." Yang dilihat Thomas adalah kejenuhan ekonomi Indonesia. Sementara itu laba yang dibagikan melalui dividen perusahaan terlalu kecil. "Bagaimana bisa menarik kalau dividennya tak sampai 5%?" Thomas menyindir. Max Wangkar, Bambang Aji, Bina Bektiakti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini