POCONG bagaikan sepotong kata bertuah yang mampu menyundut semangat penduduk desa untuk mengeroyok seseorang, tak peduli biar nenek-nenek sekalipun. Tragedi ini yang menimpa Sanimah, 70 tahun, di Desa Melung, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas, Jawa Tengah, akhir September lalu. Ceritanya, sang nenek gelandangan singgah di rumah Sutarja. Di keremangan senja, yang empunya rumah melihat tamu yang tidak dikenalnya itu membawa kain mori putih. Sutarja langsung terkesiap. Ia lalu tergopoh-gopoh mengadu sebagai ketamuan hantu pocong kepada kepala desa. Kabar angin ini segera meluas. Bagi penduduk Melung, hantu pocong memang bukan cerita kemarin sore. Selain menyeramkan, hantu itu kabarnya paling suka menculik bayi. Makanya berita yang belum jelas kebenarannya itu menggemparkan Melung. Apalagi si hantu ini ketahuan membawa dua buah sabit, golok, dan silet. Berkat jasa radio dengkul maka dalam sekejap penduduk Meling sudah bergerombol di depan rumah Sutarja. Kerumunan bertambah banyak setelah orang yang malam itu menonton kuda lumping bergabung. "Hantu pocong, pocong,... ," teriak mereka. Melihat gelagat gawat itu sekretaris desa, Kusnadi, tengah malam itu juga mencari bantuan ke Kepolisian Sektor Kedung banteng, 30 km dari Melung. Sementara itu Sanimah dibawa ke balai desa dan dititipkan kepada dua petugas pertahanan sipil. Namun malang sudah di tangan Sanimah rupanya. Sepeninggal Kusnadi, ia dikeroyok massa. Entah siapa yang memulainya. Sanimah tentu semaput, dan dalam keadaan koma ia ditidurkan di tikar. Beberapa jam kemudian melayanglah nyawa dari tubuh tua yang ringkih itu. Akibat kasus main hakim sendiri ini polisi menahan Nartam, Kusno, dan Tarikun. Menurut pengakuan Nartam, ia menghajar iga nenek tua itu setelah ada beberapa orang yang memulainya. "Ini tak adil. Kenapa kami yang ditahan, padahal pelakunya banyak," ujarnya. Nartam, yang tinggal dekat kuburan itu, mengaku pernah melihat hantu pocong. "Tapi saya belum pernah mendengar ada pocong yang menculik bayi," katanya. Seminggu kemudian, masih di Kecamatan Kedungbanteng, peristiwa serupa nyaris menelan nyawa Saripah, 21 tahun. Gelandangan dari Desa Kebocoran ini petang itu berjalan-jalan di atas rel kereta api. Tubuh bagian atasnya ditutupi dengan mukena bekas dan setiba di jembatan, Saripah dilihat Warno. Tidak panjang usut, Warno segera menebarkan desas-desus telah melihat pocong. Mendengar itu penduduk kontan menggeram. Lalu memburunya. Karena Saripah memang orang biasa, dikejar, ya, kena. Untunglah sebelum timbul aksi hakim hakiman, Saripah diamankan Narkim -- Kepala Dusun I Kebocoran. Tapi sial bagi Narkim. Rumahnya menjadi sasaran lemparan batu. Kaca dan genting pecah berderai. Amuk massa kian menjadi-jadi meski petugas dari kepolisian sudah datang. Baru setelah diberi "dor" peringatan, Saripah bisa dibawa ke Kepolisian Sektor Kedungbanteng. Namun massa tetap saja bergerombol di depan rumah Narkim. "Mereka akhirnya pulang karena hujan deras," kata Kapolres Banyumas Letnan Kolonel Sunaryo kepada Moch. Faried Cahyono dari TEMPO. Adanya semangat penduduk desa melakukan keroyokan secara membabi buta dan membunuh ini agaknya menarik untuk dikaji para ahli. Dan menurut Sunaryo, pihaknya kini sedang mengusut dalang di balik peristiwa itu. Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini