JOR-JORAN antarbank dengan iming-iming hadiah masih tersisa, tapi yang kini menarik adalah usaha untuk menurunkan suku bunga deposito. Diam-diam usaha ini berhasil. Tahap demi tahap, bunga deposito yang pernah ditawarkan sampai 27% per tahun kini turun hingga 15%-19%. Toh pengumpulan dana perbankan jalan terus. Ini terlihat dari Laporan Mingguan Bank Indonesia edisi 17 September 1992. Pada Januari 1992 tercatat Rp 73,8 trilyun sedangkan Juli 1992 naik 11% menjadi Rp 82 trilyun. Apakah trend ini akan berlanjut? Kondisi suku bunga deposito di Indonesia kabarnya kurang menguntungkan lagi bagi pemilik dana di sini, tapi cukup menguntungkan bagi pemilik modal dari luar negeri. Bagi pemilik dana di Indonesia, jika modalnya didepositokan, bunganya 15%-18%. Setelah dipotong pajak, bunga bersih tinggal 12,75%-15,30% per tahun. Sebaliknya bagi pemilik modal dari luar negeri, menaruh uang di Indonesia cukup menguntungkan. Menurut seorang eksekutif bank Jepang di Jakarta, kini orang bisa menarik modal pinjaman yen dengan bunga cuma sekitar 3,25% per tahun. "Beli saja Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang memberikan kupon bunga 16,5% per tahun, sudah pasti akan untung 13%," kata bankir Jepang tadi. Seseorang yang meminjam 5,88 juta yen (Rp 100 juta), misalnya, lalu dengan uang itu membeli SBI, maka dari situ ia sambil ongkang-ongkang kaki bisa memetik bunga sekitar Rp 13 juta. Setelah dipotong pajak 15%, untung bersih tak kurang dari Rp 11 juta. Laporan BI memang mencerminkan minat membeli SBI yang meningkat. Tahun ini saja nilai SBI yang beredar dari Januari ada Rp 11,3 trilyun dan pada akhir Juli naik 56% menjadi Rp 17,8 trilyun. (lihat Tabel). Terkesan bahwa bank-bank kini tidak terlalu membutuhkan pinjaman likuiditas dari BI. Buktinya, Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) malah merosot. Maka dana rupiah yang "dikerangkeng" di bank sentral membubung setinggi Rp 16 trilyun. Tapi, bagi sebagian pemilik dana di Indonesia, bunga SBI pun masih kurang aman. Sewaktu-waktu, kalau terkena devaluasi, bisa rugi. Mereka berpendapat, lebih nyaman deposito dalam dolar. Kendati cuma memberikan bunga 6% per tahun (setelah potong pajak menjadi 5,10%), tapi akan menghasilkan tambahan dari menguatnya kurs dolar terhadap rupiah sekitar 5% per tahun. Tidur pun nyenyak. Kalau terjadi devaluasi, jelas akan meraup rezeki nomplok. Ketakutan terhadap devaluasi tercermin dari pengumpulan dana valas (valuta asing) di perbankan. Akhir 1989 nilai valuta asing di bank-bank baru Rp 9 trilyun (US$ 4,5 milyar), akhir Juli lalu tercatat Rp 22,44 trilyun. Berarti ada rekor US$ 11 milyar yang cukup fantastis. Tapi devisa ini belum tentu milik nasabah perbankan. Seperti diketahui, sejak tahun 1990 bank-bank swasta berlomba mencari pinjaman komersial dari luar negeri, sehingga September 1991 Pemerintah harus membentuk Tim Pengendalian Pin jaman Komersial Luar Negeri. Nah, sebagian dana valas di perbankan itu mungkin merupakan pinjaman luar negeri tadi, tapi sebagian yang lain milik individu atau badan pengelola dana di Indonesia. Sementara itu cadangan devisa di BI juga fantantis. Akhir 1989 nilai aktiva luar negeri di BI baru sekitar Rp 16 trilyun atau sekitar US$ 8 milyar. Akhir Juli lalu nilainya melonjak hingga Rp 27,2 trilyun. Artinya, kekayaan devisa di BI kini tak kurang dari US$ 13 milyar. Jika digabung dengan devisa di bank-bank swasta, cadangan devisa seluruhnya tak kurang dari US$ 24 milyar. Andai kata benar, akan sulit bagi otoritas moneter untuk menggunting kurs rupiah terhadap dolar. Jadi, apa masih perlu mengaitkan suku bunga deposito rupiah dengan suku bunga di luar negeri? Max Wangkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini